|
Foto: Menyerahkan buku pada Dar. Foto ini diambil di sekitar danau Moloku |
Tak
begitu sulit menemukan kisah-kisah misteri di Buton Utara, khususnya di
desa-desa paling ujung Kecamatan Kulisusu (Kampo Entaa dan Lantagi). Di sana
terhampar luas narasi tentang tanah yang mereka pijak. Boleh jadi narasi itu
dianggap tak masuk akal oleh kalangan yang menganggap dirinya terpelajar,
menyandang sebaris gelar di belakang namanya dan memiliki jabatan prestisius.
Tapi bagi masyarakat yang hidup di sana, narasi itu adalah milik, warisan, jati
diri dan pandangan hidup yang perlu mereka jaga. Hal ini seperti narasi tentang
danau Moloku, yang dipercaya mengandung banyak misteri dan karena itu dianggap sebagai
danau yang sakral.
***
Danau
Moloku terletak di ujung paling selatan Kecamatan Kulisusu. Ukurannya tidak
begitu luas namun--percaya atau tidak--keindahannya cukup menggoda untuk
mencuri pandangan kita. Danau itu tampak terawat, alami, dikelilingi hutan
mangrove yang hijau, rimbun, dan menjulang tinggi. Airnya menurut keterangan
warga setempat berasa asin, dan tampak sangat jernih hingga kita dapat melihat
kerang-kerangan yang menempel pada akar-akar hutan mangrove yang masuk ke air. Nama Moloku menurut salah satu kisah kerap dihubungkan dengan seorang sufi besar bernama La Moloku atau Al-Mulk yang tinggal di situ. Saban hari penduduk di sekitar danau ini mencari ikan mujair yang sengaja di
lepas hingga beranak pinak di danau itu. Namun mereka tak diporbolehkan menjual
ikan yang ditangkap di danau itu. Mereka hanya boleh menangkap untuk keperluan
makan saja (pola subsisten). Jika kita hendak mencoba ikan di danau itu, kita
diperbolehkan menyewa jasa nelayan setempat untuk menangkap ikan mujair dengan
menggunakan alat tangkap panah ikan.
Saya
mengunjungi danau Moloku beberapa bulan yang lalu--jujur saja ini adalah
kunjungan pertama saya. Di sana saya menemukan beberapa dua anak muda yang tengah
duduk di gazebo dekat danau. Di salah
satu gazebo terlihat banyak tergantung pipa dan nampan nasi berukuran kecil.
Itu langsung mengundang pertanyaan dalam benak. Saya mendekati dua anak muda
itu dan mencoba menanyakan keberadaan nampan nasi itu, apakah untuk keperluan
wisatawan yang membawa bekal atau untuk apa? Salah satu anak muda yang akrab
disapa Dar itu mengatakan bahwa nampan nasi itu bukan untuk tempat menyajikan
makanan para iwsatawan, tetapi itu bekas tempat penangkaran kepiting Asoka yang
beberapa lalu dipelihara oleh salah satu SKPD di Buton Utara. Kamipun terlibat
percakapan. Berikut ini saya ceritakan hasil percakapan saya dengan saudara Dar
secara verbatim.
Menurut
Dar, warga sekitar tidak setuju dengan adanya penangkaran kepiting atau apapun
di danau itu. Itus sudah ada ketentuannya dalam adat, katanya. Warga setempat
percaya jika itu dilakukan, ketentuan adat itu dilanggar, dapat menimbulkan
bencana yang bisa saja merugikan si pelanggar dan dapat pula merugikan secara
luas, timbul bencana atau kesialan yang menimpa banyak orang. Tingginya curah
hujan tahun ini yang telah menibulkan banjir di beberapa kecamatan di Buton
Utara diyakini sebagai akibat pelanggaran adat yang terjadi di danau Moloku,
penangkaran kepiting Asoka. Warga sekitar gerah dan tak menerima penangkaran
yang di dalangi pemerintah daerah tersebut. Kejadian yang tak diinginkan
terjadi. Gerah karena nilai-nilai yang mereka yakini dipinggirkan warga
akhirnya berbondong-bondong menyerang penjaga penangkaran kepiting Asoka
tersebut yang juga merupakan penduduk sekitar. Kerusuhan terjadi dan si penjaga
yang katanya digaji oleh pemda Rp. 100.000/malam harus mengalami luka di tangan
karena melindungi kepalanya dari sayatan parang.
Banyak
yang tak tahu kejadian ini. Di pasar hanya beredar rumor bahwa penyebab
tingginya curah hujan adalah akibat penangkaran kepiting Asoka itu. Dan di
media sosial orang-orang ramai membicarakan hubungan antara curah hujan dan
pemeliharaan kepiting Asoka. Ada yang mengatakan itu adalah mitos, konyol,
kuno, tidak masuk di akal dan harus ditinggalkan. Pendapat ini dianut oleh
kalangan yang menyebut dirinya lulusan univeritas dengan gelar mereka yang
mentereng. Dan ada pula yang menyayangkan tindakan pemerintah yang mengabaikan
aspek sosial-antropologis dalam pembangunan. Bagi warga di sekitar danau
Moloku, tindakan menjual ikan saja itu dilarang apalagi mau menjadikan danau
itu sebagai tempat pemeliharaan kepiting Asoka yang bukan habitat asli di situ.
Itu memang sebuah
Pendapat
para lulusan universitas itu bahwa larangan itu sebagai mitos yang sudah usang
dan harus ditinggalkan mungkin saja benar. Tapi perlu diingat bahwa mitos itu dipercaya kebenarannya sedemikian rupa sebagai hal yang sangat penting oleh para pemangku kebudayaan itu. Yang lebih penting lagi, mitos itu telah melindungi dan merawat kealamiahan dan keaslian danau itu dari
pengelolaan alam yang berlebihan. Memang di sini sudah ada ikan mujair yang
dilepas, namun itu bukan untuk tujuan memelihara demi keperluan komersial.
Ikan-ikan mujair itu dilepas begitu saja dan dibiarkan berkembang biak sendiri
di danau itu. Ikan-ikan inilah yang lkemudian ditangkap dan dimanfaatkan oleh
warga setempat untuk keperluan makan saja dan bukan untuk dijual. Mereka
melepas ikan-ikan mujaun itu sebab mereka percaya jika ikan habitat asli danau
yang ditangkap, ikan itu tak akan pernah masak sekalipun dimasak di atas seribu
tungku. Hal ini memang tak masuk akal, tapi sekali lagi mitos tersebut sudah
merawat kealamiahan danau Moloku selama ratusan tahun sehingga hari ini kita
masih bisa menyaksikan keaslian danau itu. Masyarakat sekitar danau telah lama
memiliki mitos itu sebagai bagian dari kehidupannya (kebudayaan), pantas mereka
terusik jika ada orang yang mau memanfaatkan danau itu tanpa mengindahkan
kebudayaan mereka.
Selain
misteri ikan yang tak pernah masak dan tak boleh dikomersialkan, danau ini juga
dipercaya terhubung oleh semacam terowongan bawah tanah dengan laut Banda. Dar
berkisah bahwa pernah ada kapal yang hancur di laut Banda yang lokasinya tak
jauh dari danau Moloku, bangkai kapal itu tiba-tiba keluar di danau Moloku. Hal
ini berarti ada terowongan yang menghubungkan danau Moloku dengan laut Banda.
Namun belum ada yang berani membuktikan anggapan ini. Dar berkata bahwa
masyarakat di sini bahkan tidak berani naik perahu ke tengah danau, takut ada
pusaran air yang mengisap mereka ke dalam terowongan. Demikian juga dengan para
penangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap panah, mereka hanya mencari ikan
di pinggir-pinggir danau, dan tidak berani berenang ke tengah-tengah danau.
Kisah
tentang penyu emas dapat pula dijumpai di danau ini. Orang-orang yang bernasib
baik dapat melihat penyu emas di danau ini, tapi orang-orang yang nasibnya
kurang beruntung tidak akan melihat penyu emas itu. Memang di danau ini hidup
banyak penyu. Tapi beberapa adalah hasil tangkapan di tempat lain lalu di lepas
di danau itu.
***
Tiba-tiba
kawan-kawan Dar muncul dari sisi danau. Mereka membawa lima ekor ikan mujair
sebesar telapak tangan orang dewasa. Rupanya dari tadi Dar dan satu orang
temannya tengah menunggu kawan-kawannya itu. Api pun langsung dinyalakan dan
mereka membakar hasil tangkapan itu. Saya kemudian pamit pulang setelah
membagikan buku yang saya tulis kepada Dar. Saya pikir dia telah memberi saya
banyak informasi menarik, terutama konflik sosial yang muncul akibat
pemeliharaan kepiting Asoka. Walau tak sampai menelan korban jiwa, konflik itu
sempat meneteskan darah, darah sebagai harga yang harus dibayar dari abainya
pemerintah menimbang sisi sosiologis dan antropologis dari pembangunan. Tania
Murray Li mengingatkan dalam buku The Wil
to Improve (Kehendak Untuk Memperbaiki) bahwa kehendak untuk memperbaiki
dari atas (pemerintah) dalam bentuk pembangunan tidak selalu dapat diterima
secara baik oleh masyarakat, sebab masyarakat sebagai subjek pembangunan
bersifat politis dalam menghadapi upaya pemerintah untuk membangun. Sifat
politis ini bisa ditunjukan dalam bentuk penolakan, pengembangan strategi
perlawanan, demi membela hak dan kepentingan masyarakat itu sendiri. Salah
satunya dalam kasus danau Moloku ini ini hak dan kepentingan akan budaya
masyarakat di sekitar danau Moloku. Oleh sebab itu, poin penting yang harus ditegaskan adalah bahwa pembangunan tak bisa lagi hanya mengandalkan analisis teknis dari salah satu sektor saja, harus ada kajian komperhensif lintas sektor termasuk sektor kebudayaan.