|
Ilustrasi |
Manusia adalah mahluk yang percaya. Tidak ada
satu keadaanpun dimana manusia berada dalam ragu-ragu yang sempurna—tanpa ada
satupun yang dipercayai. Seorang peragu seperti Desacartes pun di tengah-tengah
keraguaannya masih menyisakan satu yang ia percaya, bahwa dirinya sedang ragu. Berdasarkan
hal itu dapat dikatakan bahwa istilah ateis tidak dapat serta merta
didefinisikan sebagai keadaan tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan. Justru
sebaliknya, ateis adalah sebentuk kepercayaan baru. Mereka tidak percaya akan
adanya Tuhan, tetapi mereka percaya pada tuhan-tuhan baru, kedigdayaan akal dan
sains. Hal ini membuktikan bahwa kepercayaan adalah fitrah manusia, sebuah
kecenderungan alamiah sebagai kelanjutan dari perjanjian primordial manusia
dengan Tuhan-nya di alam roh seperti yang dijelaskan dalam surah al-A’raf ayat
172:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)",
Berdasarkan alur berpikir di atas, Ibn
Thufail seorang pemikir muslim abad ke-17 menuliskan sebuah karya berjudul: “Hayy Ibn Yaqdzan”. Dalam karya tersebut
Ibn Thufail menjelaskan kisah hidup Ibn Yaqdzan yang sejak kecil hidup di sebuah
pulau tak berpenghuni. Di sana Yaqdzan dibesarkan oleh seekor rusa yang baru
saja kehilangan anaknya. Sekalipun Ibn Yaqdzan hidup dan dibesarkan oleh alam,
seiring waktu berjalan melalui pengalaman indrawinya di hadapan alam raya, melalui
akalnya, dan melalui intuisinya ia mulai memahami kekuatan lain yang menguasai
penciptaan alam semesta, yakni Allah. Kemudian muncul tokoh lain bernama Absal
yang hendak melakukan pertapaan di pulau tempat Yaqdzan hidup. Absal adalah
tokoh yang dikisahkan telah mengenal agama berdasarkan wahyu (al-Qur’an), namun
memilih pengasingan diri untuk menjalankan kesalehan dan ketaqwaan. Di pulau
itu Absal bertemu Ibn Yaqdzan. Tetapi karena Yaqdzan belum mengetahui bahasa
manusia, maka Absal terlebih dahulu mengajarinya bahasa manusia. Setelah dapat
berbahasa yang sama, Absal mengisahkan kepada Yaqdzan tentang
pengetahuan-pengetahuan Qur’ani, tentang Allah, malaikat, nabi-nabi, alam
ghaib, dan tentang akhirat.
Mendengar penjelasan dari Absal di
atas, Yaqdzan merasa bahwa pengetahuan esoteris yang ia peroleh sama sekali
tidak bertentangan dengan ajaran agama yang diceritakan oleh Absal. Lalu
kemudian giliran Yaqdzan yang menceritakan pengalaman esoterisnya kepada Absal,
pengalaman tentang kemanunggalan dengan Allah. Mendengar kisah tentang
kemanunggalan manusia dengan Allah (ma’rifatullah) dari Yaqdzan—yang hidup di
pulau tak berpenghuni dan dibesarkan oleh seekor rusa—Absal merasa yakin bahwa
agama Islam yang dianutnya adalah benar. Bahkan mampu dikenali oleh manusia
yang hanya memakai akal dan intuisinya. Dari kisah ini, Ibn Thufail menguraikan
bagaimana akal dan wahyu saling bertemu tanpa ada pertentangan satu sama lain (al-manqûl wa al-ma’qûl). Kisah berlajut.
Yaqdzan kemudian mengajak Absal pergi meninggalkan pulau itu untuk mengajarkan
ma’rifah hakiki kepada penghuni pulau itu (Sirajuddin Zar 2009: 211). Mereka
kemudian bertemu dengan raja Salman penguasa pulau itu. Salman adalah tokoh
yang dikisahkan menganut agama berdasarkan nash-nash al-Qur’an (pengetahuan
eksoteris). Salman meyakini bahwa hidup di tengah-tengah masyarakat lebih utama
ketimbang hidup menyepi demi untuk mencari pencerahan kalbu.
Absal kemudian mengisahkan kepada
penduduk pulau mengenai pengetahuan ma’rifat yang diperoleh Yaqdzan. Awalnya
penduduk pulau amat antusias dengan kisah itu. Namun setelah Yaqdzan
menjelasakan soal pengetahuan ma’rifatnya, penduduk pulau itu malah
mencemohnya. Dari pengalaman itu, Yaqdzan menyimpulkan bahwa kemurnia
pengetahuan ma’rifat tidak bisa dipahami oleh masyarakat awam. Hanya
orang-orang khusus, terpilih, dan berilmulah yang mampu memahami kemurnia
ma’rifat. Mereka (Yaqdzan dan Absal) kemudian memutuskan untuk kembali ke pulau
tempat Yaqdzan hidup
Dari kisah di atas, secara sederhana
Ibn Thufail ingin menjelaskan adanya kecenderungan primordial manusia (fitrah)
untuk mengenali penciptanya, Allah SWT. Hanya saja, dalam kisah Ibn Yaqzan
tersebut, Ibn Thufail lebih jauh menjelaskan perkara yang lebih kompleks—bukan
sekadar penjelasan soal kecenderungan primordial manusia—yakni keselarasan akal
dengan wahyhu (Al-Quran) dalam memahami sang Pencipta. Bagi Ibn Thufail, penerimaan
agama baik melalui akal dan intuisi maupun melalui wahyu tidak bisa
dipertentangkan, melainkan dapat dipadukan. Tokoh Yaqdzan mewakili kaum filsuf,
raja Salman mewakili kaum tekstual yang eksoteris, sedangkan Absal adalah
perpaduan keduanya.
Seturut dengan gagasan Ibn Thufail yang
telah dikemukakan di atas, Nurcholis Madjid, menjelaskan secara lebih tegas.
Menurut Nurcholis Madjid yang akrab disapa Cak Nur, pendekatan ke arah
pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan,
baik yang bersifat ituitif, ilmiah, historis, pengalaman (empiris) dan
lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia
tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang
sebenarnya—pada bagian ini, Cak Nur berbeda dengan Ibn Thufail. Untuk itu, menurut
Cak Nur, demi kelengkapan kepercayaan manusia kepada Tuhan, manusia membutuhkan
sesuatu yang lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan insting dan indra. Hal yang
tidak bertentangan dengan insting dan indra manusia itu menurut Nurcholis
madjid adalah wahyu yang disampaikan oleh seorang rasul yang sejak kecil diberi
gelar al-amin (amanah, jujur, dan dapat dipercaya) karena tidak pernah
berbohong. Melalui wahyu yang tidak diragukan kebenarannya Tuhan menjelaskan
dirinya sendiri demi meyempurnakan pengetahuan manusia
dalam memahami kebenaran Tuhan.