Aku dan nilai perjuangan dasar

Tulisan ini pada awalnya adalah catatan kecil saya saat bergulat dengan pemikiran Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Gorontalo pada periode waktu 2006-2010. Catatan kecil itu kemudian saya tuliskan sebagai catatan pengantar saat saya berencana menulis buku tentang: "Menyoal Epistemologi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan". Walau dengan ide sederhana, naskah buku itu berhasil saya rampungkan dalam waktu 2 bulan, dan wal hasil tidak jadi terbit karena persoalan budget yang kurang. Ditambah lagi saya akhirnya menjadi kurang percaya diri untuk menerbitkannya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 24 Februari 2016

Jalan Panjang Menuju Cinta



Ingatanku selalu hidup tat kala mengenang masa itu. Semua detail suasana itu masih segar dalam ingatan, saat langkah kakimu menggiringmu padaku, 8 tahun silam. Aku juga masih mengingat detail-detail ekspresimu yang tidak suka saat aku menyatakan cinta. Tapi cintaku yang keras kepala akhirnya membuatmu mau menerimaku. Walau aku bisa merasakan bahwa cintamu tak begitu serius, seperti terpaksa oleh keadaan, menghargai saya sebagai senior, tapi aku bahagia. Aku menyadari semua itu, namun inilah tantangan buatku, biarlah waktu yang mengubah rasa di hatimu agar cintaku benar-benar terbalaskan.

Waktu berjalan dengan cepat, aku mulai merasakan cinta yang tumbuh pelan-pelan di hatimu. Tentu saja aku sangat bahagia dengan perubahan itu. Namun, hanya dua tahun berjalan, kau mulai berubah. Sosok laki-laki lain kini hadir di antara kita. Ia sosok pria yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih segala-galanya dariku, sementara aku hanyalah pria membosankan, temperamental yang tidak pernah mau merubah diri seperti pintamu. Kamu hanya menitip pesan padaku: “bila kita berjodoh pasti akan bertemu lagi dikemudian hari.” Tapi aku tak peduli dengan itu dan aku jatuh dalam duka yang panjang.

Lima tahun berlalu, perpisahan yang menyisakan duka medalam itu masih saja menghantui. Namun pertemuanku kembali denganmu telah merubah segalanya. Aku tetap tak dapat menyembunyikan perasaanku padamu. Meskipun sudah banyak hati yang pernah singgah, tapi tak satu pun mampu mengambil posisi yang pernah engkau tempati. Kau mungkin tak secantik bidadari, namun sosok dirimu begitu penuh di hati. Mungkin inilah pertemuan yang engkau impikan dulu, yang kau pesan padaku saat kita berpisah.

Terpisah selama lima tahun tanpa kabar adalah perpisahan yang cukup lama, tapi tak cukup lama untuk memadamkan api cinta yang sudah kita nyalakan. Kini hati sudah bulat untuk meminangmu menjadi pendamping hidupku. Aku tak peduli siapa laki-laki yang bersamamu saat itu, aku harus menyampaikan niat tulusku yang sudah jelas arahnya. Tak butuh waktu lama, kau akhirnya menjawab lamaranku dan lenyaplah semua duka yang pernah ada.

Tuhan sungguh Maha Adil, Dia mempertemukan kita lagi pada masa yang tepat, saat kita telah banyak menempa diri dengan pengalaman hidup, masa di mana kita telah belajar melawan keegoisan kita. Hari itu Jumat, 23 Oktober 2015, tali cinta kita diikat dengan janji suci pernikahan. Kita berdua melangkah dengan ringan ke pelaminan, hati kita puas dan bahagia, jiwa kita terang dan mantap sebab kita telah menempuh jalan panjang untuk memenangkan hati kita.

***

Mencintaimu dari awal adalah keputusan yang tidak akan pernah aku sesali. Kini kita telah hidup bersama memenuhi mimpi-mimpi kita yang dulu. Walau kita tak punya apa-apa, tapi jiwa kita tenang, damai dan bahagia. Di dunia ini kau adalah segalanya bagiku. Dan kini engkau telah tumbuh menjadi jiwa yang tegar dan penuh sabar. Pengalaman hidup telah membawa jiwamu terbang tinggi hingga pandanganmu menjadi luas melihat dunia ini. Kau tak hanya memberiku cinta yang tulus, tapi juga telah menjadi guru bagiku. Darimu aku belajar ketegaran dan kesabaran.

Di tempat tugasmu, fasilitas yang minim, tiap hari mandi air keruh dan air laut tidak membuatmu kapok untuk tinggal. Bahkan demi tugas, kau tak peduli dengan kesehatanmu sendiri. Aku masih ingat, hari itu kau sedang tak enak badan, dan kebetulan aku ada urusan penting di kota. Aku mengajakmu pulang, namun kamu lebih memilih tinggal hanya hanya karena tidak mau terlalu lama meninggalkan kewajibanmu mengajar siswa-siswimu di sana. Aku berusaha membujukmu pulang, tapi kamu keras kepala untuk tinggal.


Aku pulang sendiri saat itu dan sempat kecewa denganmu karena lebih memilih tinggal di situ dari pada pulang menemaniku. Aku juga kecewa padamu yang keras kepala dan tak peduli kesehatan sendiri. Tapi kemudian aku sadar, aku sebenarnya sedang marah pada diriku sendiri karena tak mampu setegar kamu. Aku marah karena kualitas jiwamu tak mampu aku capai. Aku masih labil dan kadang-kadang hanya dikuasai dorongan keinginan pribadi tanpa peduli dengan kepentingan orang lain. Kini aku sadar betapa beruntungnya aku memilikimu. Mungkis Tuhan telah mengirimu padaku untuk menuntun langkahku memenangkan kebaikan dalam hati. Aku percaya, bila kita telah mampu memenangkan cinta, kita akan mampu memenangkan kebaikan di hati kita. Semoga Allah senantiasa melindungi dan menuntun rumah tangga kita ke arah kebaikan dan kebahagiaan hidup. Amin…

Selasa, 23 Februari 2016

Gandhi, Jiwa Yang Bertumbuh Menjadi Agung



Sang cahaya telah meninggalkan hidup kita dan kegelapan ada di mana-mana [...] Cahaya telah hilang, saya bilang, dan ternyata saya salah [...] Cahaya yang telah bersinar di negeri ini bukanlah cahaya biasa. Cahaya yang telah menerangi negeri ini selama bertahun-tahun akan tetap menerangi negeri ini pada tahun-tahun berikutnya dan ribuan tahun berikutnya. Cahaya itu akan bisa terlihat di negeri ini dan dunia akan melihatnya, dan akan melipur larah hati yang tak terbilang banyaknya."

~ Jawaharlal Nehru, Pidato pada malam terbunuhnya Gandhi ~


Siapa yang tidak kenal nama Mahatma Gandhi, pria kecil penyala cinta kasih yang tersohor di Negara tropis, India abad ke-20. Ia adalah “sang cahaya”, setidaknya begitu Jawaharlal Nehru menyebut Gandhi, saat mengumumkan kematiannya, lewat radio pada seluruh rakyat India, 31 Januari 1946. Namun siapa yang menyangka “sang cahaya” itu ternyata awalnya adalah seorang pria pemalu dan pengecut. Masa muda Gandhi diwarnai oleh rasa takut pada hantu dan pencuri. Siapa pula yang menyangka saat menangani kasus pertamanya di Bombay, Gandhi yang telah menjadi pengacara berdiri dengan lutut gemetar saat diminta melakukan pemeriksaan. Gandhi bahkan tidak mampu mengucapkan sepata katapun di hadapan sidang, hingga Gandhi memutuskan untuk lari ke luar meninggalkan persidangan. Peristiwa itu menjadi bahan tertawaan dan ejekan baginya. Hah, sekonyol itukah kisah kehidupan awal Gandhi yang hebat itu? Ulasan yang saya rujuk dari buku: Gandhi The Man karya Eknath Easwaran berikut, akan memberikan jawabannya.

***

Pria kecil itu bernama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi. Ia lahir di Porbandar, 2 Oktober 1869. Tak ada yang istimewa dari masa mudanya selain pernikahannya yang terlalu dini dengan Kasturbai di umur 13 tahun. Tentu saja rumah tangga muda ini penuh dengan guncangan hebat, bahkan Gandhi sebagai seorang suami tidak dapat membuang rasa takutnya pada hantu dan pencuri. Gandhi juga terobsesi dengan peran suami sebagai guru bagi istrinya, oleh sebab itu kadang-kadang Gandhi menjadi otoriter atas istrinya, Kastrubai. Di kemudian hari, Gandhi yang telah bertransformasi menjadi jiwa yang agung mengenang bahwa ia banyak belajar dari kesabaran, cinta kasih dan ketabahan istrinya menghadapi dirinya yang labil.

Saat Gandhi tamat sekolah tingkat atas, obsesinya menjadi dokter yang sedikit samar membuatnya harus menempuh banyak ujian. Namun sayang, cita-cita Gandhi tidak pernah terwujud, ia selalu gagal dalam setiap ujian yang dilaluinya. Beruntung kemudian datang pamannya dan menghasut Gandhi untuk belajar hukum di London, ibukota Inggris yang menjajah Negara mereka. Karena hasutan pamannya itu, akhirnya Gandhi bersedia belajar hukum di London. Saat itu Gandhi berumur 18 tahun, ia berlayar dari India ke London demi untuk belajar ilmu hukum.

Bulan-bulan pertama di London adalah mimpi buruk bagi Gandhi muda. Ia merasa terasing dengan lingkungan dan gaya hidup orang London yang sangat mewah. Ingin rasanya ia memutar haluan dan kembali ke India, untung saja sesuatu yang mendalam dalam jiwanya menahannya untuk kembali. Gandhi akhirnya memutuskan untuk beradaptasi, ia mulai mengenakan setelan pakaian khas bangsawan Inggris dan menyewa pengajar untuk mengajarinya bahasa Prancis dan tutur kata yang santun.

Ini adalah kali pertama Gandhi meniru budaya berpakaian bangsa lain. Namun peniruan ini tidak berlangsung lama. Sesuatu dalam diri Gandhi seolah menginterupsinya, ia mulai tidak nyaman dengan segala kemewahan yang dibiayai oleh kakaknya itu. Akhirnya Gandhi memutuskan untuk menanggalkan gaya itu. Gandhi waktu itu memang bukan pria yang punya banyak kelebihan, tapi ia adalah sosok diri yang selalu mengoreksi dirinya sendiri. Inilah cikal bakal kepribadian yang mengantarkannya pada pemurnian jiwa yang ia temukan di kemudian hari.

Gandhi mulai mencari apartemen sendiri yang sederhana. Ia menemukan apartemen di tengah-tengah kota, sehingga ia dapat dengan mudah menjangkau kampus dan tempat-tempat lainnya. Di apartemen barunya itu Gandhi mulai belajar hidup mandiri. Baginya kemandirian mustahil bisa diperoleh dengan meniru orang lain. Hanya dengan menjalani hidup sendiri kemandirian bisa diusahakan. Gandhi juga mulai melakukan eksperimen terhadap pola makannya yang vegetarian. Pada 1890, Gandhi bergabung dengan kelompok vegetarian London dan belajar banyak hal tentang diet dan nutrisi. Pada masa inilah Gandhi mulai mendalami kitab Bhagavad Gita, kitab suci yang kemudian menjadi acuan kehidupannya.

Pada 1891 Gandhi menamatkan pelajaran hukumnya di London dan kembali ke India. Di India ia menjadi pengacara, namun kasus ganti rugi yang ditanganinya di Bombay menjadi satu-satunya kasus hukum yang ditangani Ganghi di India. Ia gagal dengan sangat memalukan karena berlari meninggalkan persidangan akibat gugup dan tak bisa berucap sepatah kata pun saat persidangan tengah berlangsung. Sejak saat itu ia menjadi bahan tertawaan pengacara lainnya di India. Gandhi bahkan dijuluki “pengacara tanpa tas” oleh para koleganya. Hal ini membuat Gandhi terpukul dan pesimis dengan karir pengacaranya di India.

Adalah kantor Dada Abdullah di India yang kemudian menawari Gandhi pekerjaan sebagai juru tulis rendahan untuk kantor mereka di Afrika Selatan. Tentu saja pekerjaan ini amat jauh dari gengsi Gandhi sebagai lulusan sekolah hukum Inggris. Tapi Gandhi menerima pekerjaan ini sebagai sebuah tantangan.  Tapi sial, ternyata kantor Dada Abdullah di India salah menafsirkan situasi yang ada di Afrika Selatan. Di sana Gandhi dinanti oleh kasus hukum yang amat pelik yang membutuhkan keahlian dibidang akuntansi untuk menguraikan transaksi bisni yang rumit dan tidak memiliki pembukuan lengkap.

Bagi Gandhi yang tak pernah belajar pembukuan dan dikirim untuk menangani kasus ini tentu saja bagaikan dikirim ke neraka saja. Tapi justru tidak, di sinilah titik balik karir Gandhi sebagai pengacara. Lagi-lagi Gandhi adalah pengamat yang baik bagi dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa kemana pun ia pergi kegegalan selalu mengincarnya, sehingga mengubah lingkungan kerja bukanlah solusi, ia harus mengubah dirinya. Sejak itu Gandhi mempelajari pembukuan secara otodidak dan keahliannya berkembang pesat. Rasa percaya diri mulai ia dapatkan di sana, kecerdasannya perlahan kelihatan dan ia tumbuh menjadi pengacara handal.

Tapi perkembangan Gandhi tak bisa dibilang sembarangan. Saat kasus bisnis perusahaan Dada Abdullah dan lawannya yang masih memiliki pertalian darah itu belanjut terus, Gandhi mulai memikirkan cara lain. Tentu saja sangat menguntungkan bagi pengacara bila kasus yang ditangani berlanjut terus, hanya saja Ganhdi tak mau mengambil keuntungan dari hal seperti itu, dari argument kosong yang semakin mempertajam pertikaian yang memperlebar hubungan kedua belah pihak. Gandhi mulai memikirkan cara agar kedua belah pihak sama-sama tidak dirugikan. Gandhi tak mau satu pihak menjadi pemenang atas pihak lainnya, sebab bila cara itu yang ditempuh maka yang kalah akan hancur oleh yang menang. Karena itu Gandhi membujuk kedua belah pihak yang bertikai untuk menyelesaikan kasus mereka di luar pengadilan. Setelah melakukan banyak pembicaraan Dada Abdullah dan lawannya sepakat untuk menempuh jalan damai.

Gandhi sangat gembira dengan keberhasilan ini. Ia berseru, “Saya telah belajar praktik hukum yang sebenarnya. Saya telah belajar menemukan sisi terbaik dari sifat manusia dan memasuki hati orang-orang. Saya menyadari bahwa fungsi pengacara yang sebenarnya adalah untuk mempersatukan pihak-pihak yang terpecah belah”. Mungkin ini susah diterapkan oleh pengacara kita saat ini. Hehe!

Karir Gandhi sebagai pengacara meningkat pesat. Ia tanpa sadar telah menemukan rahasia besar dari kesuksesan. Bahwa setiap kesulitan adalah peluang untuk melakukan pelayanan. Bahwa sebuah tantangan adalah peluang untuk mengasah kecerdasan baru dalam diri kita. Gandhi tanpa sadar telah memenangkan hati dan bahkan cinta orang-orang Afrika Selatan maupun orang kulit putih. Akhirnya banyak kasus hukum yang dipercayakan pada Gandhi dan dalam beberapa tahun ia sudah berpenghasilan $ 25.000–30.000/tahun. Dengan penghasilan sebesar ini, Gandhi hidup mewah dan gaya hidupnya sudah kebarat-baratan. Gandhi kemudia pulang ke India menjemput Kasturbai untuk datang ke rumah baru mereka di Johannesburg, Afrika Selatan.

Mohandes Karamchand Gandhi dengan gaya Eropa
Tapi kemewahan hidup mereka tak berlangsung lama. Ini bukan karena Gandhi bangkrut, tapi karena hidup Gandhi berubah. Penindasan, perbudakan dan wabah penyakit lepra yang menimpa Orang India di Afrika Selatan telah merubah pandangan hidup Gandhi. Kemewahan yang tadinya digunakan untuk mengikuti selera kelas orang Eropa kini ingin ditanggalkannya. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai pengacara, Gandhi turun tangan menolong mereka yang terserang wabah dan yang mengalami penindasan.

Persentuhannya dengan penderitaan orang lain semakin lama membuat Gandhi lupa akan kepentingannya sendiri. Di sinilah jiwa Gandhi ditempah oleh rasa kemanusiaan. Ada energi spiritual yang bertumbuh saat manusia mampu menihilkan kepentingan dirinya sendiri demi kepentingan orang lain. Itulah yang dialami Gandhi. Sisi spiritual dalam dirinya tumbuh subur mencerahkan dan menerangi jalan hidupnya dengan cinta dan kebenaran. Karena bantuan yang tanpa pamrih ini, Gandhi akhirnya menularkan sifat itu pada orang-orang sekitarnya hingga terbentuk semacam perkumpulan kekeluargaan kecil di Johannesburg yang menjadi cikal-bakal ashram milikinya di India.

Pakaian Eropa yang selama ini membalut tubuhnya demi gengsi ditanggalkannya jauh-jauh. Di Johannesburg Gandhi mendirikan Korps Ambulans India untuk orang-orang Inggris di Natal saat terjadi perang dengan orang Boer. Gandhi juga mendirikan media Indian Opinion demi melawan perbudakan dan penindasan hak-hak Orang India di Transvaal. Tapi jalur perjuangan Gandhi bukanlah revolusi ala Komunis. Garis perjuanagn Gandhi ditempah oleh ajaran Bhagavad Gita yang mengalirkan lautan kebijaksanaan padanya. Gandhi menyebut garis perjuangan ini sebagai Satyagraha yang terdiri dari dua kata, Satya (kebenaran) dan agraha (memaksakan, keras kepala, bandel)  yang berarti keras kepala berpegang teguh pada kebenaran. Implikasi dari prinsip satyagraha adalah perjuangan tanpa kekerasan (nirkekerasan) atau ahimsa. Ahimsa adalah metode sementara Satyagraha adalah tujuan. Sehingga melawan bagi Gandhi bukanlah menaklukan lawan melainkan merangkulnya pada tujuan yang sama. Inilah kampanye perlawanan Gandhi.

Ketika undang-undang pencatatan terhadap Orang India dan undang-undang black act diberlakukan di Transvaal, Gandhi melakukan perlawanan pasif dengan mogok makan dan mogok kerja dan memimpin the great march di Transvaal. Karena perlawanannya ini Gandhi dipenjarakan, tapi menghadapi Gandhi adalah membingungkan, sebab perlawanan Gandhi yang nirkekerasan tidak pernah memicu kerusuhan yang ditunggu-tunggu untuk menangkapnya. Tapi Gandhi tetap ditangkap. Ia keluar masuk penjara tanpa satupun insiden kekerasan yang ditimbulkannya. Karena kegigihan perjuangan ini, Gandhi akhirnya mendapat kesempatan bertemu dengan Jendral Jan Smuts (gubernur Jendral Transvaal) untuk membicarakan tuntutannya.

Dalam kesempatan itu, dengan nada sangat bersahabat Gandhi menyampaikan kepada Jendral Jan Smuts: “Aku datang untuk memberitahumu bahwa aku akan berjuang melawan pemerintahanmu”.

Jendral Smuts tertawa mendengar kata Gandhi, “maksudmu kamu datang kemari untuk mengatakan itu, apa ada yang lain?” jawab Smuts sambil tertawa.

“Ya,” jawab Gandhi. “Aku akan menang”.

Smuts yang sedang tertawa tercengan mendengar jawaban Gandhi, “Baiklah, dan bagaimana kau akan mengalahkanku?” Tanya Jendral Smuts.

Gandhi tersenyum dan mengatakan: “dengan bantuanmu”.

Dialog singkat di atas menggambarkan dengan jelas bagaimana Gandhi memperlakukan musuhnya dengan penuh kehormatan. Karena perlakuan hormat seperti itu Jendral Smuts pada akhirnya menjadi sahabat Gandhi dan pada 1914 undang-undang perlindungan warga India ditetapkan dan undang-undang pencatatan kewarganegaraan India dicabut. Ini adalah kemenangan pertama Satyagraha yang kemudian juga berhasil mengalahkan penjajahan Kerajaan Inggris di India.

***

Afrika Selatan adalah tempat Gandhi menempah dirinya menjadi jiwa yang mulia. Di sanalah nama Mohandas Karamchand Gandi merangkak mencapai Mahatma (jiwa yang agung) Gandhi. Jalan hidup Gandhi adalah memurnikan diri dengan cara menihilkan ego dan kepentingan diri sendiri sebab sumber dari segala sumber perselisihan adalah kepentingan pribadi yang menghalangi kemurnian penilaian kita. Selain itu ajaran Gandhi adalah cinta yang tanpa batas, mencintai tanpa batas adalah antitesa dari kebencian, bahkan cinta yang tanpa batas tidak terkecuali pada mereka yang membenci kita bahkan cinta pada musuh kita. Oleh Karen itu, Gandhi tak pernah membalas kekejaman musuh dengan kekejaman. Rantai kekejaman, amarah dan balas dendam hanya bisa putus jika dibalas dengan kasih sayang dan tanpa kekerasan. Bahkan pernah sekali leher Gandhi dicekik oleh seorang lelaki besar, Gandhi malah tersenyum tanpa melawan, hingga lelaki tadi jatuh tersungkur di kaki Gandhi.

Gandhi adalah jiwa yang merdeka dan melangkah seringan angin. Diumurnya yang ke-70, ia masih bisa berjalan dan mengusahakan perdamaian dalam kerusuhan Hindhu-Islam. Ia berjuang bersama sahabat muslimnya yang juga anti kekerasan, Khan Abdul Gaffar Khan. Saat konflik terjadi Gandhi tak pernah gentar, ia berjalan sendiri menuju jantung konflik untuk menyuarakan perdamaian dan ajaran Satyagraha. Ia berjalan sendiri tanpa senjata, hanya ditemani tongkat kecilnya. Bagi Mahatma Gandhi ketakutan tidak lagi ada pada seorang yang telah memurnikan dirinya, sehingga ia tak lagi membuthkan senjata. Pada 1946 Gandhi ditembak didadanya oleh seorang pemuda saat melakukan doa bersama demi penyelesaian konflik Hindhu-Islam. Saat peluru menembus tubuhnya dan jatuh, bibir Gandhi tak pernah berhenti berkata Rama, Rama, Rama… sampai nyawanya melayang. “Rama, Rama, Rama berarti aku memaafkanmu. Sanggupkah kita berkata demikian pada pembunuh kita? jiwa Gandhi telah benar-benar tumbuh menjadi agung. 

Buton Utara, 23 Februari 2016.


Minggu, 07 Februari 2016

Melayat Pemakaman Ondofolo Kwadeware di Sentani


Foto Nurlin
Pemandangan di Danau Sentani

Bapa, saya akan selalu mengingat semua yang telah bapa ajarkan, akan kujadikan sebagai pegangan hidup. Saya masih ingat kata bapa: hidup ini jangan hanya mempedulikan diri sendiri, kita harus pedulikan orang lain ”.
(Emi Marweri)

Gadis 29 tahun dengan rambut ikal itu berdiri sambil memegang karangan bunga di samping makam ayahnya yang baru saja dikebumikan. Dia adalah Emi Marweri putri semata wayang almarhum Timotius Marweri, Ondofolo (kepala suku) Kwadeware. Mukanya kusut, pipinya basah oleh air mata karena tangisan haru yang sejak tadi menyertai pemakaman ayahnya. Sebelum meletakan karangan bunga, ia diminta oleh pendeta yang memimpin upacara pemakaman untuk mengucapkan kata terakhrinya. Diselah-selah tangisannya, Emi berkata pelan sambil terisak: Bapa, saya akan selalu mengingat semua yang telah bapa ajarkan, akan kujadikan sebagai pegangan hidup. Saya masih ingat kata bapa: hidup ini jangan hanya mempedulikan diri sendiri, kita harus pedulikan orang lain.

Ucapan Emi itu disambut suara tangisan. Suasana yang tadinya khidmat kini berubah diselimuti tangisan yang lepas bersahut-sahutan. Semua orang terlihat menyeka air matanya yang keluar tak tertahankan. Saya yang tadi hanya melihat-lihat juga ikut hanyut dalam arus emosional ini. Sebenarnya ada banyak pilihan yang dapat saya lakukan saat itu, tapi saya lebih memilih berempati pada mereka yang sedang kehilangan kepala sukunya. Saya berharap dengan empati ini saya bisa ikut mengalami apa yang sedang dialami oleh Orang Kwadeware, dapat menyatu dengan mereka, dan terutama memahami mereka.

***

Kabar wafatnya Timotius Marweri Kepala Suku Kwadewar tersebar sampai di Kota Jayapura. Banyak orang berkeinginan mengadiri upacara pemakamannya. Saya termasuk cukup beruntung, seorang teman di Sentani tiba-tiba mengabari dan mengajak saya ke Kwadeware: “apa kamu bersedia ikut ke Kwadeware menghadiri upacara pemakaman Kepala Suku?” begitu tanyanya kepada saya.

Tentu saja saya bersedia, tidak semua yang datang di Sentani punya kesempatan menyaksikan upacara pemakaman kepala suku (ondofolo). Apalagi teman saya bilang bahwa Ondofolo yang meninggal ini sekaligus adalah pemimpin adat tertinggi di Sentani, rasa penasaran saya semakin tinggi. Tanpa berpikir panjang saya langsung mengemas barang, mengirim pesan singkat pada teman itu agar tidak lupa membawa kameranya.

Saya dijemput di tempat tinggal saya dan langsung menuju pelabuhan Yahim. Dari pelabuhan Yahim kami naik sebuah speed boat sekitar 25 menit menuju Kwadeware. Ya, pemandangan di sekitar Danau Sentani itu tak perlu diragukan, sama seperti kita tak perlu meragukan nikmatnya ikan mujair Danau Sentani ini. Semua tampak sangat indah dilihat dari tengah danau. Saya menikmati sentuhan alaminya, hijaunya gunung-gunung dan segarnya udara siang waktu itu.

Foto Nurlin
Seorang Pekerja Jasa Penyebrangan di Danau Sentani

Saat tiba di Kwadeware suasana terlihat begitu ramai. Rupanya ini adalah orang-orang yang datang dari segala tempat untuk menyaksikan pemakaman Kepala Suku Kwadeware, Timotius Marweri. Ada tenda-tenda kecil yang dipasang dan di bawah tenda itu berjejer kursi-kursi membentuk lingkaran. Di sana banyak orang duduk sambil bercakap-cakap dan tentu saja mereka sedang mengunyah pinang. Di atas mereka ada satu gantungan buah pinang yang bebas diambil bagi siapa saja yang berminat.

Kami langsung bergabung dengan kumpulan orang di bawah tenda kecil itu. Kami menjabat tangan semua yang ada di situ dan saya dipersilahkan mengambil tempat duduk. Tapi saya tidak mau lama-lama duduk di situ, saya tidak mau kehilangan momentum yang langka ini dan langsung pamit melihat pemakaman kepala suku. Tiba di sana pemakaman rupanya sudah hampir selesai. Saya hanya bisa menyaksikan acara peletakan karangan bunga. Di situlah saya melihat Emi Marweri satu-satunya putri almarhum Timotius Marweri meletakan karangan bunga yang terkhir. Saya juga menyaksikan iring-iringan semacam drum band yang disertai alunan seruling. Ini dibunyikan saat upacara pemakaman selesai seiring dengan bubarnya kerumunan orang. Drum band ini terus dibunyikan sampai di rumah duka.

Foto Nurlin
Emi Marweri Saat Meletakan Karangan Bunga Pada Makam Ayahnya

Saya kembali bergabung dengan orang-orang di bawah tenda tadi. Tapi tak berlangsung lama duduknya, kumpulan kami harus bubar karena panggilan makan. Rupanya sudah menjadi tradisi di Kwadeware makan setelah acara pemakaman. Uniknya bukan hanya rumah duka yang menyiapkan hidangan makan, tetangga-tetangga rumah duka juga ikut menyediakan hidangan makan. Hidangannya ada papeda (sagu yang dimasak kental) dengan lauk ikan ekor kuning, pisang rebus, singkong dan tentu saja sayur bunga papaya. Ah, tunggu apalagi saya langsung menyantap papeda dengan lauk ikan ekor kuning. Kami makan bersama di satu loyang kecil berisi penuh papeda. Cara mekannya pun berbeda dengan di daerah Buton, makannya pakai garpu tradisional yang dibuat dari kayu. Sangking lezatnya saya tidak peduli lagi garpu itu bekas siapa. Hehe!

***

Lelaki tua itu tersenyum melihat saya. Senyumnya tampak sangat bersahabat, ia sedang berdiri menunggu perahu untuk kembali ke rumahnya. Semua orang sudah bersiap-siap kembali, perahu kecil bermesin gantung 40 PK itu berganti-gantian mengambil penumpang yang baru saja menghadiri upacara pemakaman Kepala Suku Kwadeware yang sudah selesai. Saya langsung mendekati lelaki tua yang tersenyum tadi, menjabat tangannya dan tentu saja saya bertanya tentang upacara pemakaman tadi. 

Dari lelaki tua itu saya mengetahui bahwa Emi Marweri yang tadi menaruh karangn bunga terakhir adalah putri semata wayang Timotius, kepala suku yang baru saja dimakamkan itu. Dari lelaki tua itu pula saya tahu nama kepala suku itu. Tapi ketika ia menyebutkan nama kepala suku atau ondofolo, “Timotius Marweri” ia berkata setengah berbisik pada saya. Saya menangkap satu hal di sini, bahwa menyebut nama kepala suku bagi Orang Sentani itu sepertinya tidak boleh sembarangan.

Penjelasan lain saya peroleh dari lelaki tua itu muncul ketika menanyakan berapa umur Emi Marweri dan umur ondofolo Timotius Marweri saat ia meninggal. Lelaki tua itu bilang, umur Emi Marweri saat ini sekitar 29 tahun, sedangkan Ondofolo Timotius adalah sekitar 60-an tahun. Tanpa saya tanya, lelaki tua tadi langsung melanjutkan penjelasannya, bahwa idealnya kematian Orang Sentani itu adalah ketika ia kering di atas tempat tidur, kira-kira sekitar 100-an tahun. Dahulu kala bila ada Orang Sentani apalagi seorang kepala suku yang meninggal muda, sekitar 60-an tahun, itu pasti ada penyebabnya yang tidak biasa. Bisa jadi ada kesalahan mengurus adat, atau boleh jadi ada masalah adat yang tidak tuntas diurus sewaktu menjabat sebagai ondofolo. Biasanya tokoh-tokoh adat akan mencari tahu apa penyebab kematian itu beberapa saat setelah kepala suku dimakamkan. Lagi-lagi lelaki tua tadi berbisik saat menjelaskan hal ini. Tapi katanya, untuk saat ini Orang Sentani sudah percaya pada ajaran agama Kristen. Mereka sudah tahu bahwa hidup dan mati itu bukanlah kuasa manusia, ada kekuatan lain di luar diri manusia yang menentukan hidup matinya manusia, yakni Tuhan Allah.

Ah, perbincangan ini semakin menarik saja, tapi sayangnya saat itu pula lelaki tua tadi harus pamit pulang karena perahu yang menjemputnya sudah datang. Ia pamit pada saya, menjabat tangan saya dan berkata “sampai jumpa ade, bapa mau pulang dulu”. Kemudian ia naik perahu dan lagi-lagi ia menatap kearahku sambil tersenyum dan melambaikan tangannya. Hum, nyaris saja saya mendapat informasi mendalam darinya. Speed boat yang tadi mengantar kami kini sudah ada, kami langsung naik dan meninggalkan desa Kwadeware.

Baubau, 7 Februari 2016




luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com