Aku dan nilai perjuangan dasar

Tulisan ini pada awalnya adalah catatan kecil saya saat bergulat dengan pemikiran Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Gorontalo pada periode waktu 2006-2010. Catatan kecil itu kemudian saya tuliskan sebagai catatan pengantar saat saya berencana menulis buku tentang: "Menyoal Epistemologi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan". Walau dengan ide sederhana, naskah buku itu berhasil saya rampungkan dalam waktu 2 bulan, dan wal hasil tidak jadi terbit karena persoalan budget yang kurang. Ditambah lagi saya akhirnya menjadi kurang percaya diri untuk menerbitkannya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 23 November 2016

Konsep Gender dan Sub-ordinasi Perempuan dalam Studi Antropologi Feminis


Ilustrasi Kesetaraan Gender
Beberapa diskusi mengenai gender pernah saya ikuti ditingkatan aktivis-aktivis LSM lokal. Namun dalam penafsiran gender selalu saja disalah pahami. Gender selalu diasosiasikan dengan perempuan atau kalau tidak sebagai kondisi keterbelakangan perempuan dalam persoalan hak-hak sebagaimana yang diperoleh laki-laki. Padahal konsep gender tidaklah seperti anggapan-anggapan di atas. Gender tidak sama dengan perempuan, bukan pula laki-laki, serta bukan pula jenis kelamin laki-laki dan perempuan, melainkan atribut-atribut sosial yang dilekatkan oleh suatu kebudayaan pada konstruksi biologis tubuh. Gender adalah sesuatu yang dikonstruksi sehingga tidak bersifat kodrati, karena itu setiap budaya memiliki konsep gender yang berbeda-beda. Berbeda dengan hal-hal biologis yang bersifat kodrati seperti jenis kelamin, menstruasi bagi perempuan, hamil dan melahirkan anak. Kalau seperti rambut panjang, dandanan, pekerjaan, kecerdasan, dll itu bukanlah hal yang kodrati dan dapat disubtitusi tanpa bantuan kecanggihan seperti “subtitusi kelamin” pada tubuh waria. Konsep biologis ini dikategorikan sebagai konsep seks dalam kajian gender.


Gender sebagai konsep atribut sosial tubuh banyak diperdebatkan dalam berbagai interaksi sosial dan dalam berbagai kebudayaan. Berbagai budaya di dunia memposisikan perempuan sebagai sub-ordinat dari laki-laki. Hal ini seperti ditengarai oleh Mary Daly (1978) yang melakukan survei global terhadap kekerasan ritual terhadap perempuan dalam budaya patriarkal seperti adat bakar diri para istri di India, Ikat kaki di Cina, klitoridektomi di Afrika, pembakaran perempuan yang dituduh tukang tenung di Eropa, serta ginekologi di Amerika. Daly juga, dalam studinya membahas istilah-istilah yang misoginistik seperti “nenek peot”, “nenek culas”, dan “perawan tua” (Rita Felsky dalam P. Beilharz, 2005). Dalam sejarah feminisme, diskriminasi juga dirasakan oleh perempuan di Amerika dimana kesempatan kerja, pendidikan dan hak memilih tidak diperbolehkan bagi perempuan. Pada abad ke-16 di Inggris perempuan mengalami diskriminasi dalam bentuk penafsiran kitab-kitab injil mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan (Hodgson dan Wright, 2010). Adalah Jane Anger yang melakukan pembelaan atas tafsiran mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan. Anger mengatakan: penciptaan laki-laki dan perempuan pada mulanya, laki-laki dibentuk....dari barang-barang buangan dan tanah liat yang kotor, sampai pada saat Tuhan melihat bahwa ciptaan-Nya itu baik adanya. Dengan menghilangkan debu yang menjijikan pada tubuhnya, dia dimurnikan. Kemudian karena Adam tidak memiliki siapa-siapa, Tuhan menciptakan seorang perempuan dari daging laki-laki yang lebih suci. Ini membuktikan bahwa kita sebagai perempuan jauh lebih sempurna daripada laki-laki.




Ilustrasi Gerakan Feminisme

Penjelasan di atas memberi bukti adanya diskriminasi perempuan dalam berbagai kebudayaan di dunia. Namun apakah hal yang sama merupakan perkara universal yang terjadi di seluruh belahan dunia? tentu “tidak”. Adalah Rosaldo yang pernah mempublikasikan tentang sifat universal dikotomi laki-laki dan perempuan di mana laki-laki sebagai ordinat, perempuan sub-ordinat, laki-laki publik, dan perempuan domestik. Namun kemudian Rosaldo mengevaluasi teori universalitasnya itu dan menerbitkan buku yang berjudul Knowledge and Passion: Ilongot Notions of Self and Society. Susan Millar dalam penelitiannya pada suku Bugis di Sulawesi Selatan mengemukakan bahwa hierarki dalam masyarakat Bugis bukan pada persoalan gender melainkan pada status sosial mana perempuan dan laki-laki berada (Idrus, 2006). Terdapat bias perspektif dalam memandang posisi laki-laki dan perempuan yakni bias pemikiran Barat yang mendikotomikan ordinat dan sub-ordinat laki-laki dan perempuan. Hal ini menyebabkan gagalnya seorang komentator atau peneliti untuk melihat keunikan budaya lain terutama kebudayaan di luar Eropa. Sudah merupakan tugas dari kajian antropologi feminis untuk mendekonstruksi berbagai bias pemikiran yang meniscayakan kerangkan sub-ordinasi perempuan tanpa pengkajian yang lebih mendalam.


Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya Nurul Ilmi Idrus (2006) menjelaskan adanya bias pemikiran dalam studi antropologi feminisme yakni  masalah yang terkait dengan bias laki-laki (androgenic bias), yang terdiri atas tiga tingkatan, yaitu: 1) bias yang berasal dari para antropolog dimana peneliti sering beranggapan bahwa laki-laki lebih mudah diajak berbicara dibanding perempuan sehingga informan lebih banyak diambil dari laki-laki, 2) bias dari kelompok masyarakat yang diteliti bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki dan bias inilah yang ditangkap oleh peneliti. 3) bias yang melekat dalam kebudayaan Barat (eurocentric bias), jika peneliti melihat ada hubungan asimetris antara perempuan dan laki-laki, maka ini dianggap sebagai ketidaksetaraan dan hierarkis di masyarakat Barat. Sebagaimana yang dilakukan Rosaldo yang mendekonstruksi bias-bias universalitas penidasan atas perempuan dalam kajian feminisme. Dengan demikian kajian antropologi feminis tidak memandang perempuan sebagai fokus, melainkan konsep gender (tentunya melibatkan laki-laki dan perempuan) sebagai fokus utama dalam penjelasannya. Dengan kata lain antropologi feminis bukan sebagai “studi mengenai perempuan”, tapi merupakan “studi tentang gender”.  

Kamis, 10 November 2016

Analisis Sosial dan Perbedaannya dengan Analisis Ilmu Alam

Ilustrasi Dunia Sosial

Berbicara mengenai analisis sosial, setidaknya ada dua pertanyaan yang segera mengemuka: Pertama adalah soal definisi: apa yang dimaksud dengan analisis sosial? dan yang kedua: apakah analisis sosial berbeda dengan analisis ilmu-ilmu lainnya--seperti ilmu alam--sehingga perlu pembahasan tersendiri?

Terkait pertanyaan pertama, definisi analisis sosial tidak dapat dilepaskan dari definisi ilmu sosial itu sendiri sebagai ilmu yang mempelajari fenomena sosial kemanusiaan, seperti: relasi sosial, sistem sosial, struktur sosial, organisasi sosial, kemiskinan, kesejarahan, masyarakat, identitas, kebudayaan, kekuasaan, tindakan, dll. Sementara kata analisis sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung pengertian sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya). Dari dua pengertian itu, jika didefinisikan secara sederhana, analisis sosial dapat dirumuskan sebagai usaha untuk memahami atau memperoleh gambaran utuh dan mendalam mengenai fenomena-fenomena sosial yang sedang diamati.

Usaha untuk memperoleh gambaran mengenai fenomena-fenomena sosial tersebut secara utuh dan mendalam tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat-lihat saja atau sambil lalu saja di hadapan fenomena sosial. Dibutuhkan seperangkat konsep, perspektif atau kerangka pemikiran dan cara-cara yang terstruktur untuk melakukan analisis terhadap fenomena sosial yang sedang diamati. Seperangkat konsep-konsep itu disebut sebagai paradigma, sedangkan cara-cara yang terstruktur dan sistematis dalam membangun pengetahuan itu disebut sebagai epistemologi. Dan suatu paradigma pada dasarnya dibangung oleh epistemologi tertentu. 

Sedangkan terkait pertanyaan kedua: apakah analisis sosial itu amat berbeda dengan analisis ilmu-ilmu lainnya--seperti ilmu alam--sehingga perlu pembahasan tersendiri? Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu terangkan secara singkat sejarah perkembangan paradigma dalam ilmu sosial.

Pada abad ke-19 masyarakat Eropa didominasi oleh cara pandangan bahwa segala sesuatu baik itu gejala alam, masyarakat dan kebudayaan dapat dijelaskan dengan menggunakan kemampuan rasional. Cara pandang ini disebut sebagai cara pandang (paradigma) positivisme yang menurut Auguste Comte (1798-1857) merupakan hasil akhir dari perkembangan masyarakat setelah melalui tahapan-tahapan: (a) tahapan teologis di mana manusia memandang bahwa semua gejala yang timbul baik itu gejala alam, masyarakat dan kebudayaan dikendalikan oleh kekuatan supranatural di luar jangkauan manusia; (b) metafisika di mana gejala alam, masyarakat dan kebudayaan mulai dijelaskan dengan konsep-konsep abstraksi filosifis dan (c) positivisme di mana manusia memandang segala sesuatu dapat dijelaskan dengan rasional (Hardiman, 2004; 2003). Ciri-ciri utama paradigma positivisme ini adalah: (1) Objektifisme atau bebas nilai. Pengetahuan harus bebas nilai dan tidak boleh dicampuri oleh perasaan subjektifitas atau nilai-nilai yang dianut oleh pengamat. Oleh sebab itu, pengamat haruskan mengambil jarak dari realitas yang diamati dengan bersikap bebas nilai agar pengetahuan yang dihasilkan benar-benar menjadi cermin dari realitas (korespondensi); (2) Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan ada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika); (3) Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati dan yang dapat diukur. (4) Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki hukum-hukum tetap yang dapat dikenali oleh rasio; (5) Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta (termasuk masyarakat dan kebudayaan) diibaratkan sebagai giant clock work (Hardiman, 2003; 2015; Syaebani, 2008).

Penerapan metode positivisme ini sebagaimana spirit pencerahan Jerman dipercaya mampu mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Hal ini terbukti dengan berhasilnya ilmu pengetahuan menghasilkan teknologi yang membantu kehidupan umat manusia (revolusi industri di Inggris salah satunya disebabkan oleh perkembangan ini). Keberhasilan ini mengukuhkan paradigma positivisme sebagai satu-satunya paradigma ilmiah yang paling sah untuk menyelidiki semua gejala termasuk gejala sosial. Setidaknya hampir sepanjang abad ke-19 ilmu-ilmu sosial masih didominasi oleh paradigma positivisme (fenomena sosial dianalisis menggunakan pendekatan ilmu alam) dan sepanjang abad itu pula belum ada yang menggugat kebasahan paradigma ini (Hardiman, 2003; 2015).

Salah satu contoh teori yang dipengaruhi oleh paradigama positivisme adalah teori evolusi kebudayaan yang berkembang pada abad ke-19. Teori evolusi kebudayaan ini diadopsi dari teori evolusi yang berkembang dalam ilmu biologi dengan tokoh termashurnya Charles Darwin dalam bukunya The Origin of Species. Teori evolusi ini beranggapan bahwa masyarakat dan kebudayaan sama dengan mahluk hidup, berkembang atau berevolusi mengikuti tahapan-tahapan perkembangan tertentu yang berlangsung lambat. Oleh sebab itu, analisis evolusionisme dalam ilmu sosial dijelaskan dengan menggunakan analogi oganik. Tokoh-tokoh teori evolusi ini adalah E.B Tylor (1865), L.H Morgan (1877), J.J. Bachofen, H. Maine, J. Frazer (ahli folklor) dan Herbert Spencer. Pengaruh positivisme ini juga dapat dilihat dalam pemikiran Karl Marx yang meyakini bahwa sejarah menurut hukum-hukum atau mekanisme obyektif seperti yang terdapat dalam ilmu alam (Hardiman, 2015). Emile Durkheim, Radclif-Brown, Bronislaw Malinowski, hingga Talcot Parson juga tergolong sebagai ilmuwan sosial yang ada di bawah pengaruh paradigma positivisme. Lalu kapan paradigma positivisme ini digugat keabsahannya dalam menjelaskan fenomena sosial?


Willhem Dilthey

Di atas telah sedikit disinggung bahwa hampir sepanjang abad ke-19 paradigma positivisme belum digugat. Tapi bukan berarti tidak ada upaya menggugat paradigma ini. Walaupun pada akhirnya terjebak pula pada paradigma positivisme, Wilhelm Dilthey (1833-1911) adalah salah satu pemikir Jerman yang menyadari kerancuan positivisme dalam memahami ilmu sosial-kemanusiaan (geisteswissenschaften). Oleh sebab itu, pemikiran Dilthey ini akan saya uraikan secara singkat. Dilthey membedakan dua jenis ilmu pengetahuan: Naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam) dan Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan) (Hardiman, 2015: 66). Perbedaan ini bukan saja dari segi terminologi atau atau tidak semata-mata pada obyek kajian saja, sebab ilmu-ilmu alam juga ada yang mengkaji manusia. Perbedaan utama bagi Dilthey ada pada cara atau memahami fenomena: ilmu-ilmu alam menggunakan metode Erklären yakni sebuah metode yang memusatkan diri pada “sisi luar” obyek penelitian yakni proses-proses obyektif dalam alam (beda jatuh, muatan listrik, kadar gula darah, tekanan darah, ledakan natrium dalam air, dsb). Sedangkan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan menggunakan metode Verstehen yaitu pendekatan yang memustkan diri pada “sisi dalam” atau dunia mental (dunia yang dihayati oleh manusia) obyek penelitiannya (Hardiman, 2015: 76-77). Lebih rinci, perbedaan ini dapat dilihat pada table berikut:

Metode
Erklären
Verstehen
Target
Penelitian
Mengetahui sisi luar obyek, yaitu proses-proses obyektif alam
Mengetahui sisi dalam obyek, yaitu dunia mental orang lain
Sikap Peneliti
Mengambil jarak sepenuhnya dari obyek
Mengambil bagian dalam dunia mental orang lain
Perolehan
Pengetahuan
Analisis Kausal
Memahami Makna.
Sumber: Hardiman (2015: 77)

Dari table di atas tampak jelas distingsi metode antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan. Tapi bagaimana Dilthey menerapkan metode Verstehen ini dalam memahami dunia mental orang lain? Jawabannya Dilthey meminjam analisis pendahulunya, Schleiermacher (1768-1834). Schleiermacher memperkenalkan dua cara untuk memahami dunia mental penulis teks dalam hermeneutika, yakni: (1) Lebenswelt (dunia kehidupan) cara ini digunakan oleh Dilthey untuk merujuk pada dunia sosial yang kita mukimi bersama dengan orang lain sehingga ada kesamaan pemahaman mengenai hal-hal tertentu (konteks bersama). Contohnya ketika memasuki bulan ramadhan setidaknya kita menghayati nilai-nilai yang sama. Bagi Dilthey, dengan cara itu kita terhubung  dengan orang lain; (2) Nacherleben (mengalami kembali) yang dialami kembali adalah pengalaman batiniah orang lain atau disebut dunia mental orang lain dalam terminologi Schleiermacher. Tapi berbeda dengan Schleiermacher yang nacherleben-nya bersifat psikologisme, bagi Dilthey nacherleben tidak bersifat psikologis melainkan bersifat interpretasi (Hardiman, 2015: 75). Melalui interpretasi terhadap pengalaman mental orang lain kita dapat memahami orang lain. Inilah metode Verstehen yang diperkenalkan oleh Dilthey. Lebih jelasnya perhatikan gambar berikut:

 

Cara Mengakses Pengetahuan Orang lain dengan Metode Versetehen
Sumber: Hardiman (2015: 75)

Walaupun Dilthey masih terjebak pada upaya mengejar obyektivitas pengetahuan yang merupakan ciri positivisme, setidaknya ia telah membuka jalan bagi lahirnya pandangan anti-positivisme yang dikembangkan oleh Max Weber dari metode Verstehen (memahami) Wilhem Dilthey. Namun penerapan paradigma positivisme dalam memahami ilmu-ilmu sosial baru benar-benar digugat oleh munculnya kelompok Frankfrut School atau lebih dikenal dengan Mazhab Frankfrut dan Post-modern. Sekalipun demikian masih ada yang mempertahankan cara berpikir positivisme ini dalam ilmu sosial oleh kelompok yang disebut Lingkaran Wina.

Mazhab Frankfrut memperkenalkan sebuah aliran berpikir kritis yang lebih dikenal sebagai Teori Kritis. Mereka di antaranya--terutama generasi pertama Mazhab Frankfrut--mengkritik rasionalitas pencerahan yang menurut mereka terbukti gagal mewujudkan kesejahteraan umat manusia sebagaimana yang dijanjikannya (Horkheimer & Adorno). Kemajuan tekhnologi ibarat pedang bermata dua, di satu sisi ia membantu umat manusia, tapi di sisi lain menindas dan memperbudak umat manusia. Kemajuan tekhnologi justru menopang status quo dan mengukuhkan sistem kapitalisme yang menggiring seluruh umat manusia pada satu dimensi, fetitisme konsumsi (Herbert Marcuse). Di tangan Habermas (generasi kedua Mazhab Frankfrut) gugatan terhadap positivisme semakin mapan. Habermas mengkiritik positivisme dengan menggunakan istilah rasionalitas instrumental. Bagi Habermas, positivisme mengandung rasionalitas instrumental yang bermaksud untuk menaklukkan dan menguasai obyek kajiannya. Oleh sebab itu menurut Habermas, di balik setiap ilmu pengetahuan selalu ada kepentingan yang menyertai, setidaknya kepentingan untuk menguasai dan memperoleh kebenaran yang obyektif. Dengan demikian obyektivisme digugat oleh Habermas, dan kemudian memperkenalkan konsep intersubyektifitas sebagai dasar analisis sosialnya menuju masyarakat komunikatif.  
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com