Label “Kabupaten Organik” kini bukan lagi cita-cita
bagi pemerintah Kabupaten Buton Utara. Label itu sudah dipromosikan ke
mana-mana mulai dari tingkat lokal, nasional, hingga ke tingkat internasional. Hal
ini dapat dilihat dari pernyataan Bupati Buton Utara pada 11 Februari lalu di Liputan6.com bahwa pihaknya sudah
mengeluarkan Peraturan Bupati terkait penetapan Buton Utara sebagai Kabupaten
Pertanian Organik. Melalui penetapan itu, Pemda Buton Utara terlihat seolah
melompat ke puncak pencapaian produksi pangan organik tanpa merasa perlu
merumuskan cita-cita awal—misalnya: menuju Kabupaten Organik—terlebih dahulu.
Ini serupa seorang yang baru mendaftar di perguruan tinggi lalu tiba-tiba dia langsung
mengumumkan kepada khalayak
(publik) bahwa dirinya sudah menyandang gelar sarjana.
Ada orang menilai bahwa apa yang dilakukan oleh
Bupati Buton Utara ini adalah contoh cara berpikir out of the box. Selama ini orang hanya terpola untuk mengikuti
pemikiran arus utama (mainstream),
seolah-olah kita berada dalam kotak yang tidak bisa kita lampaui. Berpikir out of the box adalah berpikir dan
bertindak keluar dari kungkungan “kotak” itu. Ada benarnya juga. Namun menurut
hemat saya, dalam hal diskursus soal kebijakan yang berkaitan dengan nasib
rakyat, kita tidak bisa hanya mengandalkan kalimat-kalimat ala motivator
seperti di atas. Untuk itu, di sini kita
butuh analisis yang lebih terukur dan realistis.
Tapi, penetapan ini bukannya tanpa konsekuensi.
Seperti kata Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul Sapiens, sesuatu yang terburu-buru selalu menimbulkan persoalan.
Saat ini beredar rumor tentang tidak adanya bantuan pupuk untuk petani sawah.
Hal ini cukup sederhana untuk dipahami. Bagaimana bisa ada bantuan pupuk untuk
sebuah kabupaten yang sudah beralih rupa ke Kabupaten Organik! Ini masalah baru
yang jelas-jelas berdampak pada petani sawah. Tapi kita tidak perlu heran
sejarah umat manusia memang dipenuhi oleh oleh miskalkulasi-miskalkulasi,
manusia tidak sepenuhnya memahami konsekuensi-konsekuensi dari apa yang dia
lakukan (Harari 2017:102). Misalnya, ketika manusia beralih dari cara hidup
berburuh dan mengumpul ke revolusi pertanian 10.000 tahun yang lalu. Saat itu
manusia mulai memanipulasi tumbuhan dan binatang dan mulai hidup menetap untuk
menjaga tanaman-tanaman dan ternak-ternak mereka dari gangguan luar.
Orang-orang mengira bahwa dengan bercocok tanam, mereka telah mengatasi
persoalan pangan mereka. Tetapi ada konsekuensi-konsekuensi yang muncul yang
sebelumnya tidak dipahami atau abai dikalkulasi oleh manusia: pertama, dengan hidup menetap perempuan
lebih mudah dan lebih aman melahirkan jika dibandingkan ketika hidup
berpindah-pindah pada periode berburu dan mengumpulkan makanan. Akibatnya,
revolusi agrikultural ini menyumbang pertumbuhan penduduk yang pesat. Oleh
sebab itu kebutuhan akan pangan juga meningkat dan itu berarti manusia harus
bekerja lebih keras lagi untuk memenuhi pangan dalam jumlah besar; kedua, dengan hidup bercocok tanam,
manusia sepenuhnya menggantungkan hidup mereka kepada hasil panen. Kegagalan
panen akan menyebabkan kelaparan dan kekurangan gizi. Jadi revolusi pertanian
justru menyumbang persoalan baru, ancaman kekurangan gizi akibat ketergantungan
pada hasil panen. Hal ini menurut Harari (2017) tidak pernah dijumpai dalam
masyarakat pemburu dan pengumpul. Ketiga,
karena manusia sudah bergantung sepenuhnya pada hasil pertanian, maka mereka
harus menjaga tanaman mereka dari gangguan orang lain yang akan mengambil lahan
mereka. Akibatnya terjadi perselisihan dan perang demi mempertahankan wilayah
teritorial. Sampai saat ini kita masih sering menemukan perselisihan mengenai
sebidang tanah dan penguasaan lahan oleh korporasi tertentu.
Kembali ke masalah kabupaten organik. Lalu apa yang
menjadi dasar Pemda Buton Utara merasa begitu percaya diri dalam merumuskan
label itu lebih awal?
Pada Liputan6.com (11/02/2017) Bupati Buton Utara
menegaskan alasannya bahwa: “secara
kultur, masyarakat Buton Utara sejak dahulu gunakan sistem organik sehingga
lebih memudahkan untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat
terkait dengan pencanangan tersebut”. Pada Zonasultra.com 30 April 2017,
Bupati Buton Utara juga menegaskan alasan yang seturut bahwa petani Buton Utara
asal muasalnya merupakan petani organik yang masih mempertahankan cara-cara
tradisional sampai sekarang. Ini adalah sebentuk keyakinan akan adanya modal
budaya yang dipercaya menjadi penunjang iklim bagi kabupaten organik—sekalai
lagi, bukan lagi calon kabupaten organik, tetapi sudah kabupaten organik.
Namun, apakah modal itu cukup dan tanpa masalah?
Para penganjur optimisme akan mengatakan: “itu sudah
lebih dari cukup, tinggal urusan pengembangannya”. Namun, kita mesti hati-hati
mendasarkan argumentasi pada aspek kebudayaan, apalagi hanya dengan
mengandaikannya begitu saja tanpa melihat lebih dalam. Budaya itu kompleks dan
senantiasa berkembang. Jika kita mengacu pada sejarah pertanian, bukan hanya
Buton Utara yang melakukan praktik pertanian organik pada masa lalu. Semua
pertanian di berbagai belahan dunia ini pada dasarnya adalah pertanian organik
yang tidak menggunakan pupuk dan pestisida modern sampai terbitnya praktik
pertanian modern. Jadi adalah keliru jika Pemerintah Buton Utara menjadikan
alasan itu sebagai modal yang seolah-olah spesial dan menjadi dasar klaim
sebagai “Kabupaten Organik”. Perlu pendalaman serius untuk menganalisis apakah
tradisi bertanam organik ini masih bertahan dan tanpa masalah. Berikut ini
adalah analisa sederhana saya terhadap pergeseran tradisi bertanam organik di
Kabupaten Buton Utara.
Tradisi
Pertanian dan Budaya Konsumsi
Tidak ada yang abadi selain perubahan, kata Heraklitos.
Kita tidak akan pernah mandi di air sungai yang sama sebab sungai senantiasa
mengalir. Demikian juga kebudayaan selalu berubah. Meneurut Paul B. Horton,
tidak ada satupun masyarakat yang generasi barunya meniru 100% kebudayaan dari
generasi terdahulu. Demikian juga tidak ada satupun generasi yang meninggalkan
100% apa yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Lihat saja di Buton Utara,
sekalipun praktek pertanian modern sudah dikenal luas saat ini, tetapi praktik
pertanian organik, terutama umbi-umbian, sayur, dan padi ladang, untuk memenuhi
kebutuhan pangan rumah tangga belum ditinggalkan.
Praktik pertanian di Buton Utara ini pada masa lalu diikuti
oleh serangkaian ritual-ritual pertanian dan masih bersifat subsisten (menanam
hanya untuk kebutuhan sendiri). Mulai dari pembukaan lahan sampai panen dan
pasca panen ada ritualnya. Misalnya ritual ziarah kubur Waoleona di Desa Mata
dan sekitarnya sebelum memasuki masa tanam, ritual kaparika atau parika yang
ramai dikenal oleh masyarakat Buton Utara. Di Kulisusu Utara ada ritual
pemanggilan roh tanaman agar tanaman cepat tumbuh dan subur, ritual pembasmian
hama dengan merapal doa dan mantra-mantra, dll. Selain itu, ada budaya gotong
royong (mengkawalo) pada saat
pembukaan lahan, perawatan tanaman, dan pada saat panen. Ada juga tradisi sungkudalo yaitu sistem pinjam-ganti
beras hasil panen saat waktu panen tidak bersamaan. Ada tradisi menanam secara gotong
royong (motasu). Dulu motasu menjadi arena perjumpaan muda-mudi,
sehingga mereka selalu menggunakan pakaian terbaiknya untuk datang menanam di
ladang. Tentu saja supaya bisa memikat perhatian lawan jenisnya. Selain itu, ada
pula tradisi penyimpanan beras di dalam lumbung atau disebut polulu dalam bahasa Kulisusu. Tetapi
lambat laun tradisi ini tersapu oleh perkembangan zaman, terutama oleh
mekanisme pasar dengan budaya uang dan budaya konsumsinya. Di tengah mekanisme
pasar itu, beberapa tradisi masih bertahan seperti pesta panen, sedangkan yang
lain sudah jarang ditemukan. Polulu bahkan
sudah sulit kita temukan di Buton Utara. Padahal polulu adalah lambang ketahanan pangan pada masyarakat tradisional.
Meningkatnya mekanisme pasar menyumbang peningkatan budaya
konsumsi yang bebasis pada uang. Jika sebelumnya orang tak punya cara lain
untuk mencukupi kebutuhan beras dan sayur-sayuran selain dengan menanam,
sekarang dengan uang kita bisa mengkonsumsi beras tanpa harus bermandi peluh di
ladang atau di sawah. Jika sebelumnya orang bertani hanya untuk berusaha
mencukupi kebutuhan pangan keluarga, sekarang mulai muncul kebutuhan-kebutuhan
lain, seperti: membeli TV, kulkas, smartphone, motor, membangun rumah bagus, kosmetik,
membeli paket internet, dan yang lebih berat adalah membiayai pendidikan
anak-anaknya.
Petani dulu tidak terlalu pusing ketika harus menunggu
masa panen. Ia bisa menghabiskan sepanjang waktu untuk menjaga kebunnya tanpa
harus memikirkan bagaimana mencukupi dengan tagihan SPP, godaan iklan smartphone
merek baru yang membuat anaknya tak bisa tidur, tagihan listrik dan air,
tagihan TV kabel, dll. Petani dulu juga tidak perlu pusing dengan biaya
pembukaan lahan, biaya perawatan dan biaya panen, karena bisa minta bantuan
pada tetangga, teman dan kerabat dekat. Tapi sekarang petani sudah dihimpit
oleh banyak kebutuhan. Mereka tak bisa lagi menggantungkan hidup atau
menghabiskan waktu sepenuhnya untuk merawat tanaman. Sekalipun tetap bertani,
tapi lahan mereka ditanami dengan beragam tanaman, terutama tanaman-tanaman
yang menguntungkan secara ekonomi, seperti: cengkeh, nilam, jambu mente, dsb. Mereka
juga terpaksa harus melaut, buka kios, menjadi buruh bangunan, menyewahkan
tenaganya untuk membuka lahan, atau pekerjaan lain yang bisa mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya yang makin kompleks. Sekarang tidak ada yang
gratis. Bagaimana mungkin ada yang gratis, jika anak mereka harus bayar SPP,
harus beli paket data, harus beli baju baru, harus beli laptop, dll.
Hasil riset tentang ketahanan pangan rumah tangga
petani penghasil beras organik di Kabupaten Bogor yang dilakukan oleh Anang
Suhardianto, Yayuk Farida Baliwati, dan Dadang Sukandar yang dimuat di Jurnal
Gizi dan Pangan pada November 2007 (hal.1-12) menemukan: diantara rumah tangga
petani penghasil beras organik termasuk tahan pangan. Namun, jika dilhat dari
penguasaan lahan pertanian, hitungannya sama sekali tidak mencukupi rata-rata
kebutuhan energi. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi pangan rumah tangga
tercukupi karena konversi pendapatan di luar produksi beras organik. Dari hasil
riset ini dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
kompleks, bertani organik tidakla cukup. Dibutuhkan sumber pendapatan lain
untuk mencukupi kebutuhan hidup, misalnya buka kios, menjadi aparat desa,
menjadi buruh bangunan, dll.
Tenaga Ekstra
Untuk Perawatan Padi
Merawat tanaman padi secara tradisional adalah hal
yang membutuhkan tenaga ekstra. Gandum adalah tanaman yang cengeng menurut
Harari (2017). Dia tidak mau tumbuh jika di sampingnya ada rumput, dia juga
tidak mau tumbuh jika kurang air, dia tidak mau tumbuh jika ada ulat atau hama
lain yang hinggap di batangnya, dan ia juga akan mati jika ada kera atau hewan
lain yang merusaknya. Jika tanaman gandum saja bisa secengeng itu, bagaimana
dengan padi yang lebih susah dirawat ketimbang gandum. Dibutuhkan perawatan ekstra
dan melibatkan bantuan banyak tenaga untuk merawat padi. Apalagi luas lahan
yang digunakan sudah semakin luas, perawatannyapun akan semakin susah.
Dalam sebuah perbincangan ringan, seorang petani di
Kulisusu Utara—yang sudah ubanan, umurnya sekitar 70 tahun—mengeluhkan soal sulitnya
merawatan tanaman padi. Ia masih menyaksikan dan terlibat langsung dalam
praktik pertanian tradisional yang dilakukan oleh orang tuanya. Ia mengaku pada
usia mudanya, merawat padi yang luas lahannya mencapai satu hektar saja itu
dirasa sangat susah dan menyita waktu. “Itu terlalu menyusahkan dan kita tidak
bisa mengurus pekerjaan lainnya selain merawat padi itu” katanya. Orang tua
dulu, katanya lagi, bisa tahan menghabiskan semua waktunya untuk merawat padi
karena mereka belum ada kebutuhan lainnya yang minta untuk dipenuhi. Itupun
syukur-syukur kalau hasil panen padinya berhasil, kalau tidak kehidupan petani
akan kesulitan.
Nah, dari pernyataan seorang petani di atas, kita
bisa mengajukan pertanyaan sederhana: bagaimana mungkin petani mau menghabiskan
waktu dan materinya untuk membuka lahan baru, menanam, merawat padi secara
organik—sesuai keinginan pemerintah—jika kebutuhan-kebutuhan lain yang makin
kompleks ikut mendesak? Bagaimana pula jika orientasi pertanian padi organik
itu yang semulah bersifat subsisten (cukup untuk makanan sendiri) beralih
orientasi ke pasar dunia?
Di sini letak persoalannya. Namun karena padi
organik ini sudah menjadi program pemerintah dan terlanjur dipromosikan, maka
pemerintah dengan segala perangkat, kekuasaan, dan kemampuan modalnya akan mengampanyekan
atau bahasa lainnya membujuk masyarakat agar mau beralih ke pertanian organik. Walaupun
masyarakat saat ini sedang mengusahakn jenis pertanian lain seperti nilam dan
cengkeh yang lebih menguntungkan dan masa panenennya cukup singkat (nilam), mau
tak mau petani pada akhirnya harus mengikuti kemauan pemerintah. Namun, karena
merawat padi membutuhkan biaya dan tenaga ekstra, maka pemerintah harus
memikirkan pemenuhan kebutuhan petani yang makin kompleks ketika petani itu
menghabiskan waktunya untuk mengurusi tanaman padi secara organik. Apalagi
dengan gagalnya panen jambu mente tahun ini serta kelangkaan pupuk untuk petani
sawah yang disinyalir sebagai imbas dari program kabupaten organik. Jika tak
dibantu, seperti riset Suhardianto, dkk di atas, petani mau tak mau harus
mencari alternatif penghasilan lain demi memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Ini
adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung pemerintah sebagai akibat dari program
kabupaten organik yang berorientas pasar.
Di sini pemerintah juga harus memperhatikan
persoalan bagaimana merubah budaya dari pertanian subsisten ke pertanian yang
berorientasi pasar, lokal sampai dunia. Ini persoalan yang semakin pelik.
Perubahan budaya berbeda dengan perubahan sosial. Dia tidak bisa instan.
Perubahan sosial bisa saja terjadi akibat perubahan budaya material suatu
masyarakat, tetapi kebiasaan dan cara berpikir itu tidak serta merta mengikut. Sebagai
contoh kecil adalah kebiasaan nonton bola di pinggir lapangan. Sekalipun sudah
dibangunkan stadion di Bukit Lamoliandu yang lengkap dengan tribun penonton,
tetapi orang-orang masih saja nonton bola di pinggir lapangan. Demikian juga
dengan budaya sabung ayam, walaupun keadaan sosial sudah berubah, tetapi cara
kita memahami pertarungan masih dalam terminologi sabung ayam. Misalnya dalam
pertarungan Pilkada, “ingko’o inaio
manuu?” (kamu siapa ayammu)—maksudnya siapa yang kamu dukung. Juga dalam
soal mendukung salah satu tim dalam pertandingan sepak bola, istilah manu (ayam) ini masih juga digunakan. Dari
sini bisa dibayangkan bagaimana rumitnya merubah pola pertanian tradisional
yang bersifat subsisten ke pola pertanian yang berorientasi pasar! Petani yang
dulunya menanam untuk keperluan makanan saja kini harus menanam dalam jumlah
besar untuk memenuhi kuota permintaan pasar. Ada beban baru yang makin besar
yang harus ditanggung petani mengingat pola perawatan padi ladang yang
membutuhkan tenaga, modal, dan waktu ekstra.
Kehendak Untuk
Memperbaiki dan Arena Politik Warga
Berdasarkan berita yang dimuat di Buton Pos
(13/09/2017) demi menjalankan program kabupaten organik, pemerintah Buton Utara
berpikir untuk memberi bantuan dana sebanyak Rp. 2.500.000,- per petani untuk
biaya rangsangan pembukaan lahan. Namun faktanya untuk membuka lahan satu
hektar secara organik petani membutuhkan dana lebih dari itu. Hal ini seperti
kalkulasi sederhana dari seorang petani yang saya temui di Kecamatan Kambowa.
Menurutnya untuk pembukaan lahan seluas satu hektar dibutuhkan sepuluh orang
tenaga kerja dengan gaji Rp. 50.000 untuk setengah hari kerja (pukul 07.00 –
11.00). Pembukaan lahan ini tidak selesai dalam waktu satu minggu. Sehingga
jika dijumlahkan dalam satu minggu: 50.000 x 10 = Rp. 500.000 x 7 hari = Rp.
3.500.000,-. Biaya yang paling besar menurutnya adalah biaya pembuatan pagar
keliling lahan pertanian. Ini bisa mencapai puluhan juta jika menggunakan kayu
dan papan yang dijual per kubik. Belum lagi dengan sewa pembuat pagar. Boleh
saja katanya pemerintah membantu Rp. 2.500.000,- tapi itu hanya untuk pembukaan
lahan saja, pemerintah juga harus membantu pada saat pembuatan pagar, kemudian
membantu petani lagi untuk masa tanam dan pada masa perawatan tanaman. Kalau
tidak dibantu seperti itu kami mau makan apa, jika semua waktu kami harus
tersita untuk mengurusi tanaman padi itu, tegasnya.
Saya kemudian bertanya ke petani itu: apa yang akan
Anda lakukan jika saat ini pemerintah memberikan bantuan sebesar Rp.
2.500.000,- untuk pembukaan lahan? Jawabannya cukup mencegangkan: “saya pake beli beras to, apalagi panen jambu
mente tahun ini tidak berhasil”. Di sini kita bisa melihat adanya aspek
politis (dalam arti yang luas) dari bantuan-bantuan seperti itu. Tania Murray
Li sudah mengingatkan kita tentang aspek politis ini dalam bukunya The Will to Improve bahwa masyarakat
yang selama ini dianggap sebagai objek pembangunan pada dasarnya adalah keliru.
Masyarakat adalah kesatuan politis yang juga turut memainkan strategi untuk
memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya berhadap-hadapaan dengan pemerintah
sebagai penyelenggara program pembangunan. Masyarakat bukanlah bejana kosong
yang serta merta dapat diisi oleh hal-hal yang dianggap baik oleh pemerintah.
Oleh sebab itu, tidak selamanya masyarakat menerima dengan baik kehendak untuk
memperbaiki dari atas (pemerintah). Selalu ada arena negosiasi kepentingan
antara berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, politisi pencari
popularitas, dan pihak-pihak lainnya, yang bisa saja berlangsung di luar
perencanaan yang sudah dibuat sebelumnya oleh perencana.
Kabupaten
Organik: Kebutuhan Petani atau Ego Pemerintah
Mengingat ketergantungan pada pupuk dan pestisida
yang merugikan kesehatan dan mengurangi kesuburan tanah, secara konseptual
pertanian organik tak bisa disangsikan merupakan konsep yang sangat baik dan
merupakan semangat zaman kita. Namun pembangunan bukan soal baik dan tidaknya
ide yang digagas. Yang lebih penting dari hal itu adalah apakah ide itu
benar-benar cocok dan menyentuh apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kita bisa
bengambil analogi sederhana tentang obat dan penyakit. Sekalipun konsep obat diapet itu baik, bersifat herbal dan
alami, namun jika kita sakit kepala lebih baik kita minum Paramex daripada minum diapet,
sebab diapet itu obat diare, bukan obat sakit kepala. Memberikan obat yang
tidak tepat untuk sebuah penyakit adalah keliru. Beruntung jika hanya sakit
tidak sembuh-sembuh, tetapi menjadi masalah baru jika obat yang salah itu
menimbulkan penyakit lain yang lebih kronis. Begitu kira-kira.
Jadi, sebelum merumuskan
sebuah program, pemerintah terlebih dahulu harus benar-benar melihat dan
mempelajari secara mendalam kebutuhan dan persoalan apa yang ada dalam
masyarakat. Bukan mengkajinya di atas meja dengan asumsi-asumsi umum, misalnya:
dari dulu kita punya tradisi bertaman padi organik dan memiliki varietas padi
lokal yang ada di daerah kita. Membuat suatu program—yang hanya bertumpu pada
keindahan konsep dan kepentingan untuk mengejar label saja—tanpa memerhatikan
apa kemauan petani saat ini adalah tindakan yang keliru dan imbasnya nanti akan
ditanggung petani. Jika sudah terlanjur diprogramkan dan terlanjur
dipromosikan, maka demi mencapai program itu, secara masif pemerintah akan
mengerahkan segala kemampuannya untuk mengampanyekan dan memperkenalkan program
itu di masyarakat. Para petani akan dikumpulkan di suatu ruangan lalu mereka
digurui soal pertanian dan program pertanian organik dengan judul sosialisasi
pertania organik. Ironisnya, mereka digurui oleh orang-orang yang
sehari-harinya duduk dikantor dan pekerjaannya hanya menulis dan tanda tangan. Sementara
itu, di tengah menjamurnya sosialisasi agar petani membuka lahan pertanian
organik dan bermandi peluh di ladang-ladang mereka, di depan mata mereka petani
menyaksikan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan sedang menikmati kesejahteraan
dalam bentuk pengerjaan proyek-proyek pembangunan yang mampu menyulap orang
biasa-biasa dalam sekejap menjadi tuan berkantong tebal. Ini jelas-jelas adalah
kesenjangan sosial yang nyata.
0 komentar:
Posting Komentar