|
Ilustrasi Masa Rakyat dalam Demokrasi |
Seorang pemuda dengan gaya aktivis-mahasiwa ngehek tiba-tiba mendatangi kami di atas kapal kayu yang sedikit lagi akan bertolak ke Buton Utara dari Pelabuhan Kendari (Rute Kendari – Buton Utara – Wakatobi). Tanpa basa-basi pemuda itu langsung bertanya: “apa kalian beli tiket?” kami bilang “iya, kami beli tiket”. Lalu dengan percaya diri (eh, mungkin boleh dibilang sedikit menyombongkan diri) pemuda tadi bilang: “kalau saya naik kapal begini tidak pernah saya beli tiket, karena saya sangat tahu aturannya dan saya pernah berdebat dengan kapten kapal ini mengenai aturan itu, kaptennya tidak bisa berkutik, karena itu saya tidak pernah beli tiket” katanya. Ia berhenti sejenak dan melanjutkan lagi ucapannya: “kalau kapten dan ABK di sini semua takut sama saya, tidak ada yang tidak kenal saya di sini”.
Kira-kiran begitu persisnya sahabat saya mengenang pengalamannya
di atas kapal itu. Cerita ini diungkit saat kami bercakap-cakap tentang
lika-liku dunia kemahasiswaan. Sambil menyerumput saraba (minuman dari jahe) panas di sebuah warung pinggir laut,
sahabat saya itu erkata: “pemuda yang ia temui di atas kapal itu adalah seorang
demonstran atau aktivis-mahasiswa yang memang agak narsis. Ia sangat bangga dengan dirinya yang bisa berorasi
mengangkat megaphone.”
Bagi saya ini adalah yang kesekian kalinya saya mendengar
kisah serupa, kisah tentang aktivis demo. Kadang-kadang pula saya menyaksikan
secara langsung atau mendengar langsung dari para mahasiwa yang menyebut bangga
dirinya aktivis atau bangga mengisahkan dirinya pernah ikut demo. Di sebuah
halaman kantor kecamatan di Buton Utara, saya pernah bertemu seorang aktivis
demo yang sedang bercakap-cakap dengan temannya mengenai kongkalingkong dalam
dunia pendidikan. Fokus pembicaraan mereka adalah soal bantuan-bantuan
pendidikan yang tidak dikelola secara baik. Mereka bilang pemerintah dan
penyelenggara pendidikan justru terkesan hanya mencari untung dari
bantuan-bantuan itu.
Awalnya saya cuman mendengarkan perbincangan mereka, namun
akhirnya saya sedikit menimpali. Saya bilang begini: “agak susah memang di
lawan jika para politisi dan pemerintah bersetubuh dengan penyelenggara
pendidikan yang berwatak kapitalis. Apalagi politisi bersetubuh dengan
pengusaha, itu sudah lazim terjadi di negeri ini. Mata rantai hubungan mereka
susah diputuskan”. Aktivis demo itu lantas menjawab dengan enteng: “kita demo
saja itu selesai urusan. Pemerintah sekarang tidak boleh macam-macam”, katanya.
Mendengar ucapan itu saya cukup diam saja. Saya sebenarnya sedang berusaha
memancing analisis kritis mereka, hanya saja semua tampak disederhanakan dengan
demo.
Pengalaman saya yang
lain adalah saat mengikuti acara “ngumpul-ngumpul” dengan para mahasiswa di Kendari Beach. Tiba-tiba datang seorang pemuda dengan potongan rambut gobel (gondrong belakang). Ia begitu
dihargai dan di sapa dengan panggilan “abang” lalu mereka berjabat tangan
dengan sedikit membungkukkan badan tanda hormat. Saya hanya berpikir mungkin
dia ini adalah senior mereka yang cerdas dan sangat dihormati. Tapi saat
teman-teman menyebut namanya saya tidak terlalu mengenalnya, saya hanya tahu
dia adik salah satu teman saya yang konon kabarnya sering pimpin demo. Memori
saya akhirnya mengingat satu momen di mana pernah melihatnya di atas mobil
sambil berorasi. Oh, mungkin karena ini ia dihormati, pikirku. Saya akhirnya lebih
memilih ambil mic di meja lalu
menyumbangkan sebuah lagu dari band kesukaan
saya, Noah.
Keyakinan saya semakin menguat, saat gilirannya menyanyi,
teman-teman lantas bicara padanya, “bang, bedakan ya antara mic dengan megaphone” lalu mereka tertawa. Saya berpikir, rupanya di sini
demonstran amat dihargai serupa dewa pengetahuan, atau ia serupa mahasiwa yang
telah mencapai titik ideal dalam sebuah kultur pendidikan. Kalau demikian maka
kultur pendidikan di sini adalah identik dengan demo. Artinya mahasiswa ideal atau
hebat itu adalah mahasiswa yang bisa demo walau malas baca buku.
|
Foto siluet seorang demonstran |
Saat mengikuti diskusi
di laman facebook dalam postingan
bertema “organisasi kedaerahan” syarat hebat bagi mahasiswa ini pun muncul. Hal
ini muncul dalam salah satu komentar yang mengkritik polemik antar mahasiswa
dalam menggagas musyawarah pemilihan ketua. Kira-kira begini komentar itu: “baru
satu kali angkat megaphone mereka
sudah merasa hebat”. Artinya mahasiswa yang disebut hebat adalah mahasiswa yang
sudah berkali-kali turun demo. Intinya adalah demo, titik. Hal ini cukup
kontras dengan tempat-tempat lain yang pernah saya kunjungi, terutama di
kampus-kampus besar di Indonesia syarat mahasiswa ideal itu justru adalah
jumlah buku yang dibaca dan dikuasai, berapa karya yang sudah dihasilkan, dan
kemampuan berdiskusi mengelaborasi bacaan-bacaan dan pengalaman hidup. Lantas
apakah kampus dengan sayarat ideal semacam itu atau dengan kultur pendidikan
seperti itu, mahasiswanya tidak mengenal demo atau tidak pernah berdemontasi?
Kenyataannya mereka juga mengenal demo. Saeorang sahabat saya
masa kuliah adalah demonstran ulung, pernah berkali-kali mengangkat megaphone mulai dari jalanan sampai di
depan institusi-institusi pemerintah. Tapi ia adalah pembaca ulung, garis
perjuangannya jelas dan terarah, pilihan-pilihan katanya saat orasi begitu
menghentak, tegas, dan bernas. Juga tokoh-tokoh filsuf sekaliber Michel Foucault
dan Jean Paul-Sartre pernah turun ke jalan untuk berdemontrasi melawan rezim
pemerintah yang timpang. Tapi bagi mereka demo tidak dijadikan sebagai arena
aktualisasi diri a la Thomas Maslow. Demo tidak lebih sebagai media perjuangan
untuk memperjuangkan pandang-pandangan mereka, sifat kritis mereka yang
tercipta dari sebuah kultur intelektual yang kokoh.
Alih-alih sebagai arena unjuk gigi atau sebagai syarat ideal
mahasiswa, demo justru harus ditempatkan sebagai salah satu media untuk melawan
kekuasaan yang tindakannya tak dapat lagi ditolerir. Oleh sebab itu, aksi-demo merepresentasikan
sikap dan pandangan politik kita. Yang berarti pula bahwa seorang demonstran haruslah
seorang yang akrab dengan tradisi intelektual, memahami betul apa yang sedang
dilawannya, kenapa ia melawan (sebab bertentangan dengan pandangan-pandangan politiknya),
ia memiliki prinsip-prinsip ideologis yang konsisten yang terhubung dengan
diskursus-diskursus yang lebih luas; ekonomi, politik dan kebudayaan. Karena
itu, tak jarang demontsran-demonstran atau tokoh-tokoh pergerakan besar
biasanya juga adalah seorang pembaca ulet, punya kemampuan teoritik mumpuni dan
pandai menuangkan gagasan dalam tulisan. Mereka juga tak jarang mampu
mendirikan sebuah komunitas, majalah atau jurnal yang sangat kental haluan
politiknya. Tokoh-tokoh pergerakan seperti ini jelas memiliki tujuan besar dan
bejangka panjang, oleh sebab itu mereka menyadari betul bahwa perjuangan mereka
tidak cukup hanya berkoar-koar di jalanan, ada media-media perjuangan lain yang
sifatnya kultural yang gaungnya lebih besar dan laten, yakni berjuang melalui
tulisan. Tradisi seperti ini pada akhirnya berkontribusi bagi peran mahasiswa sebagai
“civitas akademik”.
Tapi jika seorang demonstran berdemonstrasi hanya demi
mencapai prestise sebagai seorang mahasiswa yang hebat, maka aras perjuangannya
hanya sampai pada angkat megaphone saja.
Mereka tak perlu mengenal jalur perjuangan lain, tak perlu membaca buku, tak
perlu tahu ideologi dan pandangan politik apa, sebab angkat megaphone sudah cukup sebagai penanda
bahwa mereka telah mencapai imajinasinya sebagai seorang aktivis dan mahasiswa
hebat. Jika kita kembali pada cerita-cerita saya di awal tulisan ini, tampaknya
model seperti ini yang banyak. Saya menemukan mereka begitu bangga dengan
identitas sebagai seorang demonstran dan begitu bangga pula mengisahkan
saat-saat mereka berdemonstrasi, tapi mereka tak pernah menjelaskan pandangan
politik mereka apa. Menyebut satu buku pun tidak pernah. Paling banter yang
mereka sebut adalah nama mata kuliahnya. Ini berbahaya!
Krisis Pendidikan Kita
Saya tadinya sudah berniat mengakhiri tulisan ini. Tapi
terbesit diingatan saya bahwa problem yang saya utarakan di atas, sebenarnya
juga adalah problem pendidikan kita. Bagaimana tidak, mahasiswa yang melupakan
membaca dan menulis dan tenggelam dalam imajinasi pergerakan tidaklah
berkontribusi apa-apa bagi peningkatan kualitas pendidikan kita. Bukannya saya
menyalahkan demo sebagai biang keladinya, tapi sebagaimana uraian panjang lebar
di atas, saya menyoroti motivasi dan praktik demo yang tidak lagi sekadar media
perlawanan melainkan sudah menjadi citra ideal bagi para mahasiswa. Ia bukan
lagi sekedar penanda perlawanan melainkan sudah membentuk basis makna tersendiri
yang tak dapat dipisahkan dari eksistensi semahasiswa. “Aku demo maka aku ada”
demo pada akhirnya berubah peran dari media menjadi tujuan karena di sanalah
klaim mahasiswa ideal disematkan. Tapi, kita lupa bahwa arus kekuatan dibidang
politik, ekonomi dan kebudayaan dengan skala besar tengah menerpa bangsa kita,
sementara kita miskin analisa dan masih berkutat pada aktivisme dan imajinasi
pergerakan yang narsis yang justru
tidak tanggap terhadap soal-soal yang lebih besar itu.
Untuk meneruskan uraian ini sedikit saya paparkan data oleh
Ariel Heryanto di jurnal online, Indoprogress.com.
Menurut Ariel perkembangan pendidikan kita di Indonesia cukup terbelakang
terutama dalam kajian ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora. Untuk menegaskan
pendapat itu, Ariel mengutip hasil riset yang dilakukan oleh Evers dan Gerke
tentang pertumbuhan penelitian di Asia Tenggara khususnya ilmu-ilmu sosial dan
budaya yang terbit di jurnal internasional berbahasa Inggris yang sudah melalui
proses penyaringan di kalangan ahli sebidang (peer review). Sekalipun data ini adalah data lama, tapi bagi Ariel
Heryanto hal ini masih berlaku sampai sekarang. Kedua peneliti ini menemukan di
antara tahun 1970 hingga 2000 terjadi peningkatan jumlah karya ilmiah di bidang
ilmu sosial dan humaniora sekitar tujuh kali lipat yang ditulis oleh peneliti
asing, dan hanya tiga kali lipat oleh peneliti di kawasan Asia Tenggara
sendiri. Itu pun peningkatan tiga kali lipat ini tidak tersebar secara merata
di berbagai Negara Asia Tenggara.
Dari segi persentase jumlah topik yang dibicarakan, topik
yang berbicara tentang Indonesia menempati urutan ketiga, tapi para peneliti
Indonesia dinilai menghasilkan karya paling rendah tentang negeri sendiri di
bandingkan dengan lima Negara anggota ASEAN lainnya. Skor karya ilmiah tentang
Indonesia yang ditulis oleh peneliti Indonesia sendiri adalah sebesar 7,1%.
Sedangkan Singapore (53,5%), Brunei (35,7%), Malaysia yang dulu belajar di
Indonesia (25,1%), Filipina (24,1%), dan Thailand (18,8%). Selain itu, menurut
Heryanto sepeti ia kutip dari harian Kompas,
2009, bila dihitung secara lebih makro, Indonesia hanya bisa menghasilkan
0,87 artikel ilmiah per sejuta penduduk Indonesia. Sementara Malaysia mencapai
21,30 artikel ilmiah persejuta penduduk dan India mencapai 12, 00 artikel
ilmiah per sejuta penduduk.
Dari paparan data yang tentu masih bisa diperdebatkan di
atas, tergambar betapa minimnya karya ilmiah mumpuni yang kita hasilkan. Karena
itu, rasanya kit ita perlu merefleksi motivasi dan kultur kampus yang
membesarkan kita. Jumlah mahasiswa pertahun yang terus meningkat pesat dengan
berbagai jurusan yang digelutinya, rupanya tidak berbanding lurus dengan karya
ilmiah yang dihasilkan. Dari pengalaman saya bersentuhan dengan para mahasiswa
khusunya mahasiswa di daerah, jarang mahasiswa −−yang saya temui dan kunjungi di
tempat tinggalnya−− yang memiliki tumpukan buku bacaan atau minimal pernah
menulis di salah satu media. Paling-paling hanya satu dua orang saja jika ada.
Bahkan ada mahasiswa yang saya temukan yang
menyebut diri sebagai aktivis-mahasiswa, seorang organisatoris berpengalaman,
demonstran ulung yang disegani di sebuah kota metropolitan, tapi menulis status
di laman facebook-nya saja tidak
jelas. Ia tidak tahu cara menempatkan tanda baca hingga tulisannya itu susah
kita identifikasi sebagai sebuh kalimat yang utuh. Sekali pun demikian banyak
orang yang menyanjungnya. Inilah realitas pendidikan kita yang justru
menyimpang dari tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi yang ada
malah kita merasa cerdas di tengah-tenga orang bodoh dan yang ada kita malah menyanjung-nyanjung
kebodohan kita sendiri yang nyata.
***
Kita mestinya sadar bahwa melawan tak selamnya harus bersuara
melalui megaphone. Kita mestinya tahu
itu hanya media untuk menyampaikan aspirasi dan bukan menjadikannya tujuan
apalagi simbol kecerdasan seorang mahasiswa. Yang penting adalah gagasan apa
yang kita perjuangkan dan bagaiaman gagasan itu diperas dari kultur akademik
yang kritis, holistik, konsisten dan jelas prinsip-prinsipnya. Kita juga bisa
melawan melalui jalur kultural, yakni melalui tulisan: buku, puisi, cerpen dan
novel yang mengugah kesadaran kritis. Dengan begitu maka aktivisme yang kita
kembangkan adalah aktivisme yang mencerdaskan, aktivisme yang akademis, dan
bukan aktivisme narsis yang jarang membaca dan menulis.[]
Buton Utara, 10 Mei 2016