Niccolò di Bernardo dei Machiavelli (1469-1527) |
Mendengar nama Machiavelli sudah pasti yang berbayang
dipikiran adalah soal “politik kotor” yang menghalalkan segala cara demi
kekuasaan. Bahkan label ini juga sering dipakai oleh orang-orang yang tak
pernah mengenal apalagi membaca karyanya untuk menamai laku politik “kotor” yang
tak menjadikan moralitas sebagai acuan. Begitul stigma yang melekat kuat dan tak
dapat dipisahkan dari nama itu. Huh, sejahat itukah nasehat politik Si
Machiavelli itu?
***
Nama lengkapnya Niccolò di Bernardo dei Machiavelli, adalah salah satu pemikir
Itali yang tergolong dalam barisan filsuf, setidaknya dalam buku yang ditulis
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari
Machiavelli sampai Nietzsche. Machiavelli dikenal luas lewat karya
monumentalnya, Il Principe (sang
Pangeran) dalam bahasa Itali atau the
Prince dalam bahasa Inggris. Buku ini pada dasarnya berisi tentang
nasehat-nasehat politik bagi para pangeran agar dapat melindungi dan
mempertahankan kekuasaannya. Sekali pun karya ini sangat masyur, Machiavelli
tidak pernah menerbitkannya sebagai satu buku lengkap. Selama hidupnya, tulisan
itu hanya beredar secara rahasia dalam bentuk naskah/pamflet dengan judul bahasa
latin de Principatibus (Dhakidae,
2015:33). Hal ini karena isi de
Principatibus yang kontroversial (ajaran tentang politik tanpa embel-embel
moral dalam kitab suci) sehingga peredarannya harus disembunyikan dari
pengawasan gereja. Tulisan Machiavelli ini
terbit dalam bentuk buku secara anumerta, pada 1532, lima tahun setelah
kematiannya.
Nah, kalau merujuk pada uraian di atas, sepertinya tidak ada
gejala atau catatan kejahatan dalam diri Machiavelli. Lantas apa yang
menyudutkan nama Machiavelli sebagai dengan label “politik kotor?” Jawabannya
ada pada isi Il Principe yang sudah
di singgung di atas bahwa dalam buku itu Machiavelli menganjurkan pada para
penguasa suatu gaya politik yang tidak mempertimbangkan embel-embel moralitas
dalam kitab suci, melainkan semata-mata pada cara merebut dan mempertahankan
kekuasaan. “Menghalalkan segala cara”, itu istilah yang dekat dengan kita, yang
mungkin dapat memudahkan untuk memahami apa ajaran politik Machiavelli itu.
Lagi-lagi karena itulah nama Machiavelli ini dikait-kaitkan
dengan “politik kotor” oleh para penganjur moralitas. Tapi bagi para akademisi atau
politolog (pakar ilmu politik), ajaran Machiavelli ini dianggap sebagai ajaran
realisme politik, yang menempatkan politik secara riil, seperti apa adanya politik
itu tanpa harus menempatkannya pada sisi ideal politik yang menggantung tinggi
di langit sana. Jadi di kalangan penganjur moralitas Machiavelli dihujat
serendah-rendahnya karena ajarannya bertentangan dengan kitab suci mereka. Ia
disebut “the old Nicky” simbol segela
jenis kejahatan. Tapi diam-diam justru Machiavelli dicintai oleh para penguasa,
dan bagi para politolog profesional, Machiavelli ditinggikan derajatnya sebagai
seorang pemikir realisme politik (Dhakidae, 2015). Mungkin sekarang ada baiknya
kalau kita mulai membicarakan isi buku Il Principe untuk mengetahui bagaimana
ajaran Machiavelli yang dianggap jahat itu. sebagian besar dari ulasan berikut
di dasarkan pada sumber: Daniel Dhakidae, Menerjang
Badai Kekuasaan: Meneropong Tokoh-Tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie,
Sampai Putra Sang Fajar, Bung Karno (2015).
Menurut Dhakidae (2015:34), ada tiga konsep utama yang
menjadi dasar bagi keseluruhan bangunan teori Machiavellian dalam Il Principe, yakni: fortuna, virtù dan
necessità. Bagi
Machiavelli fortune dan virtù ini saling bergulat satu sama lain dengan
necessitá
atau keharusan sejarah sebagai motif dasar pergulatan itu. untuk lebih
jelasnya akan dibahas satu per satu.
Pertama, fortuna. Istilah
ini tersebar dalam keseluruhan tubuh buku Il
Principe dengan arti berbeda-beda
tergantung pada konteks yang sedang dibahas. Secara umum ada tiga arti kata fortuna yang dibicarakan oleh
Machiavelli, yakni: 1) fortuna dapat
diartikan sebagai hadiah, pemberian dalam arti bahwa kekuasaan diperoleh karena
uang pemberian orang lain, kebaikan hati orang lain. Penguasa seperti ini
sangat rapuh karena sangat bergantung pada kekayaan dan kebaikan hati orang
lain (favor); 2) konsep fortuna yang diartikan sebagai sesuatu
yang dipertentangkan dengan kemampuan (ability),
dalam hal ini adalah kemampuan memerintah. Dalam pengertian ini konsep fortuna dikaitkan dengan seorang yang karena
keadaan tiba-tiba menjadi penguasa tanpa memiliki kemampuan atau pengalaman (ability) dalam memerintah; 3) konsep fortuna ini diartikan sebagai suatu
keadaan yang berkaitan dengan campurtangan dewata yang tidak dapat dilawan oleh
upaya manusia. Artinya seorang menjadi penguasa karena dasar “suara dari
langit” atau dalil suratan takdir yang tidak dapat diganggu gugat oleh apa pun
usaha manusia.
Bagi Machiavelli kekuasaan yang berdasar pada fortuna adalah suatu kekuasaan sewenang-wenang dari suatu kebetulan
yang irasional (capricious power of
irrational happenstance). Sangat berbahaya karena kekuasaan yang berdasar
pada fortuna berubah-ubah dan tak
mampu dikendalikan oleh siapa pun. Kekuasaan di sini benar-benar hadir sebagai
hukum keharusan illahi, yang tidak memberi ruang bagi upaya manusia dalam
kekuasaan itu. Oleh karena itu, Machiavelli menganjurkan untuk melawan
kekuasaan semacam ini. Dalam konteks keharusan illahi ini, fortuna berkaitan dengan konsep necessità,
Kedua, necessità yakni suatu
konsep yang menegaskan hukum keniscayaan sejarah. Namun, Machiavelli menolak adanya
keniscayaan sejarah yang ditentukan oleh fortuna,
oleh keharusan illahi. Menurutnya konsep semacam itu tidak lebih dari suatu
retorika belaka. Keniscayaan sejarah menurut Machiavelli ditentukan oleh suatu
hukum kesaling hubungan antar unsur penentu yang dapat dimengerti sehingga memungkinkan
manusia melakukan suatu intervensi terhadap jalannya sejarah. Jadi hanya orang
yang mampu memahami proses sejarah yang hampir pasti menurut hukum tertentu
yang dapat menentukan tujuannya dalam sejarah atau mampu melakukan intervensi
terhadap proses sejarah. Dengan itu pula seseorang dapat mampu menentukan
senjata apa yang digunakan untuk memengaruhi hukum keniscayaan itu, apakah
menggunakan hukum atau menggunakan senjata.
Machiavelli memahami bahwa jalan hukum adalah jalan beradab umat manusia,
sedangkan jalan senjata adalah jalan binatang. Namun kadang-kadang jalan hukum saja
tidaklah cukup, oleh sebab itu Machiavelli menyarankan agar seorang penguasa
harus mengetahui dan mampu menggunakan
jalan binatang dan jalan manusia menurut kebutuhannya. Seorang penguasa harus
bisa memainkan cara-cara manusiawi dan cara-cara binatang demi merebut dan
mempertahankan kekuasaan. Inilah satu-satunya cara seseorang untuk melawan
kekuasaan sewenang-wenang yang didasarkan pada fortuna dan ini juga cara manusia merebut nasibnya sendiri dan
menentukan nasib itu menurut kehendak dan ketentuannya.
Ketiga, virtù yakni
keutamaan, kualitas atau kekuatan kreatif manusia yang dapat didayagunakan
untuk melawan kesewenang-wenangan fortuna
dalam arena kekuasaan. Untuk melawan fortuna,
seseorang harus mempergunakan virtù sebaik
mungkin. Tak peduli seperti apa penilaian moralitas, sebab seorang manusia
harus belajar bagaimana hidup, bukan bagaimana ia seharusnya hidup. Seorang
penguasa belajar cara-cara mempertahankan kekuasaannya, bukan bagaimana
seharunya ia berkuasa menurut pengandaian-pengandaian moral. Penguasa yang
belajar bagaimana seharusnya ia berkuasa menurut kebaikan-kebaikan tertentu
akan hancur di tengah-tengah sebagian besar orang yang tidak baik dalam lingkup
kekuasaan. Oleh sebab itu, adalah penting bagi seorang penguasa untuk belajar
tidak baik demi mempertahankan
kekuasaanya, tetapi penting pula seorang penguasa memanfaatkan keutamaan moral
sepanjang itu dibutuhkan untuk kekuasaan.
***
Nasehat politik Machiavellian ini menggegerkan kaum beradab yang
menjunjung tinggi ajaran moralitas. Ia benar-benar memisahkan politik dengan
moralitas. Bagi Machiavelli moral dan politik itu tidak ada hubungannya, jika
politik ada di satu sisi maka moral ada di sisi lainnya. Memang Machiavelli
sama sekali tidak menganjurkan untuk membunuh, tapi membunuh menjadi hal yang
harus dilakukan jika itu berkaitan dengan menjaga eksistensi kekuasaan. Dengan
demikian, jika kita mau melihat posisi Machiavelli dalam pandangan moral, kita
akan menemukan dirinya sebagai penjahat gabungan antara “singa” dan “rubah”
(Dhakidae, 2015:40).
Politik itu kotor, tetapi tidak menjijikkan !
BalasHapus