|
Saat Mengikuti Intermediate Training (LK-II) di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Poso 2010 |
“Ketika kita membuka
mata, maka saksikanlah
hanya manusia makhluk
bumi yang mampu
memintal benang untuk
menutupi auratnya”
~Nurlin Muhamad~
Tulisan ini pada awalnya adalah catatan kecil saya saat bergulat dengan pemikiran Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Gorontalo pada periode waktu 2006-2010. Catatan kecil itu kemudian saya tuliskan sebagai catatan pengantar saat saya berencana menulis buku tentang: "Menyoal Epistemologi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan". Walau dengan ide sederhana, naskah buku itu berhasil saya rampungkan dalam waktu 2 bulan, dan wal hasil tidak jadi terbit karena persoalan budget yang kurang. Ditambah lagi saya akhirnya menjadi kurang percaya diri untuk menerbitkannya. Hehehe
Perkenalan Awal
Sejak pertama
kali saya menginjakkan kaki diperguruan tinggi, muncul sebuah kekaguman yang
luar biasa dalam benak saya. Jika mengingatnya kembali, mungkin kekaguman
itu merupakan desakan rasa ingin tahu ketika diperkenalkan dengan banyak hal.
Saya mendengar pernyataan-pernyataan yang mengugah dan sering dilontarkan oleh
senior-senior, seperti mahasiswa adalah agen
of change, social of control, dan
yang paling berkesan adalah pernyataan “di alam
semesta ini hanya ada dua yang maha, yakni ‘Maha Esa’ dan ‘mahasiswa’.”
Saya kemudian berpikir, “wah..! Begitu tingginya derajat mahasiswa sampai dipersandingkan dengan ‘kemahaan’ tuhan,
atau mungkin saya yang belum memiliki kepahaman terhadap pernyataan itu.” Demikian kebingungan yang menggantung dibelantara imajinasi pada
waktu itu. Saya kemudian diajak mengikuti sebuah pelatihan dasar atau basic training (LK-I) Himpunan Mahasiswa
Islam Komisariat
STIMIC Ichsan Gorontalo. Bagi saya pelatihan
ini merupakan, persentuhan yang mampu memberikan rangsangan intelektual yang
jika tidak berlebihan akan saya sebut sebagai “persentuhan awal intelektual
saya.”
Sebuah
materi yang begitu menggugah pada waktu itu adalah materi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan
yang disingkat dengan NDP. Awalnya saya bingung menalar materi ini. Kebingungan
itu bersumber dari akronim dari Nilai-Nilai Dasar Perjuangan sebagai NDP bertentangan
dengan materi yang disampaikan dalam kesempatan itu yakni materi Dasar-Dasar
Kepercayaan. Dalam benak saya seharusnya bukan NDP tetapi DDK (Dasar-dasar
Kepercayaan) yang paling tepat untuk materi itu. Namun maklumlah, sebagai orang
yang masih awam dengan materi ini lebih baik saya menjadi pendengar setia
saja.
Dasar-dasar kepercayaan kembali mempertan-yaakan (merefleksi) eksistensi
keimanan kita terhadap Tuhan, sebab boleh jadi yang membuat kita mengakui
adanya Tuhan hanya karena doktrin keturunan atau oleh budaya setempat. Jika
pengenalan ke-Tuhan-an hanya sebatas doktrin keturunan, maka saya berpikir
jangan sampai garis keturunan kita menjadi Nabi (yang memperkenalkan wahyu)
bagi pengetahuan ke-Tuahan-an kita. Pernyataan ini agak sedikit ekstrim dan
dapat menimbulkan reaksi keagamaan, namun inilah realitas kita dimana
penelusuran tentang iman hanya sebatas urusan hati dan tidak memberi ruang pada
akal untuk mempertanyakan keimanan itu sendiri. Akibatnya ajaran agama kita
terkesan sebagai dogma yang memuat kisah-kisah perwatakan baik dan perwatakan
buruk, serta syurga dan neraka warisan budaya
nenek moyang kita. Sejak saya kecil hanya kisah-kisah
itu yang diulang terus-menerus, namun disatu sisi tidak memberi petunjuk apa
yang harus dilakukan umat islam kontemporer dalam menghadapi gelombang
peradaban modern. Jangan
heran kemudian apabila di mesjid orang sering kecurian
sendal, dan tentunya bukan orang lain yang mengambil melainkan orang yang
tadinya sholat bersama-sama.
Kembali
lagi pada cerita tadi, waktu itu saya ditanya oleh Kanda Siswan Ahudulu (pemateri NDP
saat itu), “menurut anda apakah Tuhan itu ada atau tidak ada?” “ya” jelas
‘ada’, tapi karena logika saya pas-pasan, akhirnya saya tidak dapat mempertahank-an argumen ada-Nya Tuhan.
Ada itu adalah sesuatu yang bisa diraba, dilihat dan dirasa, demikian
kesepakatan definisi
“ada” dalam forum tersebut. Dengan menggunakan definisi itu, kami peserta menjadi sangat
bingung, bahkan ada yang emosional dan mengeluarkan istilah ‘kafir’ kepada
pemateri. Namun kanda Siswan
sangat piawai dalam memaparkan materi ini, penjelasannya begitu menggugah dasar
kepercayaan saya terhadap Tuhan.
Perkenalan Selanjutnya
Sejak perkenalan itu, saya mulai
jatuh hati dengan materi ini, karena itu saya berusaha menyempatkan diri untuk
mengikuti intermediate training
(LK-II) di HMI Cabang Palu apada tanngal 29 Januari s/d 5 Februari 2008. Waktu
itu saya membuat karya tulis dalam bentuk makalah dengan judul “Antara Manusia,
Khalifah dan Kediktatoran” sebagai persyaratan dalam training tersebut. Sayangnya training
itu tidak sepenuhnya menjawab keingin tahuan saya tentang materi NDP. Namun training itu
telah memengaruhi tata cara berpikir saya yang lebih konstruktif dalam memahami
suatu persoalan.
Pencarian selanjutnya saya tempuh
melalui diskusi-diskusi dan bacaan-bacaan yang berhubung-an
dengan materi NDP tersebut. Namun dahaga intelektual belum juga menemukan
segelas susu untuk melepas dahaganya. Yang tercipta dalam pikiran saya adalah
anggapan bahwa Tuhan itu dapat dicari dengan akal dan dengan penuh percaya diri
saya menulis sebuah ungkapan atau pernyataan “aku bertuhan karena akalku dan aku
berakal karena Tuhanku”. Namun pada akhirnya saya merasa resah dengan
pengetahuan ke-Tuhan-an yang ternyata hanya memuaskan
akal dan tidak menggugah
“dimensi keimanan yang terdalam”. Saya katakana demikian,
sebab sejak saat itu saya lebih senang memperdebatkan Tuhan dari pada
melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Dalam
pengamatan kegelisaan itu, saya melihat kecenderungan pada diri saya dan
teman-teman bahwa kami merasa memiliki pemikiran filsafat yang professional dam
mendalam ketika memperbincangkan dimensi transendental itu. Masih
adem dalam ingatan saya tentang
pertanyaan-pertanyaan dalam materi NDP tersebut, misalnya:
“jika Tuhanmu benar-benar berkuasa, mampukah Tuhanmu
menciptakan batu yang lebih besar dari Dia sampai Dia sendiri tidak bisa
mengangkatnya”. Jika jawabannya “ya”, berarti batu itu menjadi lebih
berkuasa dari pada Tuhan, sebab batu dapat menjadi lebih besar dari pada ukuran Tuhan, dan Tuhan tidak sanggup untuk mengangkat-nya. Jika jawabannya “tidak”, berarti Tuhan anda tidak
“Maha” sebab ada yang tidak bisa Tuhan lakukan.
Demikian juga dengan sebuah
teka-teki mengenai tuhan yang begitu menggelitik. Teka-tekinya seperti ini: “semua di alam semesta ini Tuhan bisa lihat, namun ada satu yang
tuhan tidak bisa lihat dan itu adalah kekuarangan tuhan sekaligus kelebihannya,
apakah itu?. Pertanyaan dalam bentuk teka-teki ini begitu mengganggu pemikiran
saya sebab tidak mungkin Tuhan memiliki kekurangan.
Tergambayang jelas dalam benak pikiran saya proposisi bahwa Tuhan itu Maha
Melihat. Dan mustahil kiranya meyakini proposisi dalam teka-teki itu yang menurut saya cukup
misterius. Terpikir lagi, kalaupun benar Tuhan
memiliki kekurangan, secara logika terjadi kontradiksi dalam pernyataan kekurangan
sekaligus kelebihan-Nya. Dalam prinsip berpikir logika tidak dibenarkan suatu
pernyataan benar dan salah sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Namun ketika
diutarakan jawabannya bahwa yang tuhan tidak lihat itu adalah “Tuhan-Tuhan
(dengan T besar) yang lain, sebab Tuhan itu hanya satu”. Mendengar jawabannya
seperti itu, sepertinya tidak ada daya untuk membantah ataupun meragukannya,
ternyata pertanyaan yang kedengaran iseng itu memiliki jawaban yang teramat
fundamental terhadap eksistensi Tuhan yang disembah dan diyakini oleh banyak
agama (Tuhan
universal).
NDP yang diceritakan diatas dulu
saya telan mentah-mentah, karena terlena dan merasa keasyikan dengan pertanyaan-pertanyaan iseng tentang tuhan. Namun suatu
saat saya tersadar oleh sebuah keaadaan di mana pengetahuan saya itu tidak
dapat mengatasi persoalan yang saya hadapi karena tidak memberikan nilai
spiritual mendalam, melainkan hanya sebuah keangkuhan pengetahuan terhadap
ajaran-ajaran agama, sesekali mengklaim orang lain tidak tahu apa yang dia
sembah saat menjalankan sholat. Saya begitu yakin dan
percaya diri betapa saya adalah penganut Islam yang
benar karena beragama
dengan rasio,
dan bukan karena doktrin.
Satu Minggu di
Daerah Konflik
Jalanan
panjang dan berliku dilalui dengan menggunakan bis penumpang dari Gorontalo menuju Poso. Terbayang dalam benak pikiran saya sebuah trauma sejarah atas kota
yang akan saya kunjungi ini. Bagaimana tidak,
beberapa tampilan rekaman tentang kerusuhan di Poso
yang begitu mengerikan membuat ketakutan tersembunyi dalam diri saya. Namun
ketika memasuki wilayah itu, terlihat tugu persaudaraan yang melambangkan
tangan yang sedang berjabat tangan. Tugu batu itu seolah ingin menggambarkan
perkataan dalam bahasa Jerman Nie wieder (jangan
pernah terulang lagi) yang tertulis dalam munomen utama yang didirikan setelah
Perang Dunia II. Ungkapan seperti itu melukiskan trauma yang mendalam dalam
ingatan masyarakat akan sepotong realitas sejarah pembantaian umat manusia.
Tentunya tugu batu yang saya lihat itu adalah gambaran perdamaian, dalam arti
bahwa tak ada lagi konflik SARA di temapat itu dan harapan agara jangan pernah
terulang lagi (nie weider)
Kedatangan
saya di derah itu bukanlah kegiatan sekedar untuk jalan-jalan atau piknik
wisata alam. Kedatangan itu adalah untuk
kedua kalinya mengikuti kegiatan Inter Mediate Training (LK-II) yang diselenggarakan oleh HMI Cabang Poso.
Untuk yang kedua kalinya saya harus ikut kegiatan ini demi memenuhi kehausan
intelektual saya jika boleh dibilang
seperti itu. LK-II kali ini benar-benar saya niatkan
untuk mempelajari dan memperdalam materi
NDP.
Rasa was-was dan mewanti-wanti disajikannya materi NDP
dalam acara itu, membuat saya tidak perduli dengan materi-materi lain. Pada
saat screening ke-ilmua-an saya sudah
mulai berdebat dengan tim screening. Bagaimana tidak membantah. Tim screening itu
menanyakan di mana akal itu pada saya. Menurut pemahaman
saya sesuatu yang abstrak itu tidak dapat ditunjukan
letaknya seperti menunjuk lokasi sebuah batu atau
titik ordinat suatu wilayah. Tanpa ragu-ragu
saya langsung menjawab: “pertanyaan kanda ini
salah, dan maaf, saya tidak akan menjawab sebelum pertanyaannya benar”.
Ternyata pernyataan saya itu mengundang perdebatan yang
panjang antara saya dan tim screening itu.
Sampai akhirnya tim screening itu
mengganti topik dan saya membiarkan dia berbicara tanpa
membantah lagi.
Hari pertama training
itu disampaikan akan di hadiri oleh pengurus PB HMI. Dan ternyata benar
dihadiri oleh pengurus PB, Muhamad Takbier Watta. Pada
kesempatan itu, Kanda Takbier
memaparkan materi “Transformasi Nilai-Nilai Kejuangan HMI berbasis Pluralisme”.
Menariknya
dalam paparan materi tersebut, kanda Takbier menyinggung
persoalan ketuhanan dengan merujuk pada konsep-konsep filosofis
yang tersistematis. Saya merasa seperti
seorang atheis yang sedang diceramahi persoalan ke-Tuhan-an, lalu saya mengacungkan tangan pertanda ingin menyampaikan sesuatu. Kesempatan bicara itu saya gunakan untuk menyampaikan
kelalaian rasio dalam menjangkau Tuhan (Kelalaian logika
akan saya bahas pada kajian selanjutnya dalam buku ini). Saya
berargumen bahwa: “kajian kita tentang
nilai seharusnya mengantarkan kita pada peribadatan atau syariat Islam yang
benar, bukan hanya sekedar untuk cerdas dan merasa mengetahui Tuhan”.
Saya pun mulai tidak sepakat dengan epistemologi yang digunakan dalam mengetahui Tuhan itu, sebab saya
yakin tak ada epistemology yang memadai untuk menjelaskan
perihal Ketuhanan. Kanda Takbier
membalikan pertanyaan dengan tetap mengacu pada kaidah logika terutama pada
bagian pendevinisian.
Dia (Kanda Takbier Watta) menayakan arti epistemologi pada saya.
Dan waktu itu saya dengan spontan menjawab “epistemologi itu adalah cara untuk
memperoleh pengetahuan”. Lalu disitulah saya diklaim oleh Takbier Watta bahwa bicara saya ‘ngawur’. Saya pun kemudian membanta: “menurut referensi
saya,
kanda juga ngawur, dan saya tidak ingin ada pengklaiman paling benar di sini,
kalaupun ada, sesungguhnya anda telah membantah sendiri hakekat filsafat itu
sebagai sarana pencapaian kebijaksanaan”.
Selanjutnya saya dikata-katai sebagai orang yang salah memahami
NDP. Tapi saya tidak mau terjebak pada persoalan saling menyalahkan. Dari awal perbincangan saya telah mengalami benturan
referensi dengan kanda Takbier,
terutama ketika dia mendefinisikan pengertian
ilmu sebagai “kumpulan pengetahuan-pengetahuan”.
Bagi saya jika kita harus berpatokan
dalam kaidah definisi
yang konsisten berdasarkan aturan dalam ilmu logika, saya menemukan bahwa definisi ilmu yang digunakan oleh
Kanda Takbir Watta itu tidak memiliki
batasan. “kumpulan pengetahuan-pengetahuan” terlalu
umum untuk menjelaskan terminologi ilmu. Pengetahuan itu sendiri tak memiliki
batasan yang jelas, sehingga definisi
itu gagal untuk menggabarkan realitas terhadap ilmu itu sebagaimana adanya.
Saya kemudian lebih sepakat dengan definisi ilmu sebagai pengetahuan
sistematis yang telah memenuhi syarat-syarat dalam metode ilmiah atau merupakan
rangkuman hukum-hukum alam dan sosial yang tersusun secara sistematis
berdasarkan metode ilmiah. Bahwa ilmu itu adalah
pengetahuan aposteriori. Dengan
demikian kita dapat membedakan mana pengetahuan sebagai ilmu dan mana pengetahuan
sebagai pengetahuan secara umum (segala
sesuatu yang kita ketahui). Jadi di sini jelas batasan ilmu itu yakni
ada pada ukuran ilmiah dan tidak ilmiah. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat matriks pengetahuan menurut Ahmad Tafsir
yakni:
-
Pengetahuan Sains, objek empiris,
paradigma sains, metode sains, kebenarannya
ditentukan logis dan bukti empiris
-
Pengetahuan Filsafat, objek abstrak
tetapi logis, paradigmanya logis, metode rasio, ukuran kebenaran logis dan tidak logis
-
Pengetahuan Mistik, objek abstrak
supralogis atau metarasional, paradigma
mistis, metode latihan atau riyadlah, ukuran kebenaran ditentukan oleh ras, yakin, kadang-kadang empiris
Kegelisahan saya akhirnya terobati dengan kehadiran pemateri
NDP bernama Kanda Amrullah Yasin yang merupakan mantan anggota Tim 8 perumus
NDP versi kongres Makassar tahun 2006.
NDP versi kongres Makassar ini selanjutnya akrab dikenal dengan NDP Baru.
Dalam mengawali pembicaraan NDP Bab I Dasar-Dasar Kepercayaan,
kanda Amrullah menayakan, “apakah Tuhan yang benar itu adalah Tuhan yang dapat
di buktikan secara Empiris atau Tuhan yang tidak dapat dibuktikan?” dan
“mengapa Tuhan sampai saat ini masih dianggap sebagai Tuhan?”.
Mendengar pertanyaan itu peserta kemudian menjawab bahwa
Tuhan yang benar itu adalah Tuhan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris,
dan itu pula menjadi alasan kenapa Tuhan sampai saat ini masih tetap menjadi
Tuhan, sebab
sampai saat ini Tuhan belum bisa dijangkau oleh manusia. Kenisbian manusia dan
kemutlakan Tuhan menjadikan manusia mustahil mencapai pengetahuan yang
sebenarnya tentang Tuhan.
Pengetahuan manusia merupakan persepsi atau pencerapan
dan abstraksi dari suatu objek yang diketahui
atau dari kenyataan itu sendiri. Namun antara
objek itu dan pengetahuan kita tentangnya (objek itu) tidaklah sama, sebab
objek itu beridiri sendiri dan
tidak bergantung pada persepsi kita padanya. Begitupun dalam memikirkan Tuhan
yang tergolong dalam pengetahuan mistik, tidaklah cukup mengandalkan rasio
untuk mencapai pengetahuan tentang-Nya. Jika dengan rasio kita telah merasa
mengetahui, maka sesungguhnya kita hanya menyembah dan meyakini Tuhan hasil
persepsi kita. Pada pengertian seperti ini, Tuhan seolah sejajar dengan Atom,
Proton, gaya gravitasi, yang bisa dipikirkan dan dibenarkan adanya oleh
manusia, lalu apa bedanya kita dengan menyembah patung-patung yang kita buat
sendiri?
Saya pikir pernyataan pemateri (baca: Kanda Amrullah) itu
benar. Pada zaman dulu orang membuat patung untuk disembah sebagai bentuk Tuhan
hasil pembacaan mereka terhadap gerak alam semesta dan
kejadian-kejadian yang mereka saksikan. Sekarang kita membuat persepsi-persepsi
tentang Tuhan dalam pikiran kita lalu kita merasa telah mengetahui-Nya
lalu kemudian meyakini dan menyembah-Nya.
Selanjutnya dalam pembahasan itu kanda Amrullah
Yasin membuat kerangka yang cukup rumit untuk menjelaskan bagaimana seorang
filosof membuat argumentasi logis
yang terkesan begitu meyakinkan. Tak cukup itu dijelaskan pula adanya kelemahan-kelemahan
yang terdapat di dalamnya.
Keterikatan pada aturan logika adalah ciri khas dalam
argumentasi filosofis. Disini muncullah perbedaan dalam memahami kebenaran
antara NDP versi Cak Nur dan versi Kongres Makasar (disebut juga versi Aryanto
Achmad). Kebenaran menurut NDP Cak Nur adalah asal dan tujuan dari segala
kenyataan, sedangkan menurut NDP Aryanto Achmad kebanaran adalah kesesuaian
antara ide dan realitas. Jelas sekali yang terakhir adalah teori kebenaran
korespondensi (correspondence theory of truth) yang mengakar kuat dalam argumentasi-argumentasi
filsafat. Selain
itu ada pula teori kebenaran yakni teori koherensi (consistence theory of truth) yang mengangg-ap kebenaran itu
bergantung pada koherensi atau konsistensi degan peryataan-pernyataan
sebelumnya yang kita anggap benar.
Lalu ada juga teori kebenaran pragmatis (pragmatic
theory of truth) yang menganggap kebenaran itu bergantung pada manfaat
praktisnya selanjutnya ada juga teori kebenaran hudhuri atau iluminasi yakni
kebenaran dalam pengetahuan swaobjek yang tidak membutuhkan hubungan dengan
objek eksternal.
Sekarang
dalam kasus NDP, kita dapat bertanya apakah NDP itu sama dengan filsafat
ataukah merupakan tafsir Al Quran (tema-tema besar dalam Al Quran)?
Mengenai
hal itu kanda Amrullah menjelaskan dengan mengutip tulisan Cak Nur dalam latar
belakang perumusan NDP HMI, bahwa NDP merupkan kesimpulan dari sebuah
perjalanan ke Timur Tengah. Dalam perjalanan itu Cak Nur banyak melakukan
diskusi dan sempat menghatam Al Quran dengan
terjemahannya
dalam bahasa Inggris. Dalam menghatamkan Al Quran itu, beberapa hal yang relevan
dengan pemikiran Islam di Indonesia diberi catatan dengan komentar-komentarnya
(Cak Nur).
Kanda Amrullah kemudian dengan tegas mengatakan bahwa NDP adalah tafsir Al
Quran kontemporer dan bukan materi filsafat ilmu. Sehingga dengan berpaling
kembali dalam perdebatan filsafat, maka kita berarti kembali dalam perdebatan
klasik antara Plato dan Aristoteles dan filsuf-filsuf lainnya.
Mendengar
penjelasan itu saya teringat dengan buku filsafat modern karya F.Budi Hardiman
yang memuat perkembangan pemikiran filsafat modern dan argumen saling kritik
antara sesama filsuf. Jika kaidah filsafat itu dipaksakan dalam bab NDP,
kemungkinan nilai dasar kita hanya akan diwarnai oleh perdebatan seputar
filsafat,
sebab tidak semua orang sepakat dengan satu warna atau aliran dalam filsafat
tertentu.
Kita
mesti dapat merangkum kembali nilai-nilai universal yang berpijak pada tafsir
Al Quran dan hadist sebagai nilai dasar dalam gerak kader-kader HMI. Hal ini
wajar dilakukan sebab saya percaya kader HMI tidak ada yang atheis, jadi jangan
NDP seolah-olah adalah ceramah untuk golongan atheis yang tidak percaya Tuhan
kita itu. Lagi pula pendekatan filosifis ternyata tidak pas untuk berbicara
dalam wilayah ke-Tuhan-an yang sebenarnya, seperti Al Farabi yang menjelaskan
teori emanansinya dengan gerak akal 1 sampai 10 dan hubungannya dengan
penciptaan alam semesta ternyata keliru sebab urutan tata surya yang dijelaskannya hanya tujuh (saturnus,
Jupiter, Mars, Matahari,Venus, Merkurius dan Bumi) sesuai dengan pengetahuan
astronomi di masanya.
Kembali
pada penjelasan kanda Amrullah, bahwa kebenaran itu adalah asal dan tujuan dari
segala kenyataan, yakni tempat bergantungnya segala sesuatu. Apakah Tuhan sama
dengan kebenaran?
Tuhan tidak sama dengan kebenaran, sebab kebenar-an sendiri memiliki asal
dan tujuan sebagaimana adanya keyataan-kenyataan yang lain. Karena itu Tuhan
mejadi satu-satunya tujuan dari seluruh aktifitas di alam semesta.
Atas
alasan itu pula, dalam kalimat syahadat pertama berisi persaksian kita “tiada
Tuhan selain Allah” yakni penggabungan antara peniadaan dan pengecualian
terhadap kesakralan eksistensi lain selain Tuhan itu sendiri. Peniadan dan pengecualian
ini pada hakekatnya akan membebaskan manusia dari segenap belenggu-belenggu
kepercayaan dan hanya tunduk patuh terhadap satu kebenaran yakni asal dan
tujuan dari segala kenyataan.
Bagaimana
Tuhan menyampaikan firmannya kepada manusia? Maka disini Tuhan memilih salah
seorang dalam jenis manusia sebagai perantara atau pembawa kabar berita dari
alam ghaib. Analogi kasar dari rasull dapat diidentikkan dengan tukang pos yang
mengantarkan surat dari pengirim sampai kepada penerima. Lembaga pos itu sendiri
harus terbukti jujur dan dapat dipercaya agar surat yag dikirimkan tidak
dikurangi jumlah dan kualitasnya. Untuk itu, seorang rasul harus terbukti jujur
sehingga dapat dipercaya oleh umatnya. Nabi Muhamad sejak kecil telah dikenal
dengan kejujurannya. Lalu Tuhan menurunkan firman-Nya dan keluar dari lisan
Muhammad seorang manusia yang tidak pernah berdusta. Dari penjelasan itu, maka
esesnsi kedua kalimat persaksian adalah menyakini bahwa “Muhammad adalah Rasul
Allah.
Di
akhir tulisan ini, saya sedikit berbicara mengeai daerah konf5lik (Poso). Bahwa peserta
LK-II waktu itu lebih banyak dari tuan rumah (HMI Cabang Poso). Hal ini
disebabkan karena sebagian kader HMI di luar daerah merasa
khawatir dengan torehan peristiwa di Poso, namun harus diketahui bahwa kondisi
di Poso tidak lagi seperti apa yang kita pikirkan dan dengar selama ini yakni
sebagai “daerah konflik”. Poso tidak bedanya dengan daerah-daerah lain yang aman dan tentram.