Beberapa
saat yang lalu saya terlibat sebuah diskusi tentang kekuasaan dengan seorang
teman. Pasalnya saya menulis status di akun facebook pribadi tentang sedikit
catatan hubungan kekuasaan, institusi dan pengetahuan yang saya lihat dari
larangan KPAI terhadap siaran TV yang menyiarkan artis-artis melambai. Waktu
itu saya teringat dengan gagasan Foucault tentang seks, bahwa sirkulasi
kekuasaan-pengetahuan itu dapat merasuk pada hal-hal intim individu (seks),
bahwa kekuasaan itu ada di mana-nama dan mengikat subjek, bahwa kekuasaan itu
bersifat produktif dan mengatur, dan bahwa membicarakan seks bukan hanya
berbicara tentang kelamin, melainkan berkenaan pula dengan soal normalisasi
perilaku individu.
Diskusi
itu dipicu oleh sanggahan teman saya yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungannya antara KPAI dengan kekuasaan, tidak ada hubungan antara pengusaha
dan penguasa, baginya KPAI adalah pengusaha dan kekuasaan itu semata-mata
urusan penguasa (walau sebenarnya saya tahu bahwa teman saya ini sepertinya
menyamakan Komisi Perlindungan Anak Indonesi [KPAI] dengan Komisi Penyiaran
Indonesia [KPI]). Tapi saya mencoba menjawab sanggahan teman saya itu dengan
memberi petunjuk bahwa catatan pada status di atas diilhami oleh pandangan-pandangan
Foucault. Harapan saya agar ia memahami saya. Tapi nampaknya teman itu
berpegang teguh pada pendapatnya sendiri dan malah menyarankan saya menggunakan
Karl Marx. Menurutku bukan tidak relevan (kalau tidak bisa dikatakan tidak
relevan) menggunakan teori Marx dalam menganalisis wacana larangan menyiarkan
artis melambai pada siaran TV. Namun ada yang lebih relevan membicarakan itu,
yakni Foucault. Dari pada saya ribut di laman facebook, lebih baik saya membuat
tulisan terkait kekuasan menurut Foucault. Tulisan ini adalah jawaban saya
terhadap diskusi itu.
***
Konsep
kekuasaan selama ini lebih banyak dipahami dalam terminologi Weberian di mana
kekuasaan dimaknia sebagai kemampuan untuk memaksakan keinginan seseorang pada
prilaku orang-orang lain (Eriksen, 2009:267; Ritzer, 2012:219). Atau dipahami
dalam konsepsi kekuasaan menurut Karl Marx yang melekatkan kekuasaan
semata-mata sebagai milik aparatus negara dan kelompok-kelompok kecil yang
mengendalikan negara (Latif, 2005). Bagi Foucault konsep-konsep kekuasaan
demikian tidak dapat lagi memuaskan rasa ingin tahu kita mengenai kekuasaan.
Foucault menyatakan:
“Mungkin Marx dan Freud tidak dapat memuaskan rasa keingin tahuan kita
tentang teka-teki “kekuasaan”, sesuatu yang sekaligus tampak dan tidak tampak,
hadir dan tersembunyi, ada dimana-mana. Teori-teori kepengaturan beserta
analisis mereka yang tradisional tidak mengeksplorasi area tempat kekuasaan
dilaksanakan dan difungsikan. Pertanyaan kekuasaan tetap menjadi sebuah
teka-teki yang besar. Siapa yang menjalankan kekuasaan? Dan dalam ruang lingkup
bagaimana? Pada saat ini kita tahu pasti dan sangat beralasan, siapa-siapa yang
mengeksploitasi orang lain, siapa-siapa yang menerima keuntungan-keuntungan,
orang-orang mana yang terlibat dan bagaimana dana-dana tersebut diinvestasikan
kembali. Sebagaimana kekuasaan [...] Kita
memang tahu hal itu ada ditangan mereka yang memerintah. Namun
persoalannya, gagasan-gagasan “pemegang kekuasaan” tidak pernah mendapat
perumusan yang memadai, begitu juga dengan ide-ide lainnya seperti:
“menguasai”, “mengendalikan”, “memerintah” dan sebagainya. Penjelasan mengenai
hal itu masih sangat berubah-ubah dan membutuhkan analisis. Kita juga
seharusnya menginvestigasi batas-batas pelaksanaan kekuasaan menginvestigasi
saluran-saluran penyebarluasan kekuasaan dimana melaluinya kekuasaan,
dioperasikan dan diperluas pengaruhnya pada aspek-aspek yang sering dianggap
remeh dari hierarki dan bentuk-bentuk pengendalian, pengawasan,
larangan-larangan dan pengekangan-pengekangan. Di mana kekuasaan berada,
hal-hal tersebut pasti selalu dilaksanakan. Tegasnya, tak seorang pun, memiliki
hak resmi untuk berkuasa, kekuasaan selalu digunakan dalam satuan-satuan arah
partikular, dengan sejumlah orang di satu sisi tertentu dan sejumlah orang lain
disisi lain. Sering sukar untuk mengatakan secara akurat siapa pemegang kendali
kekuasaan” (Suyono, 2002:42-43).
Penjelasan Foucalt di atas menekankan bahwa
kekuasaan itu tidak terpusat, kekuasaan itu bergerak bukan milik resmi kelompok
tertentu atau aparatus negara, bukan pula milik kelompok borjuis seperti klaim
Marx. Kekuasaan menurut Foucault ada dimana-mana, hadir secara tampak maupun
tersembunyi, tidak terpusat dan sifat-sifat kekuasaan itu adalah menguasai,
mengendalikan, memerintah, mengekang, mengatur dan sebagianya. Kekuasaan dalam
hal ini bukan sekadar soal hierarki sosial, di mana kelompok yang berada pada
struktur teratas serta merta menjadi pemilik sah atas kekuasaan, tapi bagaimana
suatu individu atau kelompok tertentu menegosiasikan kepentingannya dengan
individu atau kelompok lainnya dalam ranah sosial tertentu. Kekuasaan dengan
demikian selalu berada dalam arah yang partikular secara berhadap-hadapan,
yakni saling pengaruh antara sekelompok orang di satu sisi dan sekolompok orang
pada sisi lainnya.
Ada
tiga cara pandang kekuasaan yang menjadi sasaran kritik Foucault (Latif,
2005:38-39): Pertama, cara pandang
kekuasaan yang bersifat occasional
(hadir sekali-sekali), cara pandang ini memahami kekuasaan sebagai sesuatu yang
dimiliki dan dipergunakan sepenuhnya atas kehendak seseorang yang berkuasa
seperti raja atau semacamnya, cara pandang ini disebut juga teori dominasi
ortodoks. Kedua, cara pandang yang
melihat kuasa semata-mata sebagai milik negara dan sekelompok kecil orang yang
mengendalikan negara sebagaimana
dipahami oleh Karl Marx, cara pandang ini disebut juga teori tradisional. Ketiga, cara pandang yang melihat kuasa
terpisah dengan pengetahuan, pengetahuan semata-mata hanyalah urusan rasio
tidak ada hubungannya dengan kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan tidak dapat
dipisahkan dari pengetahuan, demikian juga sebaliknya pengetahuan tidak lepas
dari proses seleksi dan limitas dari suatu rezim kekuasaan (Foucault, 1980;
Latif, 2005; Suyono, 2002; Hardiyanta, 1997).
Menurut
Latif (2005:39), Foucault menawarkan kita pengertian kuasa yang lebih kompleks
di mana kekuasaan dipandang sebagai totalitas tindakan-tindakan sosial yang
menggambarkan permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka. Menurut
pandangan Foucault (Latif, 2005:42), kekuasaan tidak bersifat monolitik, sebab
antara mereka yang kita sebut berkuasa dan yang mereka yang dikuasai sama-sama
memiliki kemampuan dalam menegosiasikan kepentingannya masing-masing dalam
berbagai tindakan sosial. Proses negosiasi dan upaya-upaya memposisikan diri
antara kelompok-kelompok sosial yang berlangsung timbal-balik dalam arena
sosial tertentu inilah yang disebut sebagai “permainan strategis”. Kekuasaan
dalam pengertian seperti ini selalu berhadap-hadapan dengan praktik
perlawanannya (Li, 2012:22; Latif, 2005:40).
Kekuasaan sebagai permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka (strategic games between liberties), dibedakan oleh Foucault dengan dua tipe relasi kuasa lainnya yakni: relasi kuasa yang bersifat dominasi” (domination) dimana kekuasaan bersifat tidak setara, ada pihak ordinat dan subordinat dan relasi kuasa yang bersifat mengatur dan mengarahkan prilaku yang disebut “kepengaturan” atau “pemerintahan” (govermentality) adalah relasi kuasa yang terletak di antara “dominasi” dan “permainan-permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka” (Li, 2012:9; Foucault, 1991:100; Latif, 2005:40).
Kekuasaan sebagai permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka (strategic games between liberties), dibedakan oleh Foucault dengan dua tipe relasi kuasa lainnya yakni: relasi kuasa yang bersifat dominasi” (domination) dimana kekuasaan bersifat tidak setara, ada pihak ordinat dan subordinat dan relasi kuasa yang bersifat mengatur dan mengarahkan prilaku yang disebut “kepengaturan” atau “pemerintahan” (govermentality) adalah relasi kuasa yang terletak di antara “dominasi” dan “permainan-permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka” (Li, 2012:9; Foucault, 1991:100; Latif, 2005:40).
Keterkaitan
antara Wacana (discourse) dan
Kekuasaan
Konsep wacana (discourse) dalam tradisi pemikiran
Foucauldian sesungguhnya merupakan kajian mengenai penggunaan bahasa. Tetapi
terma bahasa dalam pengertian Foucault (Jones, 2010) bukanlah bahasa
sebagaimana dipikirkan oleh kaum strukturalis seperti bahasa Inggris, Prancis,
Jerman, Spanyol, dan lain-lain. Bahasa dalam terminologi Foucault (Lubis,
2014:83) dilihat sebagai sistem-sistem gagasan yang saling berkaitan satu sama
lain dan memberikan kita cara untuk mengetahui dunia. Dalam memahami bahasa,
ada dua hal pokok yang membedakan Foucault dengan strukturalisme yakni:
Foucault menolak adanya ciri-ciri universal yang melandasi semua bahasa dan
perhatian Foucault yang dipusatkan pada faktor kekuasaan dalam membentuk dan
menggunakan bahasa (Jones, 2010:202). Ketika Foucault dituding para pembacanya
di Prancis sebagai penerus tradisi strukturalisme (Foucault, 2007), Foucault
segera merevisi kembali bukunya, terutama bukunya yang berjudul The Birth of Clinic. Foucault mengganti beberapa kata kunci yang rentan dengan istilah-istilah
strukturalisme, seperti istilah: “bahasa” diganti dengan istilah wacana (discourse), sedangkan kalimat “structured analysis of signified” diganti dengan kalimat “the analysis type of discourse” (Suyono,
2002:40).
Wacana adalah suatu
pengertian tentang realitas dan seperangkat acuan bagi prilaku yang merujuk
pada suatu bentuk pengetahuan tertentu, seperti wacana medis, wacana agama, dan
sebagainya (Jones, 2010). Suatu wacana memiliki kemampuan untuk menggiring
pengertian subjek mengenai realitas, mengenai apa yang benar dan salah, boleh
dan tidak boleh, normal dan tidak normal, dan seterusnya (Foucault, 1980).
Wacana mempengaruhi dalam hal apa seseorang akan berbicara dan bertindak, serta
mempengaruhi cara mendefinisikan realitas. Foucault (Jones, 2010) berpendapat
bahwa memiliki suatu wacana adalah satu-satunya cara untuk mengetahui tentang
realitas; singkatnya, individu sangat ditentukan wacana-wacana. Dalam
pengertian ini, tidak ada seorang pun yang dapat lepas dari pengaruh suatu
wacana, karena itu, wacana pada dasarnya menerapkan kekuasaan atau setidaknya
bersifat menguasai subjek (kuasa wacana). Menurut Foucault (Lubis, 2014:84),
jalinan hubungan antara bahasa, pikiran, pengetahuan dan tindakan disebut
sebagai “praktik diskursif”. Dalam hal inilah, kebudayaan pun dipandang sebagai
produk dari praktik-praktik diskursif tertentu (Arif, 2010).
Dalam kehidupan
sehari-hari, terdapat berbagai macam wacana mengenai kebudayaan yang bisa saja
saling bertentangan, namun ada sala satu wacana yang lebih dominan daripada
wacana lainnya (Alam, 2006). Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah: “kenapa
dan bagaimana suatu wacana bisa menjadi lebih dominan diterima dalam kehidupan
sehari-hari dibandingkan dengan wacana lainnya? Foucault memberikan jawaban
bahwa suatu wacana menjadi lebih dominan karena menghadirkan kebenaran yang
ditopang dengan relasi kekuasaan tertentu (Foucault, 1980). Suatu wacana dapat
diterima dan bekerja secara efektif pada masa tertentu sangat ditentukan oleh
atas dasar apa, atas argumentasi atau rasionalitas apa yang melatari
diproduksinya suatu wacana. Dengan demikian, menurut Foucault (Lubis, 2014)
menjadi upaya yang sangat penting untuk mengungkap apa yang tersembunyi dibalik
kemunculan suatu wacana.
Selanjutnya Foucault (1980)
mengajukan pertanyaan lain; lantas jenis kekuasaan seperti apa yang paling
rentan dalam setiap produksi suatu wacana? Foucaul (1980) memberikan jawaban
bahwa dalam setiap masyarakat terdapat berbagai hubungan kekuasaan yang
mengukuhkan diri, mengkategorisasi dan membentuk berbagai lembaga dan institusi
sosial. Relasi kekuasaan semacam itu tidak dapat terbentuk dengan sendirinya,
tidak dapat dinegosiasikan, disosialisasikan dan tidak dapat diimplementasikan
tanpa produksi dan pemungsian suatu wacana (Foucault, 1980). Mustahil ada
pelaksanaan kekuasaan tanpa ditopang suatu wacana kebenaran yang beroperasi
dibalik hubungan-hubungan sosial yang tampak di permukaan. Setiap kekuasaan
harus memproduksi kebenarannya dan memungsikannya melalui wacana, sebab
kekuasaan benar-benar tidak dapat dijalankan tanpa terlebih dahulu memproduksi
wacana kebenaran (Foucault, 1980). Dengan demikian, menurut Foucault (Jones,
2010:204; Lubis, 2014), kekuasaan dilaksanakan melalui dua cara: Pertama,
kekuasaan dilaksanakan agar suatu wacana terwujud. Dalam hal ini suatu wacana
dapat berfungsi bila ditopang oleh kekuasaan. Kedua, kekuasaan dilaksanakan
oleh bekerjanya suatu wacana. Dala hal ini suatu wacana dapat memapankan posisi
kekuasaan tertentu yang mempertahankannya.
Untuk lebih memperjelas
konsep keterkaitan antara wacana dan kekuasaan, berikut ini akan dijelaskan
bagaimana hubungan kekuasaan dengan pengetahuan yang disirkulasikan oleh
institusi atau otoritas tertentu. Dengan demikian, kehadiran kuasa dalam konsep
berikut akan menjadi semakin jelas dibanding konsep sebelumnya, sebab
melibatkan institusi.
Genealogi:
Hubungan Kuasa dan Pengetahuan
Istilah
“genealogi” dalam kultur akademik indonesia bukan lagi istilah yang baru. Yudi
Latif misalnya menggunakan konsep “genealogi” dalam disertasinya yang kemudian
diterbitkan dengan judul: Intelegensia
Muslin dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Penjelasan
Latif mengenai istilah “genealogi’ dalam buku tersebut tidak lepas dari
pemikiran Foucault. Menurut Latif (2005:7) genealogi dalam pengertian Foucault
merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concerns) masa kini. Karena itu, Latif
menganggap konsep genealogi ini berfokus pada fakta bahwa penulisan sejarah
merupakan pemenuhan kebutuhan masa kini. Latif juga mengatakan:
“genealogi tak berpretensi untuk kembali ke
masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus.”
Justru sebaliknya, “genealogi berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal
(accidents), mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute
deviation)”. Genealogi memfokuskan diri pada retakan-retakan, pada
kondisi-kondisi sinkronik dan tumpang tindihnya pengetahuan yang bersifat
akademis dengan kenangan-kenangan yang bersifat lokal (Latif, 2005: 7-8).
Namun
berbeda dengan padangan Latif di atas, Piliang (2012:15) mendefinisikan
genealogi sebagai sebuah model analisis diskursus yang dikembangkan oleh Michel
Foucault, yang secara khusus melihat relasi yang tak terpisahkan antara
pengetahuan dan kekuasaan di dalam diskursus. Seturut padangang Piliang tersebut,
Davidson menjelaskan bahwa untuk memahami perbedaan dua metode Foucault, arkeologi dan genealogi, harus dilihat sepasang hipotesis
yang diajukan oleh Michel Foucault dalam “Truth
and Power”. Foucault menjelasakan:
“Kebenaran” dimengerti
sebagai sebuah sistem dari prosedur-prosedur yang telah diatur untuk memberikan
penjelasan-penjelasan mengenai produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan
operasi... “Kebenaran” yang berhubungan dalam sebuah relasi sirkuler dengan
berbagai sistem kekuasaan mereporoduksi dan menopangnya, dengan efek-efek
kekuasaan yang menginduksi dan meluaskannya. Sebuah “rezim” kebenaran
(Foucault, 1980).
Dari kutipan di atas, menurut Davidson (Hardiyanta, 1997:11)
hipotesis yang pertama merupakan interpretasi Foucault yang secara singkat
menjelaskan tentang metode arkeologinya, sementara hipotesis kedua berkaitan
dengan metode genealoginya. Dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan di atas, maka konsep
genealogi dalam penelitian ini merujuk pada hubungan kuasa dan pengetahuan. Sekalipun
demikian, saya tidak mengabaikan penafsiran Yudi Latif yang memahami genealogi
sebagai kajian sejarah yang menekankan penelusuran terhadap
penyimpangan-penyimpangan kecil, keretakan-keretakan dan tumpang tindihnya
pengetahuan dalam sejarah. Sebab konsep ini penting dalam penelitian ini untuk
menjelaskan keretakan-keretakan wacana identitas yang dialami dalam perjalanan
sejarah orang Kulisusu.
Konsep
genealogi baru muncul setelah Foucault menyelesaikan karyanya: Madness and Civilization. Sebelumnya
Foucault tenggelam dalam penelusuran arkeologi pengetahuan yakni upaya
menelusuri formasi-formasi diskursif yang membentuk suatu “rezim kebenaran”.
Dalam metode arkeologi, Foucault hanya menekankan pada pentingnya
prosedur-prosedur, sirkulasi-sirkulasi, dan formasi-formasi diskursus yang
menyusun suatu kebenaran serta menghubungkannya formasi-formasi tersebut dengan
otoritas tertentu, seperti otoritas penutur (enunciative) (Foucault, 2002). Penyusunan formasi-formasi ini,
dalam konsep arkeologi sama sekali terbebas dari formasi-formasi non-diskursif,
seperti: institusi (Suyono, 2002:176). Sementara itu, metode genealogi Foucault
mulai menyadari bahwa formasi-formasi diskursif atau wacana itu tidak terlepas
dari mekanisme kontrol dari kekuasaan itu sendiri. Menurut Suyono (2002)
transisi pemikiran Foucault dapat dibaca dalam kuliah inaguralnya di Colege de
France tahun 1970 yang bertajuk L’ordre
du discours. Suyono menggambarkan bahwa: dalam kuliah tersebut Foucault
memberikan pemahaman baru kepada para audiensya mengenai penyebaran gugus-gugus
diskursif. Dalam metode arkeologi, proses penyebaran gugus-gugus dikursif ini
dilihat berlangsung secara alami, namun Foucault menyadari bahwa proses itu
ternyata tidak bebas dari limitasi, seleksi dan kontrol. Dengan demikian,
kesadaran akan adanya mekanisme kontrol, limitasi dan seleksi dalam perseberan
wacana merupakan pintu awal yang menghantarkan pemikiran arkeologi menuju
pemikiran kekuasaan (Suyono, 2002: 177).
Pengetahuan
dalam pandangan Foucault, tidak dapat dilepaskan dari mekanisme-mekanisme
kontrol, limitasi dan seleksi. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya mengenai
kegilaan (Madness and Civilization), The Birth of Clinic, The Birth of Prison, maupun mengenai History of Sexuality. Dalam Madness and Cilvilzation, Foucault
memperlihatkan bagaimana kegilaan dipisahkan dari rasionalitas. Foucault
menyatakan bahwa sejak awal fajar abad lima belas sampai pertengahan abad tujuh
belas, kegilaan di Eropa misalnya masih dimengerti sebagai wilayah antara
kegilaan dan kepandiran (Foucault, 2002). Istilah kegilaan dan kepandiran pada
era itu merupakan kata yang cair yang dapat dipertukarkan satu sama lain dan
tak seorangpun mengetahui kapan kata-kata itu pas diucapkan (Suyono, 2002).
Bahkan banyak karya sastra yang muncul pada era itu seperti King Lear karya Shakespeare
menggambarkan percampuran makna antara kegilaan, kepandiran dan kebijaksanaan.
Namun, sejak purna abad pertengahan yang ditandai dengan munculnya gerakan
pencerahan, maka peradaban Barat mulai dikuasai oleh “rezim kebenaran baru”
yakni distingsi antara rasio dan non-rasio.
Kemunculan
psikiatri yang mewakili rasio telah menjebloskan orang-orang gila ke dalam
penjara layaknya seorang penjahat, orang-orang miskin dan gelandangan ditangkap
untuk direhabilitasi di rumah bekas perawatan penyakit lepra. Foucault
(2002:257) menyatakan bahwa: pada awal abad ke sembilan belas setiap psikiater
dan sejarawan menyerukan impuls kemarahan yang sama... “Tak seorang pun menjadi
malu dengan meletakan orang gila di dalam penjara”. Demikian juga dalam History of Seksuality Foucault
(1997:1-14) menggambarkan bagaimana kekuasaan rati Victoria yang sangat puritan
mengontrol wacana seksualitas dan melembagakannya seks ke dalam institusi rumah
tangga dan bagaimana wacana seks juga dikontrol dalam hal pengakuan dosa di
gereja.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dilihat adanya mekanisme kontrol, limitasi, pemisahan
dan larangan yang mewarnai proses sirkulasi berbagai wacana. Hal ini menunjukan
adanya relasi antara kekuasaan dengan pengetahuan: pengetahuan dikontrol,
ditopang dan diperluas oleh kekuasaan, pada gilirannya pengetahuan dapat
mereproduksi kekuasaan melalui “rezim kebenaran” yang dihasilkan oleh
pengetahuan tersebut. Pemahaman ini penting dalam penelitian ini untuk menganalisis
bagaimana kontrol kekuasaan terhadap penyebaran pengetahuan agama Islam
(tasawuf) pada masa lalu (historisitas) di wilayah kekuasaan kesultanan Buton
termasuk Kulisusu dan bagaimana pengetahuan agama tersebut memproduksi “rezim
kebenaran” yang makin memperkokoh kekuasaan Kesultanan Buton di Kulisusu.
Menurut
Foucault proses limitasi, seleksi, kontrol, dan eksklusi yang melestarikan
rezim kebenaran di Barat terlaksana melalui dua tingkat: internal dan eksternal
(Suyono, 2002:181-185). Tingkat pertama penetrasi ini ada kaitannya dengan
mekanisme produksi dan reproduksi teks. Foucault baru menyadari bahwa produksi
dan reproduksi teks di Barat yang menyebarkan gugus-gugus diskursif ternyata
memiliki karakter yang secara internal cenderung mendukung bagi terlestarikannya
suatu sinergi kebenaran tertentu. Sebagai contoh: melalui apa yang disebut
sebagai Commentary berperan sebagai teks yang berusaha untuk mengungkapkan makna
ataupun hal-hal tersembunyi dari teks-teks primer yang belum terjamah atau
tereksplisitkan dalam teks-teks primer. Commentary
bisa didefinisikan sebagai teks yang memberi ulasan atas teks lain atau
disebut juga teks sekunder. Teks lain yang dimaksud di sini adalah teks primer
atau teks utama terkait agama, hukum, sastra dan ilmu pengetahuan (Suyono,
2002:182). Teks-teks commentary ini tanpa disadari berfungsi sebagai medium agar
batas-batas diskursif pengetahuan Barat tidak keluar dari batas yang ditentukan
suatu rezim kebenaran tertentu.
Pada
tingkat kedua, eksternal: proses seleksi, limitasi, kontrol dan eksklusi
menurut Foucault berkaitan dengan institusi. Proses pelestarian rezim kebenaran
tidak dapat dipisahkan dengan adanya kontrol eksternal dari sebuah institusi.
Melalui kontrol institusi-institusi, diskursus dikendalikan dan digiring ke
arah kondisi yang dikehendaki oleh institusi yang berperan. Dalam konteks
inilah saya memahami KPAI sebagai institusi yang mengontrol tayangan TV demi
suatu normalisasi prilaku anak-anak.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus