Baru seminggu saya bersama petani di Sulawesi Tengah, keluhan
yang sama sudah memenuhi kepala saya. Keluhan mereka bukan karena perhatian pemerintah
yang kurang pada petani. Keluhan mereka adalah soal pelaksanaan proyek percetakan
sawah yang tidak terencana dan sering putus di tengah jalan ---proyek
berhenti saat lahan petani sudah dibongkar sedemikian rupa, ditinggalkan begitu
saja tanpa kejelasan dan tanpa sistem irigasi. Hal ini tentu merugikan petani,
belum lagi mereka sering dimintai bayaran untuk biaya kelebihan jam kereja saat
pembongkaran lahan (alihfungsi lahan dari lahan perkebunan menjadi sawah).
Ironisnya, pelaksana proyek percetakan sawah yang demikian itu pada umunya
adalah dari pihak militer.
Model pelaksanaan proyek ini telah menjelma sebagai ingatan
kolektif petani di wilayah ini. Kejadian yang tak lagi diharapkan menimpa
mereka, lantas mereka menaruh curiga pada setiap proyek yang berbau percetakan
sawah. Hanya saja mereka bungkam, tak bersuara lantang ke atas, dan membiarkan
ketimpangan ini hidup dalam ingatan yang menjadi kekhawatiran mereka. Jika
sebagian mantan jendral saat ini sedang mengkhawatirkan kebangkitan kembali PKI
dan paham-pahamnya, petani di sini sedang mengkhawtirkan rezim
militer yang mengurusi hajat hidup mereka, sebagai pelaksana proyek percetakan sawah.
***
Siang itu tiba-tiba saja seorang tentara mendatangi saya, kata seorang
petani sebut saja namanya Pak Irawan. Pak Irawan adalah ketua salah satu
kelompok tani di desanya yang cukup disegani dan disenangi karena kejujurannya.
Tentara itu datang menyuruhnya untuk mengambil gambar lahan yang ingin dicetak
jadi sawah. Tentara itu mendesaknya sebab katanya gambar harus dikirim soreh
ini juga. Sebagai ketua kelompok tani yang jujur, Pak Irawan tak mau mengambil
resiko, buakannya ia menolak perintah dari tentara itu, tapi Pak Irawan mau
terlebih dahulu bermusyawarah dengan anggota kelompoknya. “tidak bisa
pengambilan gambar dilakukan besok saja pak, sebab saya harus bicarakan dulu
dengan anggota kelompok saya” pungkas Pak Irwan. Tapi tentara itu memaksa.
“tidak bisa, karena data harus dikirim soreh ini juga” kata tentara itu
sebagaimana dikenang oleh Pak Irawan.
Mengingat kejadian pahit program percetakan sawah yang kerap
menimpa petani di daerah itu, Pak Irawan tidak mau ambil resiko. Ia dengan
tegas menolak permintaan tentara itu: “kalau begitu saya tidak mau, saya tidak
berani ambil resiko pak. Kalau ada apa-apa saya sebagai ketua kelompok tani
harus bertanggung jawab” tegas Pak Irawan. Tentara itu akhirnya menyerah dan
pergi tanpa membawa data. Demikian Pak Irawan mengenang kejadian itu yang
katanya terjadi setahun lalu. Di akhir ceritanya itu, Pak Irawan berkata: “saya
tidak mau kejadian seperti yang menimpa desa tetangga menimpa kelompok tani
kami di sini”. “Kejadian seperti apa itu Pak?”, tanyaku. Pak Irawan
menjelaskan: “di desa tetangga yang menerima program percetakan sawa mengalami
banyak kerugian”. “kerugian apa Pak?”, tanyaku lagi. “lahan perkebunan mereka
yang masih berisi kelapa dan coklat dibongkar dengan menggunakan alat berat
untuk dijadikan sawah, tapi setelah dibongkar tumpukan tanaman tadi dibiarkan
berserahkan begitu saja dan untuk membersihkan tumpukan itu, petani dimintai
bayaran oleh kontrkator dengan alasan kelebihan jam kerja dan biayanya tidak
diatur dalam RAB”. Pak Irawan berhenti sejenak, lalu lanjut berkata: “setelah
lahan petani petani dibongkar dan dimintai bayaran, kontrktornya menghilang”.
“Siapa kontraktornya Pak?” tanyaku memperjelas. “ya siapa lagi kalau bukan
tentara pak”. Kata Pak Irawan.
Ceritra Pak Irawan yang saya sajikan di atas hanyalah
sekeping kecil dari semesta realitas kehidupan petani yang kompleks di daerah ini.
Tapi walau cuma kepingan kecil realitas, ceritra Pak Irawan di atas memberikan
kita gambaran tentang adanya kekhawatiran petani dalam pelaksanaan proyek
percetakan sawah. Di desa lainnya saya juga menemukan cerita yang sama. Bahkan
saat ditanya kenapa tidak melaporkan ke pemerintah terkait, mereka dengan tegas
bilang “susah pak melawan tembok”. Petani di tempat ini lebih memilih bekerja
di kebun atau di sawah daripada waktunya digunakan untuk berurusan setengah
hari melaporkan. Alih-alih menghabiskan waktu demi berurusan dengan laporan dan
segala tetek bengeknya, petani didaerah ini lebih memilih memanfaatkan waktu
untuk bekerja. Apalagi yang mau mereka laporkan adalah unsur TNI itu lebih
mustahil lagi bagi mereka. Jadi jelas sekali program percetakan sawah di daerah
ini ada dalam dibayang-bayang rezim militer.
***
Kenapa harus dari unsur militer yang ditunjuk untuk menjadi
kontraktor proyek percetakan sawah ini? Demikian tanya yang menggantung. Saya
tak tertarik mencari jawabannya pada alasan-alasan yang sifanya birokratis dan legal-formal
(meminjam istilah Weber). Saya lebih tertarik berselancar mencari jawaban yang
bergelantung dalam dunia sosial, saya lebih tertantang mengarungi jejak-jejak
kehidupan sosial lalu memeriksa detail-detail hubungannya satu sama lain.
Dengan cara itu penjelasan akan lebih berdasar pada realitas sosial yang
berbeda dengan memeriksa dalam konteks legal-formal yang hanya membawa kita
pada akhir sesuai dan tidaknya antara praktek dan regulasi yang ada.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya butuh informasi lain
yang bukan dari petani supaya informasi yang saya peroleh berimbang. Beruntung
saya punya seorang sahabat baik yang sudah berjumpalitan dengan persoalan
petani. Ia menjelaskan pada saya bahwa petani di sini juga cukup “rewel”. Bila
kontraktor proyek percetakan sawah ini adalah pengusaha biasa, proyek juga
terancam gagal. Kebanyakan yang terjadi jika kontraktornya adalah pengusaha
biasa, baru mulai masuk alat berat petani sudah ribut menuntut banyak hal pada
kontraktor. Apalagi bila lahannya dilewati alat berat itu sedikit saja, maka
petani akan menuntut kontraktor. Tapi jika kontraktornya adalah tentara, mereka
tidak bisa melawan. Oleh sebab itu, tentara kerap ditunjuk sebagai pelaksana
proyek percetakan sawah. Selain itu, hal ini berkaitan dengan koteks
politik-ekonomi, di mana program percetakan sawah sudah menjadi domain kegiatan
TNI.
Penjelasan teman saya
di atas seturut dengan cerita seorang petani yang saya jumpai. Petani itu
berkisah tentang pengalaman seorang kontraktor (pengusaha biasa) sebut saja
namanya H. Anwar. Saat itu proyek yang dikerjakan H. Anwar bermaksud untuk
memperluas sawa dengan cara menimbun beberapa bagian lahan yang tidak rata.
Namun saat beberapa meter melakukan penimbunan, sekelompok petani datang
menghadang alat berat itu. Petani menuntut H. Anwar untuk bertanggungjawab
sebab penimbunan sawah itu merusak tanaman padi petani yang baru muncul (baca:
tumbuh). Menurut cerita petani tadi, kegiatan penimbunan ini menutup padi yang
baru tumbuh seluas 5 meter pada masing-masing sawah yang dilewati kiri dan
kanan. Penghadangan ini menyebabkan proyek percetakan sawah yang dilaksanakan
oleh H. Anwar terhambat sampai sekarang.
***
Tania Murray Li dalam bukunya The Will to Improve menjalaskan bahwa ada relasi kuasa antara
pembuat dan pelaksana program dengan masyarakat sebagai sasaran program. Bahwa
masing-masing pihak terlibat dalam relasi strategis di mana masing-masing
mengembangkan kalkulasi budaya maupun kalkulasi ekonomis untuk berhadapan
dengan pihak lainnya. Setiap program tidak pernah secara utuh memenuhi
kepentingan masyarakat yang bergerak dinamis. Karena itu, tania menyebut
masyarakat dengan sebutan “mahluk-mahluk rewel” yang mengandung pengertian
bahwa masyarakat bukanlah subjek yang diam dan menerima begitu saja program
dari atas. Masyarakat adalah subjek yang aktif dengan segala kompleksitas
kepentingannya. Dengan kata lain, kehendak untuk memperbaiki dalam wujud
program-program pemerintah tidak selalu sejalan kepentingan dan keinginan pihan
yang ingin diperbaiki. Selalu ada celah interupsi dari bawah sebagai bentuk
negosiasi kepentingan-kepentingan yang silang sengkarut di tengah-tengah
masyarakat. Ada relasi kuasa ala Foucaldian yang berlaku di sini, di mana
kekuasaan itu dipandang selalu sejalan dengan perlawanannya ibarat dua gambar
dalam satu keeping uang logam yang sama. Oleh sebab itu, konsep pembangunan itu
tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang a
politik melainkan sangat politis.
Tapi dalam konteks petani yang saya jelaskan di sini,
“kerewelan” mereka dalam menghadapi program percetakan sawah dari pemerintah
dibungkam oleh kuasa TNI. Relasi kuasa menjadi timpang sehingga jika dipinjam
analisis Foucauldian bahwa relasi kuasa ada hanya jika kekuasaan di satu pihak
hidup berbarengan dengan interupsi di lain pihak, maka dalam hubungan seperti
ini (Petani-TNI) tidak terdapat lagi disebut sebagai relasi kekuasaan melainkan
sebagai dominasi. Sebab satu pihak tak memiliki kemampuan menegosiasikan
kepentingannya terhadap pihak lainnya dalam suatu hubungan sosial. Hal ini
akhirnya menjadi sebuah ironi dalam program percetakan sawah, di satu sisi
petani bungkam di bawah ketiak TNI dan di sisi lain petani terlalu agresif jika
pelaksana program bukan dari unsur militer. Jadi sekali lagi pembangunan itu
amat politis, ada kekuasaan, kepentingan dan ketimpangan relasi pihak-pihak
terkait yang amat rumit untuk sekadar dijembatani.
0 komentar:
Posting Komentar