Aku dan nilai perjuangan dasar

Tulisan ini pada awalnya adalah catatan kecil saya saat bergulat dengan pemikiran Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Gorontalo pada periode waktu 2006-2010. Catatan kecil itu kemudian saya tuliskan sebagai catatan pengantar saat saya berencana menulis buku tentang: "Menyoal Epistemologi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan". Walau dengan ide sederhana, naskah buku itu berhasil saya rampungkan dalam waktu 2 bulan, dan wal hasil tidak jadi terbit karena persoalan budget yang kurang. Ditambah lagi saya akhirnya menjadi kurang percaya diri untuk menerbitkannya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 30 Januari 2016

Membicarakan Seni Memahami Ala Schleiermacher

Buku Seni Memahami Karya F. Budi Hardiman
Membincang hermeneutik atau “seni memahami” akan terasa sangat janggal bila kita tidak menyinggung nama dan karya Frederich Daniel Ernst Schleiermacher (1786–1834). Mengapa bisa? Tentu saja bukan karena tokoh ini lebih dulu mengkaji persoalan hermeneutika. Sebelum Schleiermacher, sudah ada pendahulu-pendahulunya yang membahas heremeneutika, seperti Friedrich Ast (1778–1841) dan Friedrich August Wolf (1759–1824). Schleiermacher pantas dikenang karena kemampuannya menarik keluar ilmu hermeneutik dari kungkungan disiplin spesifik seperti kajian teologi, teks-teks kuno atau filologi menjadi kajian hermeneutik umum. Bila dua pendahulunya, Ast dan Wolf lebih mengembangkan heremeneutik dalam lingkup spesifik, untuk memahami teks-teks kuno saja, maka bagi Schleiermacher, heremeneutik atau seni memahami dapat diterapkan secara lebih luas untuk memahami segala ungkapan dalam bahasa, baik itu tuturan maupun tulisan. Karena sumbangsih pemikirannya ini Schleiermacher dijuluki sebagai “Bapak Hermeneutik Modern”.

Sebelum masuk terlalu jauh, saya ingin mengatakan bahwa tulisan ini saya buat bukan karena saya ingin membenarkan atau mau menyepakati pemikiran Schleiermacher. Ini juga bukan riview isi buku. Tulisan ini sengaja saya buat dengan maksud untuk melatih pemahaman saya dengan menceritakan ulang apa yang saya baca dan pahami tentang Schleiermacher dalam buku “Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida”, karya F. Budi Hardiman. Buku ini membahas delapan pemikir hermeneutik, yakni: Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Bultmann, Gadamer, Habermas, Ricoeur dan Derrida. Jika tidak dibebani pekerjaan yang banyak, saya berencana akan mengulas delapan tokoh ini satu persatu dalam tulisan terpisah di blog ini. Untuk mengawali langkah ini, tulisan tentang Schleiermacher saya ketengahkan di sini.

Memahami sebagai Seni
Andi, Ratih, Rahma dan Ardi adalah suatu kelompok pertemanan. Mereka tiap hari bertemu, jalan bersama, bercakap-cakap, dan saling memahami satu sama lainnya. Hubungan mereka begitu akrab sehingga apa yang disebut kesalahpahaman bukanlah persoalan yang membayangi hubungan mereka. Tapi, pertanyaannya: “mengapa kesalahpahaman tidak terjadi di antara mereka?” Jawabannya bukan karena keempat orang ini sangat akrab satu sama lain, melainkan karena Andi, Ratih, Rahma dan Ardi berada pada lingkup pemahaman yang sama, simbol-simbol bahasa yang mereka gunakan dapat dipahami bersama, sehingga proses memahami ungkapan masing-masing menjadi tidak problematis. Namun, kondisi pemaham bersama seperti ini bukanlah titik pijak heremeneutik Schleiermacher. Titik pijak hermeneutik Schleiermacher justru ada pada kondisi ketidaksepahaman dan bagaimana menjembatani ketidaksepahaman itu. Untuk itu, dibedakan dua jenis memahami, yakni: memahami secara spontan dan memahami dengan upaya.

Memahami secara spontan terjadi karena penutur dan pendengar berada dalam konteks pemahaman yang sama, sehingga memahami menjadi tidak problematis. Oleh karena itu, tidak dibutuhkan upaya khusus untuk memahami. Satu sama lain. Contohnya adalah pertemanan empat orang (Ardi, Rahma, Ratih dan Andi) yang telah diilustrasikan di atas. Sementara itu memahami dengan upaya terjadi bila pendengar dan penutur berada dalam konteks ketidaksepahaman sehingga memahami menjadi sangat problematis. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya-uapaya khusus untuk mencapai kesepahaman. Inilah yang menjadi perhatian hermeneutik Shleiermacher di mana untuk memahami dibutuhkan upaya-upaya khusus. Misalnya ketika kita bertemu dengan orang asing yang tidak saling mengerti bahasa, atau ketika kita sedang memahami tulisan yang berasal dari zaman yang berbeda. Dalam hal ini, akan ada kesenjangan makna yang muncul antara penulis dengan penafsirnya dari zaman yang berbeda. Untuk mengatasi kesenjangan itu, Schleiermacher mengembangkan metode hermeneutiknya yang biasa disebut sebagai hermeneutik reproduktif. Karena melibatkan upaya yang membutuhkan kepiawaian, maka bagi Schleiermacher, hermeneutik adalah “Kunstslehre des Verstehens” diterjemakan dalam bahasa Indonesia sebagai “seni memahami”.

Bila dirumuskan, setidaknya ada dua alasan yang membuat Schleiermacher menyebut memahami itu sebagai seni, Pertama, karena pada dasarnya problem memahami itu adalah soal ketidaksepahaman atau lebih tegas dikatakan bahwa kesalahpahaman itu adalah suatu kepastian, maka dibutuhkan upaya-upaya yang gigih dan rumit untuk memahami sesuatu. Kedua, oleh karena memahami membutuhkan upaya dalam mengurai kerumitan pemahaman, maka dibutuhkan keahlian menggunakan cara-cara tertentu untuk melakukannya. Jadi seni di sini dimengerti sebagai sesuatu yang berkaitan dengan penerapaan keahlian dalam mengurai kerumitan memahami. Selanjutnya, di bawah ini akan saya jelaskan bentuk hermeneutik Schleiermacher, yakni hermeneutik reproduktif.

Hermeneutik Reproduktif
Maksud dari hermeneutik reproduktif adalah tugas seorang penafsir harus mampu menghadirkan kembali makna suatu teks secara persis sama dengan makna yang dimaksud oleh penulisnya di masa lalu. Hal ini dilakukan untuk mengatasi adanya kesenjangan makna antara penulis dan penafsir yang berasal dari zaman yang berbeda. Untuk mereproduksi makna yang persis sama dengan penulisnya, seorang penafsir tidak cukup menginterpretasi melalui kata dan kalimat saja dalam sebuah tulisan, seorang penafisr harus mampu memasuki kondisi mental penulisnya. Penafsir dalam hal ini dituntut  mengalami kembali (nach-erleben) dunia mental penulisnya untuk mengungkapkan secara persis sama dengan maksud penulis. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan dunia mental penulis oleh Schleiermacher bukanlah dunia psikis, melainkan kondisi pikiran dan konteks budaya di mana suatu tulisan dilahirkan.

Untuk itu mencapai tujuan mereproduksi kembali maksud yang persis sama dengan penulis, Schleiermacher merumuskan dua metode yang disebut interpretasi gramatik yang berurusan dengan bahasa sebagai kondisi di luar diri penulis dan interpretasi psikologis yang berkaitan dengan dunia mental atau pikiran penulis yang melahirkan tulisan-tulisannya. Kedua bentuk interpretasi ini saling berhubungan, bahwa melalui kata-kata atau bahasa yang digunakan penulis, seorang penafsir dapat memasuki dunia mental penulis teks yang sedang ditafsirkannya. Demikian juga sebaliknya, melalui pemahaman mengenai dunia mental dan konteks hidup penulis, kata-kata atau bahasa bisa dimengerti dengan lebih baik. Atau dengan kata lain kita memahami bahasa lewat pemakainya dan kita memahami pemakainya lewat bahasa yang dipakainya. Bagi Schleiermacher ini harus dipahami secara bersamaan. Interpretasi gramatik dan interpretasi psikologi harus dilakukan secara bersamaan. Inilah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutik (hermeneuticher Zirkel), yang intinya keseluruhan dapat dipahami dari bagian-bagian dan sebaliknya bagian-bagian dapat dipahami keseluruhan. Dengan demikian, seorang penafsir memiliki tugas yang lebih rumit lagi di mana ia harus bisa memahami kata-kata atau bahasa dan dunia mental penulisnya secara bersamaan.

Tapi, bagaimana mungkin tugas memahami ini bisa dilakukan secara bersamaan jika untuk memahami dunia mental penulis, penafsir harus masuk melalui bahasa atau kata-kata yang digunakan penulis terlebih dahulu? Atau sebaliknya harus masuk terlebih dahulu lewat memahami penulis untuk memahami kata-kata dalam tulisan. Bagaimana mungkin keseluruhan dapat dipahami jika untuk memahami keseluruhan kita harus terlebih dahulu memahami bagian-bagian, dan untuk memahami bagian-bagain harus terlebih dahulu memahami keseluruhan? Ini menjadi masalah penting dalam seni memahami ala Schleiermacher. Untuk mengatasinya, Schchleiermacher menegaskan bahwa ada kekuatan dalam otak kita yang memampukan kita melakukan lompatan ke dalam lingkaran heremeneutik di mana bagian-bagian dan keseluruhan dapat dipahami secara bersamaan. Kemampuan itu disebut sebagai kemampuan “divinatoris” atau “intuitif”. Oleh karena itu Schleiermacher merumuskan satu istilah lagi, divinatorisches Verstehen (memahami secara divinatoris), yakni memahami teks dengan mengambilalih posisi orang lain (penulis teks yang sedang ditafsirkan) agar dapat menangkap kepribadiannya secara langsung. Hal ini disebut pula memahami sebagai “empati psikologis”.

Memahami Melampaui Penulis
Ada pernyataan terkenal dari Schleiermacher yang kerap dikutip, yakni: “Memahami teks pertama-tama dan juga kemudian bahkan lebih baik dari penulis teks itu”. Hah, bagaimana mungkin penafsir bisa memahami teks lebih baik dari penulis teks itu. Bagaimana mungkin kita bisa memahami tulisan Plato melebihi Plato itu sendiri. Membingungkan memang!

Untuk itu perlu ditegaskan bahwa pernyataan Schleiermacher ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa pembaca atau penafsir lebih benar memahami teks daripada penulisnya. Sama sekali bukan itu maksudnya. Yang dimaksud di sini adalah karena penafsir tidak memiliki akses langsung pada penulis, maka untuk memahami penulis, seorang penafsir harus mencari tahu dalam literatur lain berbagai hal terkait riwayat hidup penulis beserta konteks sosial-budaya di mana penulis itu hidup dan melahirkan karyanya. Upaya penafsir dalam mengumpulkan informasi tentang penulis sebanyak mungkin inilah yang mengantarkan penafsir mampu mengetahui banyak hal tentang kehidupan penulis lebih baik dari pada penulis itu mengetahui dirinya sendiri.

Contoh yang diketengahkan oleh Budi Hardiman adalah surat-surat Rasul Paulus kepada umat Korintus. Adalah mustahil bagi penafsir untuk memahami teks lebih benar daripada Rasul Paulus sendiri yang menulis surat-surat itu. Namun, untuk memahami isi surat-surat itu, seorang penafsir harus mengetahui banyak hal tentang siapa Paulus itu beserta segala hal yang berkaitan dengan kehidupannya. Juga penting untuk mengetahui kondisi social-budaya umat Korintus yang menjadi tujuan surat-surat Paulus. Dengan cara seperti itu pada akhirnya penafsir menyadari dan mengetahui banyak hal tentang Paulus dan umat Korintus melampaui Paulus itu sendiri. Budi Hardiman juga menegaskan bahwa banyaknya versi tafsiran atas surat-surat Paulus itu menandakan bahwa ada banyak sisi yang tidak di sadari oleh Paulus sendiri tetapi di sadari oleh para penafsirnya.

Untuk memperjelas hal di atas, berikut ini akan saya jelaskan kembali dua jenis interpretasi menurut Schleiermacher, yakni interpretasi gramatik dan interpretasi psikologis. Kita mulai dari yang pertama, interpretasi gramatik. Setidaknya ada dua kanon yang perlu diperhatikan di sini: Pertama, segala hal dalam sebuah tuturan yang memerlukan sebuah penentuan yang lebih tepat hanya dapat ditentukan dari area bahasa yang sama bagi si penulis dan pendengarnya langsung. Maksudnya bahwa untuk mempertegas makna suatu kata, kita harus merujuk pada makna kata yang dipahami oleh penulis dan pembaca pada waktu karya itu ditulis. Maka problem yang muncul di sini adalah kesenjangan waktu antara penulis dan penafsir. Kesenjangan waktu ini sangat memungkinkan suatu kata akan mengalami perubahan makna (perubahan makna dalam waktu). Contoh, kata Latin hotis yang berarti “orang asing” tetapi sebelumnya arti kata hotis ini adalah “musuh”. Oleh sebab itu, seorang penafsir harus menjangkau makna asli kata-kata sebelum mengalami perubahan dalam waktu, yakni makna sebagaimana dipahami oleh penulis dan pembaca awalnya.

Kanon kedua: makna tiap kata sebuah kalimat harus ditentukan dengan konteks kata itu berasal. Maksudnya, jika pada kanon pertama mewajibkan penafsir untuk menjangkau makna asli sebelum sebuah kata mengalami perubahan makna dalam waktu, maka pada kanon kedua ini penafsir diwajibkan untuk memahami dalam konteks apa kata itu digunakan oleh penulis. Sebuah kata dapat memiliki banyak arti, sehingga penafsir menjadi kesulitan untuk menegaskan makna apa yang dimaksud oleh penulis. Menurut Schleiermacher, kita tidak dapat sepenuhnya menjelaskan arti suatu kata sebagaimana dipakai oleh penulisnya di masa lalu. Tapi, meskipun demikian adanya, penafsir dapat menelusuri lingkup hidup penulis untuk menjangkau apa maksud penulis mengutarakan kata-kata itu. Dalam konteks inilah penafsir pada akhirnya dapat mengetahui banyak hal yang tidak diketahui oleh penulisnya.

Selanjutnya adalah interpretasi psikologis. Dalam jenis interpretasi ini penafsir dituntut untuk keluar dari teks untuk menjangkau atau mengambil alih posisi penulis. Pada tahap ini penafsir dituntut untuk menjadi subjektif sekaligus objektif. Maksudnya, penafsir harus subjektif ketika menangkap pribadi khas penulis dan harus objektif saat menangkap situasi lingkungan dan kondisi zaman di luar diri penulis termasuk lingkup bahasa atau gramatik. Untuk itu, perlu ditegaskan bahwa penafsir mustahil dapat mengetahui penulis tanpa diterangi oleh pemahaman atas seluruh kehidupan dan zaman di mana penulis itu hidup.

Penjelasan di atas menunjukan cara kerja interpretasi gramatik yang tidak dapat dipisahkan dari interpretasi psikologis. Keduanya saling berkaitan satu sama lain yang membentuk lingkaran hermeneutik seperti sudah dijelaskan sebelumnya. Bahwa mustahil untuk mengetahui penulis tanpa mengetahui kata-kata yang digunakannya, sebaliknya mustahil memahami kata-katanya tanpa memahami penulisnya secara utuh. Semuanya harus dipahami secara bersamaan dengan menggunakan kekuatan memahami secara divinatoris atau secara intuitif.

Dari penjelasan di atas yang terpenting di sini adalah memahami bahwa hermeneutik atau seni memahami ala Schleiermacher menerangkan dengan jelas bahwa untuk memahami teks penafsir tidak harus memusatkan diri pada logika internal teks semata, melainkan harus keluar dari logika teks untuk menemukan konteks penciptanya atau konteks kehidupan yang menghasilkan teks itu. Oleh karena itu, hermeneutik Schleiermacher disebut melampaui literalisme, atau melampaui teks.

Papua, 31 Januari 2016   





Selasa, 26 Januari 2016

Jenggot & Stereotip Teroris

Pemuda itu berperawakan kurus dan tinggi. Ia sehari-hari berpakaian sederhana, baju kaos oblon, celana kain hitam dengan kopiah warna putih ala Pak Haji serta jenggot panjang yang terpelihara rapi. Itulah ciri khasnya. Mungkin Anda akan berpikir dia pemuda itu adalah seorang ustadz yang kona'ah. Tapi Anda akan salah jika berpikir begitu, dia bukan hanya seorang ustadz, dia adalah seorang antropolog yang tengah menempuh pendidikan pascasarjana di sebuah universitas ternama. Hah, lalu apa menariknya menceritakan pemuda ini?

***  
Pagi itu aku bersama-sama dengannya naik sebuah maskapai menuju Jakarta. Di sinilah menariknya. Di tengah merebaknya isu terorisme, penjagaan kemanan di setiap bandara semakin diperketat. Tapi pemuda itu tidak mau ambil pusing dengan perawakannya yang berjenggot dan berkopiah, ia melaju dengan ringan menuju pintu masuk bandara, dan tak menyadari begitu banyak mata memandanginya dengan penuh curiga. Aku tertegun sesaat melihat fenomena itu. Kenapa jenggot dan kopiah putih menjadi sesuatu yang lyan? bukankah itu sebuah simbol keimanan? lalu mengapa orang beriman dipandang dengan penuh curiga? tampaknya ini ada hubungannya dengan laku terorisme yang menuding muslim sebagai pelaku bom bunuh diri sejak tragedi 11 Septermber 2001 silam. Ah, tentu saja bukan, orang berjenggot tidaklah identik dengan terorisme, begitu tegas salah satu sahabat saya dalam status di facebook-nya.

Tapi bagaimana pun kita tidak sepakat dengan cap itu, jenggot dan teroris sudah menjadi sangat identik. Aku juga tidak sepakat dengan cap seperti itu, tapi itulah yang disebut stereotip. Stereotip itu tidak peduli apakah suatu cap itu benar atau tidak, cap itu tetap akan dilekatkan pada sesuatu. Oleh karena itu, walau setiap yang berjenggot itu bukan teroris, tetap saja jenggot akan dihubungkan dengan teroris, dan prasangka itu akan selalu membayang-bayangi saat kita bersentuhan dengan orang-orang berjenggot. Ah, bukankah ini pendapat yang berlebihan?

Bisa saja Anda tidak sepakat dengan tulisan ini, tapi itulah yang dialami oleh pemuda berjenggot tadi. Walau ia adalah seorang antropolog, kehadirannya bisa menimbulkan munculnya prasangka yang mengacu pada stereotip tadi. Bahkan pernah sekali saat kami naik kereta pasca peristiwa bom Sarinah Jakarta, seorang penumpang sempat mengungkapkan kekhawatirannya tentang bom saat melihat pemuda tadi. Inilah yang aku maksud stereotip teroris itu sudah melekat pada mereka yang berjenggot, apalagi jenggotnya sudah menyerupai jenggot Osama Bin Laden seperti milik pemuda tadi. Hehe

Tentu saja stereotip ini tidak lahir begitu saja. Ini adalah hasil konstruksi dari peristiwa-peristiwa terdahulu di mana media menggabarkan kelompok-kelompok Islam garis keras sebagai pelaku teror dan bom bunuh diri. Ada juga spekulasi yang menyebut Amerika sebagai dalang di balik lahirnya kelompok-kelompok teroris di seluruh dunia. Tapi terlepas dari semua sudut pandang itu, ada hal penting yang harus kita renungi, bahwa semakin menguatnya gerakan radikal berbasis Islam (Islam garis keras) yang tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap sesuatu yang dianggap salah akan semakin menguatkan stereotip tadi. Bahwa justru di saat dunia telah menjadi begitu terbuka dengan beragam wacana, wajah Islam justru hadir dengan tindak kekerasan berbasis iman. 

Sesuatu yang begitu bertentangan, di satu sisi ada iman, sementara di sisi lainnya ada kekerasan. Kita mungkin menuduh Amerika sebagai dalang teror, tapi kita lupa bahwa tindakan kekerasan yang kerap dilakukan juga adalah bagian dari teror sosial yang masif. Islam sedang bergerak sebagai suatu identitas politik, bukan lagi sebagai jalan hidup yang menyejukkan dan mengantarkan manusia pada jalan Tuhan. Sebagai identitas politik, umat Islam ingin menegaskan diri sebagai umat dan agama yang paling mulia tapi dengan tindakan yang tidak mulia. Bila beragama menjadikan kita bertentangan satu sama lain, merasa paling benar satu sama lain, maka agama tidak lagi turun untuk suatu kedamaian, melainkan untuk melegitimasi kekuasaan umat tertentu.


Makassar, 27 Januari 2016
Saat Menunggu Berangkat ke Papua    


Sabtu, 09 Januari 2016

La Elangi dan Wa Bilahi; Drama Cinta dan Kekuasaan



Salah satau penari Lense dalam sebuah upacara adat

  
DUA lelaki itu tampak mulai gelisah. Walau keduanya terlihat sedang memegangi tali pancing yang baru saja dilemparkan ke laut, perhatian mereka sebenarnya mulai teralihkan oleh bunyi gong yang samar-samar. Keduanya sudah sering memancing di sekitar laut itu, tapi mereka baru mendengar bunyi gong seperti ini. “itu seperti suara gong yang mengiringi tari-tarian nan indah, tetapi acara apakah gerangan yang dilakukan tengah malam seperti ini”, begitu keduanya membatin. Dipenuhi rasa penasaran yang sama, keduanya memutuskan untuk mencari jawaban. Masing-masing menggulung tali pancingnya dan mendayung menuju tepian pantai, persis di mana arah bunyi itu berasal. Mereka kemudian berjalan menyusuri pantai dan memasuki semak belukar demi mencari jalan ke sumber bunyi tadi. Telinga mereka begitu awas mendengarkan arah sumber bunyi, mereka sudah tak peduli lagi dengan ikan tangkapannya yang jumlahnya masih setengah dari hasil tangkapan hari-hari sebelumnya. Kedua lelaki itu adalah pesuruh Kesultanan Buton yang bertugas memancing di sekitar peraiaran teluk Kulisusu.

***

Langkah mereka tergesah-gesah tatkala suara gong yang diiringi lagu itu semakin jelas. Setelah keluar masuk semak belukar di depan mereka tampak sebuah istana berbentuk rumah panggung yang diterangi dengan lampu minyak. Itu adalah istana Sangiano Lemo yang beraada dalam benteng Kadacua. Rupanya malam itu adalah malam pembukaan upacara adat Poriwangaa (pesta Sangia yang dirayakan empat tahun sekali). Perayaan ini akan dilakukan tiga malam berturut-turut. Pada malam pertama ini, tari lense digelar pada tengah malam. 

Tak tahan ingin melihat, kedua lelaki itu segera bergabung dengan keramaian penonton yang sedang menyaksikan pertunjukan tari lense. Di sana terlihat para penari dengan rupa yang cantik berganti-gantian menari di depan penonton. Gerakan-gerakan tari lense yang lembut berputar-putar menjadi tontonan yang sangat menarik hingga membuat kedua lelaki tadi lupa dengan tugasnya memancing. Keduanya lupa waktu dan menyaksikan tari lense sampai subuh.

Begitu fajar mulai menyingsing kedua lelaki tadi sudah berpikir untuk pulang ke istana Buton. Tapi saat keduanya hendak pulang, penari terakhir itu keluar dari dalam rumah. Ia terlihat berbeda dengan penari-penari lainnya. Selain gerakannya yang lebih indah dari para penari sebelumnya, parasnya terlihat sangat rupawan hingga kedua mata lelaki tadi melotot. Ia adalah Wa Bilahi putri Sangiano Lemo yang terkenal paling cantik di wilayah itu dan merupakan pencipta tari lense.

Niat untuk pulang pun ditangguhkan sampai Wa Bilahi selesai menari. Kedua lelaki itu terpesona melihat kecantikan Wa Bilahi. Dan rupanya tak hanya kedua lelaki tadi yang dibuat kagum, semua penonton yang hadir saat itu juga sama-sama terbuai oleh kecantikan dan kepandaian menari Wa Bilahi. Hal yang membuat semua penonton tidak beranjak sejak tadi sebenarnya adalah keinginan menyaksikan Wa Bilahi menari pada akhir acara sebagai penari terakhir. Gerakan tubuh Wa Bilahi sangat indah. Tubuhnya seolah ditakdirkan untuk satu tujuan, menjadi penari lense yang tiada bandingannya. Semua mata tertuju padanya, hingga tak ada satu pun gerakannya yang luput dari perhatian penonton sampai ia selesai menari.   

Tanpa sadar hari sudah semakin pagi, kedua lelaki tadi bergegas kembali ke pantai, mengambil perahu, ikan tangkapan masing-masing dan kembali ke istana Kesultanan Buton. Sepanjang perjalanan mereka berdua terbayang-bayang oleh kecantikan Wa Bilahi dan sesekali mereka membicarakannya dan memuji kecantikannya dengan pujian yang tak berhingga. Mereka lupa bahwa hasil tangkapan mereka hanya setengah dari hari-hari sebelumnya yang mungkin bisa membuat marah Sultan Buton, La Elangi.

Sampai di istana Buton, ikan hasil tangkapan mereka diserahkan pada pengurus rumah tangga istana. Walau pun hasil ini hanya setengah dari hasil pada hari sebelumnya, namun hal ini belum mengundang tanya, bisa saja mereka lagi kurang beruntung hingga tangkapan mereka berkurang. setelah itu kedua laki-laki tadi pulang beristirahan ke rumah masing-masing untuk persiapan turun memancing pada malam berikutnya. Keduanya tidak menceritakan apa yang mereka lihat di negeri Kulisusu, gadis cantik Wa Bilahi dan tari lense yang menawan.

Saat hari sudah mulai soreh, kedua lelaki pesuruh istana Kesultanan Buton itu sudah bersiap-siap dengan perahu dan perlengkapan memancing. Mereka berlayar menuju teluk Kulisusu menunaikan tugasnya memancing ikan sebanyak-banyaknya untuk kebutuhan istana. Keduanya tampak bersemangat sebab mereka berharap setelah memancing, malam ini mereka dapat menyaksikan lagi tari lense dan gadis cantik Wa Bilahi. Tapi ternyata malam itu suasana sedikit berbeda. Bunyi gong dan lagu lense yang semalam terdengar tengah malam kini sudah terdengar ketika mereka sampai di teluk Kulisusu. Rupanya pada malam kedua upacara poriwangaa itu, pertunjukan tari lense dimulai lebih awal, pada pukul 19.00 atau pukul 7 malam. Sama seperti malam sebelumnya, setelah mendengar bunyi gong itu kedua lelaki itu langsung menuju daratan mengabaikan tugas pentingnya. Mereka menyaksikan pertunjukan tari lense sampai pagi dan sebagai akibatnya mereka tidak membawa hasil apa-apa ke istana.

Berita itu pun kemudian didengar oleh sultan La Elang (sultan Buton IV), bahwa kedua pesuruh istana itu tidak membawa ikan seekor pun setelah memancing semalaman di teluk Kulisusu. Itu adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Sultan pun kemudian memanggil kedua nelayan istana itu untuk menghadap padanya, sultan La Elangi ingin tahu apa yang terjadi sampai kedua pesuruhnya itu tidak menangkan ikan seekorpun.

“kenapa kalian tidak membawa hasil seekorpun?” begitu sultan bertanya pada kedua pesuruh itu.

Keduanya terlihat gugup untuk menjawab pertanyaa sultan, takut jangan sampai mereka dianggap lalai menjalankan tugas. Akhirnya kedua pesuruh istana itu memutuskan untuk menceritakan kepada sultan apa yang sudah dua malam ini mereka lihat, “kami tertarik menyaksikan pertunjukan tari lense sepanjang malam di sebuah istana yang tidak jauh dari tempat kami memancing Waopu (panggilan mulia untuk sultan sebagai bentuk pensifatan wujud sultan sebagai wakil tuhan di bumi, opu sendiri dalam bahasa Buton berarti Tuhan)”.

Mendengar jawaban mereka, sultan La Elangi tiba-tiba dihinggapi rasa penasaran. Tarian seindah apakah yang membuat perhatian kedua pesuruh istana itu melalaikan tugasnya. Sultan lalu berkata: “kalau demikian, boleh saya ikut serta sebentar malam menyaksikan tari lense itu?”

Kedua pesuruh itu menjawab: “boleh saja Waopu, ada gadis yang paling cantik yang terakhir menari, dia menari pada hanya saat fajar mulai terbuka sebagai penari penutup Waopu”. Jawaban itu memantapkan hati sultan La Elangi untuk ikut bersama dua pesuruh kerajaan itu ke Kulisusu untuk menyaksikan pertunjukan tari lense.

Soreh itu sultan Buton sudah bersiap-siap berangkat bersama dua pesuruh istana itu. Kali ini kedua pesuruh itu tidak membawa peralatan memancing dan sultan La Elangi pun tidak mengenakan pakaian kebesarannya. Kali ini tugas kedua pesuruh istana itu adalah mengawal sultan Buton yang sedang dipenuhi rasa penasaran. Sultan La Elangi bersama kedua pesuruh itu kemudian berlayar menuju negeri Kulisusu. Pada pukul 20.00 atau jam 8 malam, mereka sudah tiba di sebuah pantai yang gelap gulita. Karena saat itu bunyi gong belum terdengar, mereka menunggu di sebuah gubuk mirip pos jaga di sekitar pantai itu. Sangking gelapnya, sultan La Elangi menyebut pantai itu sebagai pantai Malalanda yang berarti gelap-gulita dalam bahwa Buton. Sampai sekarang Malalanda diabadikan oleh masyarakat Kulisusu sebagai nama pantai itu.

Kira-kira sekitar pukul 21.00 bunyi gong sudah terdengar. Kedua pesuruh istana itu segera menuntun sultan menuju ke istana Sangiano Lemo. Karena tidak membawa simbol-simbol kebesarannya, sultan La Elangi dapat dengan mudah membaur di tengah keramaian sehingga selain kedua pesuruhnya, tidak ada yang mengetahui bahwa ia adalah seorang sultan. Para penari lense tampil silih berganti, ada yang menari sendiri ada juga yang berkelompok. Setiap kali berganti penari, sulatan La Elangi bertanya kepada kedua pesuruhnya: “sudah itukah gadis penutup tari lense itu?” kedua pesuruh itu menjawab: “bukan”. Rupanya sultan La Elangi sedang dirundung rasa penasaran tentang rupa gadis cantik penutup tari lense yang dikisahkan oleh kedua pesuruhnya.

Malam semakin larut, acara terus berlangsung, semua mata menatap masih penuh kagum termasuk mata sultan La Elangi hingga tak terasa fajar mulai menyingsing. Rasa penasaran sultan semakin memuncak, tapi malah yang keluar bukan seorang gadis melainkan sebuah malobu (mangkuk, bahasa Kulisusu) beris air yang diletakan di tengah-tengah ruangan tempat menari. Setelah itu baru keluar Wa Bilahi dengan parasnya yang rupawan ia menari di atas sebuah mangkuk berisi air itu. Kedua kakinya menginjak sisi-sisi mangkuk, karena gerakannya yang sempurna tak ada setitik pun air yang tumpah dari mangkuk itu. Melihat pertunjukan dan kecantikan Wa Bilahi itu, sultan Buton terlihat gelisah. Tak bisa menahan diri, sultan La Elangi tak lagi menunggu pertunjukan Wa Bilahi selesai. Ia punya rencana lain. La Elangi kemudian masuk di bawah kolong istana dan menggeser lantai bambu yang akan dilewati Wa Bilahi saat masuk ke dalam rumah. Di bawah kolong rumah itulah La Elangi menunggu Wa Bilahi selesai menari. Ia sangat cemas, jantungnya berdenyut semakin kencang memikirkan apakah rencannya ini akan berhasil atau tidaknya. Sesekali sultan La Elangi menyapu keringatnya yang sudah bercucuran.

Makam Wa Bilahi

Lalu suara derap langkah sudah terdengar, itu adalah langkah kaki Wa Bilahi yang sedang melangkah masuk dalam rumah. Denyut jantung La Elangi semakin bertambah kencang. Perangkap La Elangi pun bekerja, tanpa sadar Wa Bilahi menginjakan kakinya pada lantai yang lubang akibat digeser La Elangi. Wa Bilahi jatuh di bawah kolong dan dalam sekejap Wa Bilah sudah berada dalam pelukan sultan La Elangi. Karena kejadian itu, tidak ada alasan lagi bagi Wa Bilahi, ia harus segera dinikahkan dengan La Elangi. Karena kejadian itu pula La Elangi membuka identitasnya sebagai sultan Buton.

Setelah dinikahkan dengan Wa Bilahi, sultan La Elangi tinggal di istana Sangiano Lemo. Ia tinggal sekitar 40 hari lamanya menikmati bulan madunya dengan Wa Bilahi dan berarti 40 hari pula sultan La Elangi meninggalkan tahta kesultanannya di istana Buton. Walau pun sultan Buton sangat bahagia bersama Wa Bilahi, ia harus kembali ke istana Buton demi menunaikan tugasnya sebagai seorang sultan. Sultan La Elangi pun akhirnya kembali ke Buton dan meninggalkan Wa Bilahi yang sedang hamil muda. Karena meninggalkan istana Buton selama 40 hari, maka sultan La Elangi diberi gelar Mobolina Pauna (yang meninggalkan tahta kekuasaannya).

***.

Demikian Orang Kulisusu mengenang perjumpaan sultan La Elangi dan Wa Bilahi dalam salah satu versi tradisi lisan. Sebenarnya ada banyak versi sejarah lisan lain baik versi yang mirip maupun versi yang bertentangan dengan cerita di atas. Misalnya versi lisan dari Hi. Dihasa yang menjelaskan bahwa kedatangan sultan La Elangi pada akhir abad ke-16 di Buton sebenarnya adalah dalam rangka menyebarkan agama Islam, ada juga yang bilang bahwa La Elangi datang berguru agama Islam di Kulisusu sebab ilmu tasawuf Orang Kulisusu lebih tinggi, dsb. Tapi berapapun banyaknya versi cerita itu dan betapapun penuturnya menganggap versinya sebagai cerita yang paling benar tidaklah membuktikan fakta yang lebih sahih dari yang lainya selain membuktikan sebuah fakta betapa beragamnya ingatan dan tafsir tentang masa lalu Orang Kulisusu, betapa sejarah lisan itu bersifat polisemi. Selain itu, beragamnya versi sejarah lisan itu menunjukan sebuah fakta bahwa setiap penutur sejarah lisan berperan sebagai agensi yang merajut makna yang tidak bebas dari persentuhannya atau dialognya dengan yang lain, yakni dengan sesama penutur maupun dengan ragam struktur budaya dan relasi-relasi kuasa yang beroperasi dalam kehidupan penutur itu (Bakhtin, 1981).
.
Cerita di atas adalah cerita yang saya sadur dari sebuah naskah lokal yang ditulis tangan oleh La Ode Abu Saru (alm) berjudul “Wa Ode Bhilahi”. Saya merujuk naskah ini bukan karena versi ini yang saya anggap paling benar, ini hanyalah sebuah keinginan untuk menuliskan salah satu versi saja yang secara kebetulan saya punya naskahnya dan telah saya baca berulang-ulang. Cerita ini bukanlah tentang sejarah, melaikan sebagai kesejarahan (historisitas). Apa bedanya? Bila sejarah berkepentingan merekonstruksi sebuah kisah sebagai kisah yang dianggap benar-benar pernah terjadi di masa lalu (historiografi), maka kesejarahan berkepentingan untuk memahami bagaimana suatu masyarakat memahami dan mengingat masa lalunya (Rudyansjah, 2009). Kesejarahan sama sekali tidak berkepentingan untuk menunjukan suatu peristiwa sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau, tetapi berkepentingan untuk menunjukan bagaimana suatu masyarakat masa kini memahami masa lalunya. Masuk akal atau tidak itu bukanlah persoalan. Yang dipersoalkan  di sini adalah tentang makna apa yang dirajut dan dihayati seorang penutur dalam persentuhannya dengan masa lalu dan kaitannya dengan kepentingan masa kini.

Bahkan ketika cara berpikir ini saya terapkan pada diri saya sendiri, maka penulisan versi ini hasil dari upaya pribadi saya untuk merajut makna melalui dialog saya dengan yang lain (the others) termasuk dialog saya dengan masa lalu melalui naskah-naskah lokal, melalui wawancara, maupun dialog saya dengan teori-teori yang saya pelajari dibangku kuliah dan relasi-relasi kuasa yang beroperasi dalam kehidupan saya. Singkatnya saya sendiri adalah aktor yang tidak bebas nilai sehingga tulisan saya ini menggambarkan hasil dialog saya dengan yang lain. Oleh karen itu, sekali pun saya menyadur naskah lokal yang ditulis La Ode Abu Saru, tapi tidak semua tulisan Abu Saru saya sadur. Ada beberapa hal yang saya buang, hal ini berkaitan dengan prinsip dialogis tadi di mana saya sendiri adalah agensi yang berusaha merajut makna sendiri.

Tapi kisah ini belum selesai sampai di sini. Kisah masih berlanjut hingga anak La Elangi dan Wa Bilahi tumbuh dewasa menjadi pemuda yang gagah perkasa.

***

Anak kecil itu bernama La Ode Ode, ia sedang bermain bersama teman-temannya. Tiba-tiba sekawanan anak kecil lain datang dan mengolok-oloknya. La Ode Ode disebut sebagai anak yang tidak punya ayah sebab sejak ia lahir tumbuh sampai ia bisa jalan dan bermain-main dengan teman-teman sebayanya, La Ode Ode tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Itulah pengalaman psikologis La Ode Ode yang membentuk kepribadiannya hingga dewasa, sebagai anak yang tanpa ayah.

Pada 1605, saat itu usianya sudah 20 tahun, La Ode Ode tumbuh menjadi pemuda yang perkasa dan punya banyak pengikut. Bagaimana pun La Ode Ode adalah cucu Sangiano Lemo salah satu pemimpin penting di tanah Kulisusu. Saat mengetahui dirinya sebagai anak sultan yang tidak diperhatikan, hatinya terbakar amarah, hingga ia berniat mengunjungi ayahnya di istana Kesultanan Buton untuk meminta agar Kulisusu diakui sebagai satu kesultanan tersendiri. Untuk itu, La Ode Ode mengajak sebanyak 40 orang rakyat Lemo sebagai pasukan yang membantunya memberontak di Kesultanan Buton. Jika tuntutannya tidak diindahkan oleh ayahnya, sultan La Elangi maka La Ode Ode berencana untuk membakar istana kesultanan Buton. Tak hanya itu, mereka juga berniat untuk montobhe rapa (memecahkan kepala, bahasa Kulisusu) dan mombhore cia (membelah perut) jika tuntutan mereka ditolak.

Makam La Ode Ode

La Ode Ode kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengumpukan daun kelapa kering (morombo koroka, bahasa Kulisusu) yang akan digunakan untuk membakar istana Kesultanan Buton. Tempat di mana mereka morombo koroka (mengumpulkan daun kelapa kering) ini disebut sebagai Rombo dan diabadikan sampai sekarang sebagai nama salah satu desa di Kecamatan Kulisusu, desa Rombo. Selanjutnya La Ode Ode dan pasukannya berangkat ke Buton dengan perahu yang penuh dengan muatan daun kelapa kering (koroka) ditambah gong dan gendang.

Perahu La Ode Ode dan pasukannya mendarat di Buton pada malam hari. Suasana malam itu sangat gelap. Langit Buton seperti menyembunyikan cahaya bintang-bintang hingga tak ada satupun yang tampak seolah menggambarkan suasana hati La Ode Ode yang diabaikan ayah kandungnya. Bila langit di atas istana Sangiano Lemo menjadi saksi perujumpaan cinta La Elangi dan Wa Bilahi, kini langit negeri Buton menjadi saksi kemarahan buah cinta mereka, La Ode Ode. Perseteruan antara ayah dan anak kini sudah di depan mata, gendang Pemaani atau ganda petetea (gedang perang) kini sudah ditabur. Suaranya memecah kesunyian malam negeri Buton dan membuat warga sekitar terganggu. Seolah tak peduli dengan apa yang terjadi, pasukan La Ode Ode tidak berhenti memukul gendang pemaani itu sampai pagi.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali petugas keamanan istana datang memeriksa sumber suara gaduh yang semalam telah meresahkan warga itu. Saat tiba di pelabuhan Buton, para petugas itu melihat serombongan pasukan yang sedang menabur gendang di atas perahu. La Ode Ode keluar dan berdiri di atas haluan perahunya sambil bertolak pinggang menyambut kedatangan para petugas keamanan itu. Kemudian petugas keamaanan itu melemparkan pertanyaan: “hai orang asing, dari mana kalian berasal dan ada maksud apa kalian datang mengganggu ketenangan masyarakat di negeri kami?”

Tapi La Ode Ode tak menjawab sepatah kata pun, ia tak menghiraukan mereka seolah tidak mendengar pertanyaan apa pun walau sudah berkali-kali diulangi. Petugas keamanan pun gerah melihat tingkah La Ode Ode, mereka berusaha untuk turun memeriksa di perahu itu, tapi pasukan La Ode Ode tidak mengzinkan mereka masuk ke dalam perahu. Petugas keamanan itu tak bisa berbuat apa-apa dan kembali melapor ke istana.

“semua pertanyaan kami tidak dijawab oleh juragan perahu itu, juragan perahu hanya berdiri dan bertolak pinggang di haluan perahu, dan maaf oputa (panggilan mulia untuk sultan), juragan perahu itu memiliki kemiripan dengan oputa sultan” begitu laporan petugas keamanan istana tadi pada sultan La Elangi.

Mendengar laporan itu, sultan La Elangi mendapat firasat bahwa yang tiba dipelabuhan itu adalah putranya sendiri dari Kulisusu. Tanpa pikir panjang sultan La Elangi  memerintahkan agar juragan perahu itu dijemput dengan upacara adat. Upacara penyambutan pun dipersiapkan dan rombongan penjemput itu menuju ke pelabuhan menjemput juragan kapal yang berniat membakar istana Kesultanan Buton itu.

Perkiraan La Ode Ode ternyata meleset, ia bukannya melihat pasukan bersenjata yang turun menantang mereka, La Ode Ode malah melihat rombongan yang menjemputnya dengan upacara adat. Melihat hal itu, La Ode Ode dan pasukannya akhirnya bersedia naik ke darat dan kemudian bersama-sama rombongan penjemput La Ode Ode dan pasukannya menuju ke istana Kesultanan Buton. Saat sampai di istana, La Ode Ode pun dipanggil untuk menghadap sultan La Elangi. La Ode Ode begitu mirip dengan ayahnya itu, hingga saat bertemu tanpa berpikir panjang sultan La Elangi langsung memeluk La Ode Ode putra kandungnya itu. Suasana haru pun menyelimuti istana, kini La Ode Ode telah berjumpa dengan sosok ayah yang sudah berpuluh-puluh tahun ia rindukan, sementara sultan La Elangi kini telah bertemu dengan salah satu putranya yang gagah perkasa seperti dirinya. Air mata haru tak dapat dibendung. Pipi sultan La Elangi dan La Ode Ode kini dibasahi air mata. Para petinggi istana yang menyaksikan peristiwa itupun ikut larut dalam suasana haru.

Tapi tiba-tiba La Ode Ode berusaha melepas pelukan ayahnya itu, dengan sikap sedikit kasar. Ia seperti tersadar dari suasana haru yang membuatnya luluh iti. Keamanan istana mendekat bermaksud ingin melindungi sultan La Elangi, tapi mereka disuruh tidak ikut campur oleh sultan sendiri. La Elangi kemudian bertanya dengan suara lembut pada La Ode Ode: “apa maksud putra tercintaku ini berkunjung ke istana Buton?”

Mendengar pertanyaan ayahnya itu La Ode Ode dengan suara tegas mengatakan maksud kedatangannya “saya datang ke sini untuk meminta agar sultan Buton mengakui Kulisusu menjadi satu kesultanan yang otonom terlepas dari kesultanan Buton, jika permintaan saya ini tidak dipenuhi maka pasukan saya akan membakar hangus istana ini”. Suasana menjadi tegang, suara La Ode Ode yang tegas itu terdengar memenuhi seluruh ruangan membuat para petinggi istana diselimuti kekhawatiran. Tapi sebagai seorang ayah dan sultan yang bijak, La Elangi tidak menanggapi ucapan La Ode Ode dengan emosi. La Elangi kemudian membujuk putranya itu dengan nada lembut. Sultan La Elangi berkata:

“putraku tercinta, kembalilah ke Kulisusu untuk menyusun pemerintahan dengan struktur pemerintahan yang sama dengan struktur pemerintahan di Kesultanan Buton. Kekuasaan pemerintahan itu adalah otonom tetapi kepala pemerintahannya adalah seorang Lakino Kulisusu bukan sultan Kulisusu, sebab pulau sekecil ini tidak wajar jika dibentuk dua kesultanan. Selanjutnya ananda akan menjadi Lakino Kulisusu (raja Kulisusu) dan berhak menentukan sendiri batas-batas wilayah kekuasaannya”.
          
Mendengar ucapan itu, La Ode Ode menjadi luluh. Rupanya La Elangi adalah sosok sultan yang tidak hanya bijaksana tetapi piawai dalam berdiplomasi sehingga mampu memadamkan api perlawanan pada anaknya yang tanpa sadar telah ia abaikan itu. La Ode Ode dan pasukannya kemudian pulang dengan perasaan legah. Sampai di Kulisusu La Ode Ode mulai menyusun struktur pemerintahannya. Pertama, wilayah kekuasaan ditetapkan sebagai berikut: tapal batas bagian Selatan adalah sungai Bubu, tapal batas bagian Utara adalah sungi Laa Ea yang bermuara di Selat Buton. Kedua, wilayah kekuasaan itu dibagi menjadi 12 Limbo, yakni: (1) Limbo Kotawo dikepalai oleh seorang kaomu (bangsawan) sebagai Lakino Kotawo dan dibantu oleh seorang walaka sebagai Bhontona Kotawo. (2) Limbo Kalibu dikepalai oleh seorang kaomu sebagai Lakino Kalibu dan seorang walaka sebagai Bhontono Kalibu. (3) Limbo Mata Oleo yang dikepalai oleh seorang kaomu sebagai Lakino Mata Oleo. (4) Limbo Lemo dikepalai oleh seorang kaomu sebagai Lakino Lemo. (5) Limbo Tomoahi dikepalai oleh seorang kaomu sebagai Lakino Tomoahi. (6) Limbo Sampu dikepalai oleh seorang kaomu sebagai Lakino Sampu. (7) Limbo Bhone dikepalai seorang kaomu sebagai Lakino Bhone atau disebut juga Lakino Nambo. (8) Limbo Kodha Awu dipimpin oleh seorang walaka sebagai Bhontono Kodha Awu. (9) Limbos Saku’a yang dipimpin oleh seorang walaka sebagai Bhontono Saku’a. (10) Limbo Mowuru dipimpin oleh seorang walaka sebagai Bhontono Mowuru. (11) Limbo Langkaudu dipimpin oleh seorang walaka sebagai Bhontono Langkaudu. Terakhir (12) Limbo Wela-Welalo dipimpin silih berganti oleh kelompok kaomu dan walaka.

Sejak saat itu, Kulisusu resmi menjadi bagian dari kekuaasaan Kesultanan Buton. Dan proses integrasi ini bukan tanpa perlawanan. Adalah Sangiano Doule yang dikisahkan menolak Kulisusu untuk bergabung dengan Kesultanan Buton. Oleh karena itu wilayah Sangiano Doule tidak masuk dalam 12 limbo di atas. Kisah perlawanan ini akan saya ceritakan dalam tulisan lainnya. 

Makassar, 10 Januari 2016    
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com