Jumat, 04 Maret 2016

Kata Foucault Tentang Kekuasaan




Beberapa saat yang lalu saya terlibat sebuah diskusi tentang kekuasaan dengan seorang teman. Pasalnya saya menulis status di akun facebook pribadi tentang sedikit catatan hubungan kekuasaan, institusi dan pengetahuan yang saya lihat dari larangan KPAI terhadap siaran TV yang menyiarkan artis-artis melambai. Waktu itu saya teringat dengan gagasan Foucault tentang seks, bahwa sirkulasi kekuasaan-pengetahuan itu dapat merasuk pada hal-hal intim individu (seks), bahwa kekuasaan itu ada di mana-nama dan mengikat subjek, bahwa kekuasaan itu bersifat produktif dan mengatur, dan bahwa membicarakan seks bukan hanya berbicara tentang kelamin, melainkan berkenaan pula dengan soal normalisasi perilaku individu.

Diskusi itu dipicu oleh sanggahan teman saya yang menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara KPAI dengan kekuasaan, tidak ada hubungan antara pengusaha dan penguasa, baginya KPAI adalah pengusaha dan kekuasaan itu semata-mata urusan penguasa (walau sebenarnya saya tahu bahwa teman saya ini sepertinya menyamakan Komisi Perlindungan Anak Indonesi [KPAI] dengan Komisi Penyiaran Indonesia [KPI]). Tapi saya mencoba menjawab sanggahan teman saya itu dengan memberi petunjuk bahwa catatan pada status di atas diilhami oleh pandangan-pandangan Foucault. Harapan saya agar ia memahami saya. Tapi nampaknya teman itu berpegang teguh pada pendapatnya sendiri dan malah menyarankan saya menggunakan Karl Marx. Menurutku bukan tidak relevan (kalau tidak bisa dikatakan tidak relevan) menggunakan teori Marx dalam menganalisis wacana larangan menyiarkan artis melambai pada siaran TV. Namun ada yang lebih relevan membicarakan itu, yakni Foucault. Dari pada saya ribut di laman facebook, lebih baik saya membuat tulisan terkait kekuasan menurut Foucault. Tulisan ini adalah jawaban saya terhadap diskusi itu.

***

Konsep kekuasaan selama ini lebih banyak dipahami dalam terminologi Weberian di mana kekuasaan dimaknia sebagai kemampuan untuk memaksakan keinginan seseorang pada prilaku orang-orang lain (Eriksen, 2009:267; Ritzer, 2012:219). Atau dipahami dalam konsepsi kekuasaan menurut Karl Marx yang melekatkan kekuasaan semata-mata sebagai milik aparatus negara dan kelompok-kelompok kecil yang mengendalikan negara (Latif, 2005). Bagi Foucault konsep-konsep kekuasaan demikian tidak dapat lagi memuaskan rasa ingin tahu kita mengenai kekuasaan. Foucault menyatakan:

“Mungkin Marx dan Freud tidak dapat memuaskan rasa keingin tahuan kita tentang teka-teki “kekuasaan”, sesuatu yang sekaligus tampak dan tidak tampak, hadir dan tersembunyi, ada dimana-mana. Teori-teori kepengaturan beserta analisis mereka yang tradisional tidak mengeksplorasi area tempat kekuasaan dilaksanakan dan difungsikan. Pertanyaan kekuasaan tetap menjadi sebuah teka-teki yang besar. Siapa yang menjalankan kekuasaan? Dan dalam ruang lingkup bagaimana? Pada saat ini kita tahu pasti dan sangat beralasan, siapa-siapa yang mengeksploitasi orang lain, siapa-siapa yang menerima keuntungan-keuntungan, orang-orang mana yang terlibat dan bagaimana dana-dana tersebut diinvestasikan kembali. Sebagaimana kekuasaan [...] Kita  memang tahu hal itu ada ditangan mereka yang memerintah. Namun persoalannya, gagasan-gagasan “pemegang kekuasaan” tidak pernah mendapat perumusan yang memadai, begitu juga dengan ide-ide lainnya seperti: “menguasai”, “mengendalikan”, “memerintah” dan sebagainya. Penjelasan mengenai hal itu masih sangat berubah-ubah dan membutuhkan analisis. Kita juga seharusnya menginvestigasi batas-batas pelaksanaan kekuasaan menginvestigasi saluran-saluran penyebarluasan kekuasaan dimana melaluinya kekuasaan, dioperasikan dan diperluas pengaruhnya pada aspek-aspek yang sering dianggap remeh dari hierarki dan bentuk-bentuk pengendalian, pengawasan, larangan-larangan dan pengekangan-pengekangan. Di mana kekuasaan berada, hal-hal tersebut pasti selalu dilaksanakan. Tegasnya, tak seorang pun, memiliki hak resmi untuk berkuasa, kekuasaan selalu digunakan dalam satuan-satuan arah partikular, dengan sejumlah orang di satu sisi tertentu dan sejumlah orang lain disisi lain. Sering sukar untuk mengatakan secara akurat siapa pemegang kendali kekuasaan” (Suyono, 2002:42-43).

Penjelasan Foucalt di atas menekankan bahwa kekuasaan itu tidak terpusat, kekuasaan itu bergerak bukan milik resmi kelompok tertentu atau aparatus negara, bukan pula milik kelompok borjuis seperti klaim Marx. Kekuasaan menurut Foucault ada dimana-mana, hadir secara tampak maupun tersembunyi, tidak terpusat dan sifat-sifat kekuasaan itu adalah menguasai, mengendalikan, memerintah, mengekang, mengatur dan sebagianya. Kekuasaan dalam hal ini bukan sekadar soal hierarki sosial, di mana kelompok yang berada pada struktur teratas serta merta menjadi pemilik sah atas kekuasaan, tapi bagaimana suatu individu atau kelompok tertentu menegosiasikan kepentingannya dengan individu atau kelompok lainnya dalam ranah sosial tertentu. Kekuasaan dengan demikian selalu berada dalam arah yang partikular secara berhadap-hadapan, yakni saling pengaruh antara sekelompok orang di satu sisi dan sekolompok orang pada sisi lainnya.

Ada tiga cara pandang kekuasaan yang menjadi sasaran kritik Foucault (Latif, 2005:38-39): Pertama, cara pandang kekuasaan yang bersifat occasional (hadir sekali-sekali), cara pandang ini memahami kekuasaan sebagai sesuatu yang dimiliki dan dipergunakan sepenuhnya atas kehendak seseorang yang berkuasa seperti raja atau semacamnya, cara pandang ini disebut juga teori dominasi ortodoks. Kedua, cara pandang yang melihat kuasa semata-mata sebagai milik negara dan sekelompok kecil orang yang mengendalikan negara  sebagaimana dipahami oleh Karl Marx, cara pandang ini disebut juga teori tradisional. Ketiga, cara pandang yang melihat kuasa terpisah dengan pengetahuan, pengetahuan semata-mata hanyalah urusan rasio tidak ada hubungannya dengan kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan, demikian juga sebaliknya pengetahuan tidak lepas dari proses seleksi dan limitas dari suatu rezim kekuasaan (Foucault, 1980; Latif, 2005; Suyono, 2002; Hardiyanta, 1997).

Menurut Latif (2005:39), Foucault menawarkan kita pengertian kuasa yang lebih kompleks di mana kekuasaan dipandang sebagai totalitas tindakan-tindakan sosial yang menggambarkan permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka. Menurut pandangan Foucault (Latif, 2005:42), kekuasaan tidak bersifat monolitik, sebab antara mereka yang kita sebut berkuasa dan yang mereka yang dikuasai sama-sama memiliki kemampuan dalam menegosiasikan kepentingannya masing-masing dalam berbagai tindakan sosial. Proses negosiasi dan upaya-upaya memposisikan diri antara kelompok-kelompok sosial yang berlangsung timbal-balik dalam arena sosial tertentu inilah yang disebut sebagai “permainan strategis”. Kekuasaan dalam pengertian seperti ini selalu berhadap-hadapan dengan praktik perlawanannya (Li, 2012:22; Latif, 2005:40).

Kekuasaan sebagai permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka (strategic games between liberties), dibedakan oleh Foucault dengan dua tipe relasi kuasa lainnya yakni: relasi kuasa yang bersifat dominasi” (domination) dimana kekuasaan bersifat tidak setara, ada pihak ordinat dan subordinat dan relasi kuasa yang bersifat mengatur dan mengarahkan prilaku yang disebut “kepengaturan” atau “pemerintahan” (govermentality) adalah relasi kuasa yang terletak di antara “dominasi” dan “permainan-permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka” (Li, 2012:9; Foucault, 1991:100; Latif, 2005:40).

Keterkaitan antara Wacana (discourse) dan Kekuasaan

Konsep wacana (discourse) dalam tradisi pemikiran Foucauldian sesungguhnya merupakan kajian mengenai penggunaan bahasa. Tetapi terma bahasa dalam pengertian Foucault (Jones, 2010) bukanlah bahasa sebagaimana dipikirkan oleh kaum strukturalis seperti bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, dan lain-lain. Bahasa dalam terminologi Foucault (Lubis, 2014:83) dilihat sebagai sistem-sistem gagasan yang saling berkaitan satu sama lain dan memberikan kita cara untuk mengetahui dunia. Dalam memahami bahasa, ada dua hal pokok yang membedakan Foucault dengan strukturalisme yakni: Foucault menolak adanya ciri-ciri universal yang melandasi semua bahasa dan perhatian Foucault yang dipusatkan pada faktor kekuasaan dalam membentuk dan menggunakan bahasa (Jones, 2010:202). Ketika Foucault dituding para pembacanya di Prancis sebagai penerus tradisi strukturalisme (Foucault, 2007), Foucault segera merevisi kembali bukunya, terutama bukunya yang berjudul The Birth of Clinic. Foucault mengganti beberapa kata kunci yang rentan dengan istilah-istilah strukturalisme, seperti istilah: “bahasa” diganti dengan istilah wacana (discourse), sedangkan kalimat “structured analysis of signified diganti dengan kalimat “the analysis type of discourse” (Suyono, 2002:40).


Michel Foucault

Wacana adalah suatu pengertian tentang realitas dan seperangkat acuan bagi prilaku yang merujuk pada suatu bentuk pengetahuan tertentu, seperti wacana medis, wacana agama, dan sebagainya (Jones, 2010). Suatu wacana memiliki kemampuan untuk menggiring pengertian subjek mengenai realitas, mengenai apa yang benar dan salah, boleh dan tidak boleh, normal dan tidak normal, dan seterusnya (Foucault, 1980). Wacana mempengaruhi dalam hal apa seseorang akan berbicara dan bertindak, serta mempengaruhi cara mendefinisikan realitas. Foucault (Jones, 2010) berpendapat bahwa memiliki suatu wacana adalah satu-satunya cara untuk mengetahui tentang realitas; singkatnya, individu sangat ditentukan wacana-wacana. Dalam pengertian ini, tidak ada seorang pun yang dapat lepas dari pengaruh suatu wacana, karena itu, wacana pada dasarnya menerapkan kekuasaan atau setidaknya bersifat menguasai subjek (kuasa wacana). Menurut Foucault (Lubis, 2014:84), jalinan hubungan antara bahasa, pikiran, pengetahuan dan tindakan disebut sebagai “praktik diskursif”. Dalam hal inilah, kebudayaan pun dipandang sebagai produk dari praktik-praktik diskursif tertentu (Arif, 2010).

Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat berbagai macam wacana mengenai kebudayaan yang bisa saja saling bertentangan, namun ada sala satu wacana yang lebih dominan daripada wacana lainnya (Alam, 2006). Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah: “kenapa dan bagaimana suatu wacana bisa menjadi lebih dominan diterima dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan wacana lainnya? Foucault memberikan jawaban bahwa suatu wacana menjadi lebih dominan karena menghadirkan kebenaran yang ditopang dengan relasi kekuasaan tertentu (Foucault, 1980). Suatu wacana dapat diterima dan bekerja secara efektif pada masa tertentu sangat ditentukan oleh atas dasar apa, atas argumentasi atau rasionalitas apa yang melatari diproduksinya suatu wacana. Dengan demikian, menurut Foucault (Lubis, 2014) menjadi upaya yang sangat penting untuk mengungkap apa yang tersembunyi dibalik kemunculan suatu wacana.

Selanjutnya Foucault (1980) mengajukan pertanyaan lain; lantas jenis kekuasaan seperti apa yang paling rentan dalam setiap produksi suatu wacana? Foucaul (1980) memberikan jawaban bahwa dalam setiap masyarakat terdapat berbagai hubungan kekuasaan yang mengukuhkan diri, mengkategorisasi dan membentuk berbagai lembaga dan institusi sosial. Relasi kekuasaan semacam itu tidak dapat terbentuk dengan sendirinya, tidak dapat dinegosiasikan, disosialisasikan dan tidak dapat diimplementasikan tanpa produksi dan pemungsian suatu wacana (Foucault, 1980). Mustahil ada pelaksanaan kekuasaan tanpa ditopang suatu wacana kebenaran yang beroperasi dibalik hubungan-hubungan sosial yang tampak di permukaan. Setiap kekuasaan harus memproduksi kebenarannya dan memungsikannya melalui wacana, sebab kekuasaan benar-benar tidak dapat dijalankan tanpa terlebih dahulu memproduksi wacana kebenaran (Foucault, 1980). Dengan demikian, menurut Foucault (Jones, 2010:204; Lubis, 2014), kekuasaan dilaksanakan melalui dua cara: Pertama, kekuasaan dilaksanakan agar suatu wacana terwujud. Dalam hal ini suatu wacana dapat berfungsi bila ditopang oleh kekuasaan. Kedua, kekuasaan dilaksanakan oleh bekerjanya suatu wacana. Dala hal ini suatu wacana dapat memapankan posisi kekuasaan tertentu yang mempertahankannya.

Untuk lebih memperjelas konsep keterkaitan antara wacana dan kekuasaan, berikut ini akan dijelaskan bagaimana hubungan kekuasaan dengan pengetahuan yang disirkulasikan oleh institusi atau otoritas tertentu. Dengan demikian, kehadiran kuasa dalam konsep berikut akan menjadi semakin jelas dibanding konsep sebelumnya, sebab melibatkan institusi.
     
Genealogi: Hubungan Kuasa dan Pengetahuan

Istilah “genealogi” dalam kultur akademik indonesia bukan lagi istilah yang baru. Yudi Latif misalnya menggunakan konsep “genealogi” dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul: Intelegensia Muslin dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Penjelasan Latif mengenai istilah “genealogi’ dalam buku tersebut tidak lepas dari pemikiran Foucault. Menurut Latif (2005:7) genealogi dalam pengertian Foucault merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concerns) masa kini. Karena itu, Latif menganggap konsep genealogi ini berfokus pada fakta bahwa penulisan sejarah merupakan pemenuhan kebutuhan masa kini. Latif juga mengatakan:

 “genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus.” Justru sebaliknya, “genealogi berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal (accidents), mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute deviation)”. Genealogi memfokuskan diri pada retakan-retakan, pada kondisi-kondisi sinkronik dan tumpang tindihnya pengetahuan yang bersifat akademis dengan kenangan-kenangan yang bersifat lokal (Latif, 2005: 7-8).

Namun berbeda dengan padangan Latif di atas, Piliang (2012:15) mendefinisikan genealogi sebagai sebuah model analisis diskursus yang dikembangkan oleh Michel Foucault, yang secara khusus melihat relasi yang tak terpisahkan antara pengetahuan dan kekuasaan di dalam diskursus. Seturut padangang Piliang tersebut, Davidson menjelaskan bahwa untuk memahami perbedaan dua metode Foucault, arkeologi dan genealogi, harus dilihat sepasang hipotesis yang diajukan oleh Michel Foucault dalam “Truth and Power”. Foucault menjelasakan:

“Kebenaran” dimengerti sebagai sebuah sistem dari prosedur-prosedur yang telah diatur untuk memberikan penjelasan-penjelasan mengenai produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan operasi... “Kebenaran” yang berhubungan dalam sebuah relasi sirkuler dengan berbagai sistem kekuasaan mereporoduksi dan menopangnya, dengan efek-efek kekuasaan yang menginduksi dan meluaskannya. Sebuah “rezim” kebenaran (Foucault, 1980).

Dari kutipan di atas, menurut Davidson (Hardiyanta, 1997:11) hipotesis yang pertama merupakan interpretasi Foucault yang secara singkat menjelaskan tentang metode arkeologinya, sementara hipotesis kedua berkaitan dengan metode genealoginya. Dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan di atas, maka konsep genealogi dalam penelitian ini merujuk pada hubungan kuasa dan pengetahuan. Sekalipun demikian, saya tidak mengabaikan penafsiran Yudi Latif yang memahami genealogi sebagai kajian sejarah yang menekankan penelusuran terhadap penyimpangan-penyimpangan kecil, keretakan-keretakan dan tumpang tindihnya pengetahuan dalam sejarah. Sebab konsep ini penting dalam penelitian ini untuk menjelaskan keretakan-keretakan wacana identitas yang dialami dalam perjalanan sejarah orang Kulisusu.

Konsep genealogi baru muncul setelah Foucault menyelesaikan karyanya: Madness and Civilization. Sebelumnya Foucault tenggelam dalam penelusuran arkeologi pengetahuan yakni upaya menelusuri formasi-formasi diskursif yang membentuk suatu “rezim kebenaran”. Dalam metode arkeologi, Foucault hanya menekankan pada pentingnya prosedur-prosedur, sirkulasi-sirkulasi, dan formasi-formasi diskursus yang menyusun suatu kebenaran serta menghubungkannya formasi-formasi tersebut dengan otoritas tertentu, seperti otoritas penutur (enunciative) (Foucault, 2002). Penyusunan formasi-formasi ini, dalam konsep arkeologi sama sekali terbebas dari formasi-formasi non-diskursif, seperti: institusi (Suyono, 2002:176). Sementara itu, metode genealogi Foucault mulai menyadari bahwa formasi-formasi diskursif atau wacana itu tidak terlepas dari mekanisme kontrol dari kekuasaan itu sendiri. Menurut Suyono (2002) transisi pemikiran Foucault dapat dibaca dalam kuliah inaguralnya di Colege de France tahun 1970 yang bertajuk L’ordre du discours. Suyono menggambarkan bahwa: dalam kuliah tersebut Foucault memberikan pemahaman baru kepada para audiensya mengenai penyebaran gugus-gugus diskursif. Dalam metode arkeologi, proses penyebaran gugus-gugus dikursif ini dilihat berlangsung secara alami, namun Foucault menyadari bahwa proses itu ternyata tidak bebas dari limitasi, seleksi dan kontrol. Dengan demikian, kesadaran akan adanya mekanisme kontrol, limitasi dan seleksi dalam perseberan wacana merupakan pintu awal yang menghantarkan pemikiran arkeologi menuju pemikiran kekuasaan (Suyono, 2002: 177).

Pengetahuan dalam pandangan Foucault, tidak dapat dilepaskan dari mekanisme-mekanisme kontrol, limitasi dan seleksi. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya mengenai kegilaan (Madness and Civilization), The Birth of Clinic, The Birth of Prison, maupun mengenai History of Sexuality. Dalam Madness and Cilvilzation, Foucault memperlihatkan bagaimana kegilaan dipisahkan dari rasionalitas. Foucault menyatakan bahwa sejak awal fajar abad lima belas sampai pertengahan abad tujuh belas, kegilaan di Eropa misalnya masih dimengerti sebagai wilayah antara kegilaan dan kepandiran (Foucault, 2002). Istilah kegilaan dan kepandiran pada era itu merupakan kata yang cair yang dapat dipertukarkan satu sama lain dan tak seorangpun mengetahui kapan kata-kata itu pas diucapkan (Suyono, 2002). Bahkan banyak karya sastra yang muncul pada era itu seperti King Lear karya Shakespeare menggambarkan percampuran makna antara kegilaan, kepandiran dan kebijaksanaan. Namun, sejak purna abad pertengahan yang ditandai dengan munculnya gerakan pencerahan, maka peradaban Barat mulai dikuasai oleh “rezim kebenaran baru” yakni distingsi antara rasio dan non-rasio.

Kemunculan psikiatri yang mewakili rasio telah menjebloskan orang-orang gila ke dalam penjara layaknya seorang penjahat, orang-orang miskin dan gelandangan ditangkap untuk direhabilitasi di rumah bekas perawatan penyakit lepra. Foucault (2002:257) menyatakan bahwa: pada awal abad ke sembilan belas setiap psikiater dan sejarawan menyerukan impuls kemarahan yang sama... “Tak seorang pun menjadi malu dengan meletakan orang gila di dalam penjara”. Demikian juga dalam History of Seksuality Foucault (1997:1-14) menggambarkan bagaimana kekuasaan rati Victoria yang sangat puritan mengontrol wacana seksualitas dan melembagakannya seks ke dalam institusi rumah tangga dan bagaimana wacana seks juga dikontrol dalam hal pengakuan dosa di gereja.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat adanya mekanisme kontrol, limitasi, pemisahan dan larangan yang mewarnai proses sirkulasi berbagai wacana. Hal ini menunjukan adanya relasi antara kekuasaan dengan pengetahuan: pengetahuan dikontrol, ditopang dan diperluas oleh kekuasaan, pada gilirannya pengetahuan dapat mereproduksi kekuasaan melalui “rezim kebenaran” yang dihasilkan oleh pengetahuan tersebut. Pemahaman ini penting dalam penelitian ini untuk menganalisis bagaimana kontrol kekuasaan terhadap penyebaran pengetahuan agama Islam (tasawuf) pada masa lalu (historisitas) di wilayah kekuasaan kesultanan Buton termasuk Kulisusu dan bagaimana pengetahuan agama tersebut memproduksi “rezim kebenaran” yang makin memperkokoh kekuasaan Kesultanan Buton di Kulisusu.

Menurut Foucault proses limitasi, seleksi, kontrol, dan eksklusi yang melestarikan rezim kebenaran di Barat terlaksana melalui dua tingkat: internal dan eksternal (Suyono, 2002:181-185). Tingkat pertama penetrasi ini ada kaitannya dengan mekanisme produksi dan reproduksi teks. Foucault baru menyadari bahwa produksi dan reproduksi teks di Barat yang menyebarkan gugus-gugus diskursif ternyata memiliki karakter yang secara internal cenderung mendukung bagi terlestarikannya suatu sinergi kebenaran tertentu. Sebagai contoh: melalui apa yang disebut sebagai Commentary berperan sebagai teks yang berusaha untuk mengungkapkan makna ataupun hal-hal tersembunyi dari teks-teks primer yang belum terjamah atau tereksplisitkan dalam teks-teks primer. Commentary bisa didefinisikan sebagai teks yang memberi ulasan atas teks lain atau disebut juga teks sekunder. Teks lain yang dimaksud di sini adalah teks primer atau teks utama terkait agama, hukum, sastra dan ilmu pengetahuan (Suyono, 2002:182). Teks-teks commentary ini tanpa disadari berfungsi sebagai medium agar batas-batas diskursif pengetahuan Barat tidak keluar dari batas yang ditentukan suatu rezim kebenaran tertentu.

Pada tingkat kedua, eksternal: proses seleksi, limitasi, kontrol dan eksklusi menurut Foucault berkaitan dengan institusi. Proses pelestarian rezim kebenaran tidak dapat dipisahkan dengan adanya kontrol eksternal dari sebuah institusi. Melalui kontrol institusi-institusi, diskursus dikendalikan dan digiring ke arah kondisi yang dikehendaki oleh institusi yang berperan. Dalam konteks inilah saya memahami KPAI sebagai institusi yang mengontrol tayangan TV demi suatu normalisasi prilaku anak-anak.

1 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com