Aku dan nilai perjuangan dasar

Tulisan ini pada awalnya adalah catatan kecil saya saat bergulat dengan pemikiran Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Gorontalo pada periode waktu 2006-2010. Catatan kecil itu kemudian saya tuliskan sebagai catatan pengantar saat saya berencana menulis buku tentang: "Menyoal Epistemologi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan". Walau dengan ide sederhana, naskah buku itu berhasil saya rampungkan dalam waktu 2 bulan, dan wal hasil tidak jadi terbit karena persoalan budget yang kurang. Ditambah lagi saya akhirnya menjadi kurang percaya diri untuk menerbitkannya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 26 September 2017

Tantangan Sosial-Budaya dalam Mewujudkan Program Kabupaten Organik di Buton Utara



 
Ilustrasi Petani di tengah ladang
Label “Kabupaten Organik” kini bukan lagi cita-cita bagi pemerintah Kabupaten Buton Utara. Label itu sudah dipromosikan ke mana-mana mulai dari tingkat lokal, nasional, hingga ke tingkat internasional. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Bupati Buton Utara pada 11 Februari lalu di Liputan6.com bahwa pihaknya sudah mengeluarkan Peraturan Bupati terkait penetapan Buton Utara sebagai Kabupaten Pertanian Organik. Melalui penetapan itu, Pemda Buton Utara terlihat seolah melompat ke puncak pencapaian produksi pangan organik tanpa merasa perlu merumuskan cita-cita awal—misalnya: menuju Kabupaten Organik—terlebih dahulu. Ini serupa seorang yang baru mendaftar di perguruan tinggi lalu tiba-tiba dia langsung mengumumkan kepada khalayak (publik) bahwa dirinya sudah menyandang gelar sarjana.

Ada orang menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Bupati Buton Utara ini adalah contoh cara berpikir out of the box. Selama ini orang hanya terpola untuk mengikuti pemikiran arus utama (mainstream), seolah-olah kita berada dalam kotak yang tidak bisa kita lampaui. Berpikir out of the box adalah berpikir dan bertindak keluar dari kungkungan “kotak” itu. Ada benarnya juga. Namun menurut hemat saya, dalam hal diskursus soal kebijakan yang berkaitan dengan nasib rakyat, kita tidak bisa hanya mengandalkan kalimat-kalimat ala motivator seperti  di atas. Untuk itu, di sini kita butuh analisis yang lebih terukur dan realistis.

Tapi, penetapan ini bukannya tanpa konsekuensi. Seperti kata Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Sapiens, sesuatu yang terburu-buru selalu menimbulkan persoalan. Saat ini beredar rumor tentang tidak adanya bantuan pupuk untuk petani sawah. Hal ini cukup sederhana untuk dipahami. Bagaimana bisa ada bantuan pupuk untuk sebuah kabupaten yang sudah beralih rupa ke Kabupaten Organik! Ini masalah baru yang jelas-jelas berdampak pada petani sawah. Tapi kita tidak perlu heran sejarah umat manusia memang dipenuhi oleh oleh miskalkulasi-miskalkulasi, manusia tidak sepenuhnya memahami konsekuensi-konsekuensi dari apa yang dia lakukan (Harari 2017:102). Misalnya, ketika manusia beralih dari cara hidup berburuh dan mengumpul ke revolusi pertanian 10.000 tahun yang lalu. Saat itu manusia mulai memanipulasi tumbuhan dan binatang dan mulai hidup menetap untuk menjaga tanaman-tanaman dan ternak-ternak mereka dari gangguan luar. Orang-orang mengira bahwa dengan bercocok tanam, mereka telah mengatasi persoalan pangan mereka. Tetapi ada konsekuensi-konsekuensi yang muncul yang sebelumnya tidak dipahami atau abai dikalkulasi oleh manusia: pertama, dengan hidup menetap perempuan lebih mudah dan lebih aman melahirkan jika dibandingkan ketika hidup berpindah-pindah pada periode berburu dan mengumpulkan makanan. Akibatnya, revolusi agrikultural ini menyumbang pertumbuhan penduduk yang pesat. Oleh sebab itu kebutuhan akan pangan juga meningkat dan itu berarti manusia harus bekerja lebih keras lagi untuk memenuhi pangan dalam jumlah besar; kedua, dengan hidup bercocok tanam, manusia sepenuhnya menggantungkan hidup mereka kepada hasil panen. Kegagalan panen akan menyebabkan kelaparan dan kekurangan gizi. Jadi revolusi pertanian justru menyumbang persoalan baru, ancaman kekurangan gizi akibat ketergantungan pada hasil panen. Hal ini menurut Harari (2017) tidak pernah dijumpai dalam masyarakat pemburu dan pengumpul. Ketiga, karena manusia sudah bergantung sepenuhnya pada hasil pertanian, maka mereka harus menjaga tanaman mereka dari gangguan orang lain yang akan mengambil lahan mereka. Akibatnya terjadi perselisihan dan perang demi mempertahankan wilayah teritorial. Sampai saat ini kita masih sering menemukan perselisihan mengenai sebidang tanah dan penguasaan lahan oleh korporasi tertentu.

Kembali ke masalah kabupaten organik. Lalu apa yang menjadi dasar Pemda Buton Utara merasa begitu percaya diri dalam merumuskan label itu lebih awal?

Pada Liputan6.com (11/02/2017) Bupati Buton Utara menegaskan alasannya bahwa: “secara kultur, masyarakat Buton Utara sejak dahulu gunakan sistem organik sehingga lebih memudahkan untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait dengan pencanangan tersebut”. Pada Zonasultra.com 30 April 2017, Bupati Buton Utara juga menegaskan alasan yang seturut bahwa petani Buton Utara asal muasalnya merupakan petani organik yang masih mempertahankan cara-cara tradisional sampai sekarang. Ini adalah sebentuk keyakinan akan adanya modal budaya yang dipercaya menjadi penunjang iklim bagi kabupaten organik—sekalai lagi, bukan lagi calon kabupaten organik, tetapi sudah kabupaten organik. Namun, apakah modal itu cukup dan tanpa masalah?

Para penganjur optimisme akan mengatakan: “itu sudah lebih dari cukup, tinggal urusan pengembangannya”. Namun, kita mesti hati-hati mendasarkan argumentasi pada aspek kebudayaan, apalagi hanya dengan mengandaikannya begitu saja tanpa melihat lebih dalam. Budaya itu kompleks dan senantiasa berkembang. Jika kita mengacu pada sejarah pertanian, bukan hanya Buton Utara yang melakukan praktik pertanian organik pada masa lalu. Semua pertanian di berbagai belahan dunia ini pada dasarnya adalah pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida modern sampai terbitnya praktik pertanian modern. Jadi adalah keliru jika Pemerintah Buton Utara menjadikan alasan itu sebagai modal yang seolah-olah spesial dan menjadi dasar klaim sebagai “Kabupaten Organik”. Perlu pendalaman serius untuk menganalisis apakah tradisi bertanam organik ini masih bertahan dan tanpa masalah. Berikut ini adalah analisa sederhana saya terhadap pergeseran tradisi bertanam organik di Kabupaten Buton Utara.

Tradisi Pertanian dan Budaya Konsumsi

Tidak ada yang abadi selain perubahan, kata Heraklitos. Kita tidak akan pernah mandi di air sungai yang sama sebab sungai senantiasa mengalir. Demikian juga kebudayaan selalu berubah. Meneurut Paul B. Horton, tidak ada satupun masyarakat yang generasi barunya meniru 100% kebudayaan dari generasi terdahulu. Demikian juga tidak ada satupun generasi yang meninggalkan 100% apa yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Lihat saja di Buton Utara, sekalipun praktek pertanian modern sudah dikenal luas saat ini, tetapi praktik pertanian organik, terutama umbi-umbian, sayur, dan padi ladang, untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga belum ditinggalkan.

Praktik pertanian di Buton Utara ini pada masa lalu diikuti oleh serangkaian ritual-ritual pertanian dan masih bersifat subsisten (menanam hanya untuk kebutuhan sendiri). Mulai dari pembukaan lahan sampai panen dan pasca panen ada ritualnya. Misalnya ritual ziarah kubur Waoleona di Desa Mata dan sekitarnya sebelum memasuki masa tanam, ritual kaparika atau parika yang ramai dikenal oleh masyarakat Buton Utara. Di Kulisusu Utara ada ritual pemanggilan roh tanaman agar tanaman cepat tumbuh dan subur, ritual pembasmian hama dengan merapal doa dan mantra-mantra, dll. Selain itu, ada budaya gotong royong (mengkawalo) pada saat pembukaan lahan, perawatan tanaman, dan pada saat panen. Ada juga tradisi sungkudalo yaitu sistem pinjam-ganti beras hasil panen saat waktu panen tidak bersamaan. Ada tradisi menanam secara gotong royong (motasu). Dulu motasu menjadi arena perjumpaan muda-mudi, sehingga mereka selalu menggunakan pakaian terbaiknya untuk datang menanam di ladang. Tentu saja supaya bisa memikat perhatian lawan jenisnya. Selain itu, ada pula tradisi penyimpanan beras di dalam lumbung atau disebut polulu dalam bahasa Kulisusu. Tetapi lambat laun tradisi ini tersapu oleh perkembangan zaman, terutama oleh mekanisme pasar dengan budaya uang dan budaya konsumsinya. Di tengah mekanisme pasar itu, beberapa tradisi masih bertahan seperti pesta panen, sedangkan yang lain sudah jarang ditemukan. Polulu bahkan sudah sulit kita temukan di Buton Utara. Padahal polulu adalah lambang ketahanan pangan pada masyarakat tradisional.

Meningkatnya mekanisme pasar menyumbang peningkatan budaya konsumsi yang bebasis pada uang. Jika sebelumnya orang tak punya cara lain untuk mencukupi kebutuhan beras dan sayur-sayuran selain dengan menanam, sekarang dengan uang kita bisa mengkonsumsi beras tanpa harus bermandi peluh di ladang atau di sawah. Jika sebelumnya orang bertani hanya untuk berusaha mencukupi kebutuhan pangan keluarga, sekarang mulai muncul kebutuhan-kebutuhan lain, seperti: membeli TV, kulkas, smartphone, motor, membangun rumah bagus, kosmetik, membeli paket internet, dan yang lebih berat adalah membiayai pendidikan anak-anaknya.

Petani dulu tidak terlalu pusing ketika harus menunggu masa panen. Ia bisa menghabiskan sepanjang waktu untuk menjaga kebunnya tanpa harus memikirkan bagaimana mencukupi dengan tagihan SPP, godaan iklan smartphone merek baru yang membuat anaknya tak bisa tidur, tagihan listrik dan air, tagihan TV kabel, dll. Petani dulu juga tidak perlu pusing dengan biaya pembukaan lahan, biaya perawatan dan biaya panen, karena bisa minta bantuan pada tetangga, teman dan kerabat dekat. Tapi sekarang petani sudah dihimpit oleh banyak kebutuhan. Mereka tak bisa lagi menggantungkan hidup atau menghabiskan waktu sepenuhnya untuk merawat tanaman. Sekalipun tetap bertani, tapi lahan mereka ditanami dengan beragam tanaman, terutama tanaman-tanaman yang menguntungkan secara ekonomi, seperti: cengkeh, nilam, jambu mente, dsb. Mereka juga terpaksa harus melaut, buka kios, menjadi buruh bangunan, menyewahkan tenaganya untuk membuka lahan, atau pekerjaan lain yang bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya yang makin kompleks. Sekarang tidak ada yang gratis. Bagaimana mungkin ada yang gratis, jika anak mereka harus bayar SPP, harus beli paket data, harus beli baju baru, harus beli laptop, dll.

Hasil riset tentang ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik di Kabupaten Bogor yang dilakukan oleh Anang Suhardianto, Yayuk Farida Baliwati, dan Dadang Sukandar yang dimuat di Jurnal Gizi dan Pangan pada November 2007 (hal.1-12) menemukan: diantara rumah tangga petani penghasil beras organik termasuk tahan pangan. Namun, jika dilhat dari penguasaan lahan pertanian, hitungannya sama sekali tidak mencukupi rata-rata kebutuhan energi. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi pangan rumah tangga tercukupi karena konversi pendapatan di luar produksi beras organik. Dari hasil riset ini dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kompleks, bertani organik tidakla cukup. Dibutuhkan sumber pendapatan lain untuk mencukupi kebutuhan hidup, misalnya buka kios, menjadi aparat desa, menjadi buruh bangunan, dll.

Tenaga Ekstra Untuk Perawatan Padi 

Merawat tanaman padi secara tradisional adalah hal yang membutuhkan tenaga ekstra. Gandum adalah tanaman yang cengeng menurut Harari (2017). Dia tidak mau tumbuh jika di sampingnya ada rumput, dia juga tidak mau tumbuh jika kurang air, dia tidak mau tumbuh jika ada ulat atau hama lain yang hinggap di batangnya, dan ia juga akan mati jika ada kera atau hewan lain yang merusaknya. Jika tanaman gandum saja bisa secengeng itu, bagaimana dengan padi yang lebih susah dirawat ketimbang gandum. Dibutuhkan perawatan ekstra dan melibatkan bantuan banyak tenaga untuk merawat padi. Apalagi luas lahan yang digunakan sudah semakin luas, perawatannyapun akan semakin susah.

Dalam sebuah perbincangan ringan, seorang petani di Kulisusu Utara—yang sudah ubanan, umurnya sekitar 70 tahun—mengeluhkan soal sulitnya merawatan tanaman padi. Ia masih menyaksikan dan terlibat langsung dalam praktik pertanian tradisional yang dilakukan oleh orang tuanya. Ia mengaku pada usia mudanya, merawat padi yang luas lahannya mencapai satu hektar saja itu dirasa sangat susah dan menyita waktu. “Itu terlalu menyusahkan dan kita tidak bisa mengurus pekerjaan lainnya selain merawat padi itu” katanya. Orang tua dulu, katanya lagi, bisa tahan menghabiskan semua waktunya untuk merawat padi karena mereka belum ada kebutuhan lainnya yang minta untuk dipenuhi. Itupun syukur-syukur kalau hasil panen padinya berhasil, kalau tidak kehidupan petani akan kesulitan.       

Nah, dari pernyataan seorang petani di atas, kita bisa mengajukan pertanyaan sederhana: bagaimana mungkin petani mau menghabiskan waktu dan materinya untuk membuka lahan baru, menanam, merawat padi secara organik—sesuai keinginan pemerintah—jika kebutuhan-kebutuhan lain yang makin kompleks ikut mendesak? Bagaimana pula jika orientasi pertanian padi organik itu yang semulah bersifat subsisten (cukup untuk makanan sendiri) beralih orientasi ke pasar dunia?

Di sini letak persoalannya. Namun karena padi organik ini sudah menjadi program pemerintah dan terlanjur dipromosikan, maka pemerintah dengan segala perangkat, kekuasaan, dan kemampuan modalnya akan mengampanyekan atau bahasa lainnya membujuk masyarakat agar mau beralih ke pertanian organik. Walaupun masyarakat saat ini sedang mengusahakn jenis pertanian lain seperti nilam dan cengkeh yang lebih menguntungkan dan masa panenennya cukup singkat (nilam), mau tak mau petani pada akhirnya harus mengikuti kemauan pemerintah. Namun, karena merawat padi membutuhkan biaya dan tenaga ekstra, maka pemerintah harus memikirkan pemenuhan kebutuhan petani yang makin kompleks ketika petani itu menghabiskan waktunya untuk mengurusi tanaman padi secara organik. Apalagi dengan gagalnya panen jambu mente tahun ini serta kelangkaan pupuk untuk petani sawah yang disinyalir sebagai imbas dari program kabupaten organik. Jika tak dibantu, seperti riset Suhardianto, dkk di atas, petani mau tak mau harus mencari alternatif penghasilan lain demi memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Ini adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung pemerintah sebagai akibat dari program kabupaten organik yang berorientas pasar.

Di sini pemerintah juga harus memperhatikan persoalan bagaimana merubah budaya dari pertanian subsisten ke pertanian yang berorientasi pasar, lokal sampai dunia. Ini persoalan yang semakin pelik. Perubahan budaya berbeda dengan perubahan sosial. Dia tidak bisa instan. Perubahan sosial bisa saja terjadi akibat perubahan budaya material suatu masyarakat, tetapi kebiasaan dan cara berpikir itu tidak serta merta mengikut. Sebagai contoh kecil adalah kebiasaan nonton bola di pinggir lapangan. Sekalipun sudah dibangunkan stadion di Bukit Lamoliandu yang lengkap dengan tribun penonton, tetapi orang-orang masih saja nonton bola di pinggir lapangan. Demikian juga dengan budaya sabung ayam, walaupun keadaan sosial sudah berubah, tetapi cara kita memahami pertarungan masih dalam terminologi sabung ayam. Misalnya dalam pertarungan Pilkada, “ingko’o inaio manuu?” (kamu siapa ayammu)—maksudnya siapa yang kamu dukung. Juga dalam soal mendukung salah satu tim dalam pertandingan sepak bola, istilah manu (ayam) ini masih juga digunakan. Dari sini bisa dibayangkan bagaimana rumitnya merubah pola pertanian tradisional yang bersifat subsisten ke pola pertanian yang berorientasi pasar! Petani yang dulunya menanam untuk keperluan makanan saja kini harus menanam dalam jumlah besar untuk memenuhi kuota permintaan pasar. Ada beban baru yang makin besar yang harus ditanggung petani mengingat pola perawatan padi ladang yang membutuhkan tenaga, modal, dan waktu ekstra.    

Kehendak Untuk Memperbaiki dan Arena Politik Warga

Berdasarkan berita yang dimuat di Buton Pos (13/09/2017) demi menjalankan program kabupaten organik, pemerintah Buton Utara berpikir untuk memberi bantuan dana sebanyak Rp. 2.500.000,- per petani untuk biaya rangsangan pembukaan lahan. Namun faktanya untuk membuka lahan satu hektar secara organik petani membutuhkan dana lebih dari itu. Hal ini seperti kalkulasi sederhana dari seorang petani yang saya temui di Kecamatan Kambowa. Menurutnya untuk pembukaan lahan seluas satu hektar dibutuhkan sepuluh orang tenaga kerja dengan gaji Rp. 50.000 untuk setengah hari kerja (pukul 07.00 – 11.00). Pembukaan lahan ini tidak selesai dalam waktu satu minggu. Sehingga jika dijumlahkan dalam satu minggu: 50.000 x 10 = Rp. 500.000 x 7 hari = Rp. 3.500.000,-. Biaya yang paling besar menurutnya adalah biaya pembuatan pagar keliling lahan pertanian. Ini bisa mencapai puluhan juta jika menggunakan kayu dan papan yang dijual per kubik. Belum lagi dengan sewa pembuat pagar. Boleh saja katanya pemerintah membantu Rp. 2.500.000,- tapi itu hanya untuk pembukaan lahan saja, pemerintah juga harus membantu pada saat pembuatan pagar, kemudian membantu petani lagi untuk masa tanam dan pada masa perawatan tanaman. Kalau tidak dibantu seperti itu kami mau makan apa, jika semua waktu kami harus tersita untuk mengurusi tanaman padi itu, tegasnya.

Saya kemudian bertanya ke petani itu: apa yang akan Anda lakukan jika saat ini pemerintah memberikan bantuan sebesar Rp. 2.500.000,- untuk pembukaan lahan? Jawabannya cukup mencegangkan: “saya pake beli beras to, apalagi panen jambu mente tahun ini tidak berhasil”. Di sini kita bisa melihat adanya aspek politis (dalam arti yang luas) dari bantuan-bantuan seperti itu. Tania Murray Li sudah mengingatkan kita tentang aspek politis ini dalam bukunya The Will to Improve bahwa masyarakat yang selama ini dianggap sebagai objek pembangunan pada dasarnya adalah keliru. Masyarakat adalah kesatuan politis yang juga turut memainkan strategi untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya berhadap-hadapaan dengan pemerintah sebagai penyelenggara program pembangunan. Masyarakat bukanlah bejana kosong yang serta merta dapat diisi oleh hal-hal yang dianggap baik oleh pemerintah. Oleh sebab itu, tidak selamanya masyarakat menerima dengan baik kehendak untuk memperbaiki dari atas (pemerintah). Selalu ada arena negosiasi kepentingan antara berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, politisi pencari popularitas, dan pihak-pihak lainnya, yang bisa saja berlangsung di luar perencanaan yang sudah dibuat sebelumnya oleh perencana.  

Kabupaten Organik: Kebutuhan Petani atau Ego Pemerintah

Mengingat ketergantungan pada pupuk dan pestisida yang merugikan kesehatan dan mengurangi kesuburan tanah, secara konseptual pertanian organik tak bisa disangsikan merupakan konsep yang sangat baik dan merupakan semangat zaman kita. Namun pembangunan bukan soal baik dan tidaknya ide yang digagas. Yang lebih penting dari hal itu adalah apakah ide itu benar-benar cocok dan menyentuh apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kita bisa bengambil analogi sederhana tentang obat dan penyakit. Sekalipun konsep obat diapet itu baik, bersifat herbal dan alami, namun jika kita sakit kepala lebih baik kita minum Paramex daripada minum diapet, sebab diapet itu obat diare, bukan obat sakit kepala. Memberikan obat yang tidak tepat untuk sebuah penyakit adalah keliru. Beruntung jika hanya sakit tidak sembuh-sembuh, tetapi menjadi masalah baru jika obat yang salah itu menimbulkan penyakit lain yang lebih kronis. Begitu kira-kira.

Jadi, sebelum merumuskan sebuah program, pemerintah terlebih dahulu harus benar-benar melihat dan mempelajari secara mendalam kebutuhan dan persoalan apa yang ada dalam masyarakat. Bukan mengkajinya di atas meja dengan asumsi-asumsi umum, misalnya: dari dulu kita punya tradisi bertaman padi organik dan memiliki varietas padi lokal yang ada di daerah kita. Membuat suatu program—yang hanya bertumpu pada keindahan konsep dan kepentingan untuk mengejar label saja—tanpa memerhatikan apa kemauan petani saat ini adalah tindakan yang keliru dan imbasnya nanti akan ditanggung petani. Jika sudah terlanjur diprogramkan dan terlanjur dipromosikan, maka demi mencapai program itu, secara masif pemerintah akan mengerahkan segala kemampuannya untuk mengampanyekan dan memperkenalkan program itu di masyarakat. Para petani akan dikumpulkan di suatu ruangan lalu mereka digurui soal pertanian dan program pertanian organik dengan judul sosialisasi pertania organik. Ironisnya, mereka digurui oleh orang-orang yang sehari-harinya duduk dikantor dan pekerjaannya hanya menulis dan tanda tangan. Sementara itu, di tengah menjamurnya sosialisasi agar petani membuka lahan pertanian organik dan bermandi peluh di ladang-ladang mereka, di depan mata mereka petani menyaksikan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan sedang menikmati kesejahteraan dalam bentuk pengerjaan proyek-proyek pembangunan yang mampu menyulap orang biasa-biasa dalam sekejap menjadi tuan berkantong tebal. Ini jelas-jelas adalah kesenjangan sosial yang nyata.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com