|
Ilustrasi Dunia Sosial |
Berbicara mengenai analisis sosial, setidaknya ada dua pertanyaan
yang segera mengemuka: Pertama adalah soal definisi: apa yang dimaksud dengan
analisis sosial? dan yang kedua: apakah analisis sosial berbeda dengan analisis
ilmu-ilmu lainnya--seperti
ilmu alam--sehingga
perlu pembahasan tersendiri?
Terkait pertanyaan pertama, definisi analisis sosial tidak
dapat dilepaskan dari definisi ilmu sosial itu sendiri sebagai ilmu yang
mempelajari fenomena sosial kemanusiaan, seperti: relasi sosial, sistem sosial,
struktur sosial, organisasi sosial, kemiskinan, kesejarahan, masyarakat, identitas,
kebudayaan, kekuasaan, tindakan, dll. Sementara kata analisis sendiri menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung pengertian sebagai penyelidikan
terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya). Dari dua pengertian itu, jika
didefinisikan secara sederhana, analisis sosial dapat dirumuskan sebagai usaha untuk memahami atau memperoleh
gambaran utuh dan mendalam mengenai fenomena-fenomena sosial yang sedang
diamati.
Usaha untuk memperoleh gambaran mengenai fenomena-fenomena
sosial tersebut secara utuh dan mendalam tidak dapat dilakukan hanya dengan
melihat-lihat saja atau sambil lalu saja di hadapan fenomena sosial. Dibutuhkan
seperangkat konsep, perspektif atau kerangka pemikiran dan cara-cara yang
terstruktur untuk melakukan analisis terhadap fenomena sosial yang sedang
diamati. Seperangkat konsep-konsep itu disebut sebagai paradigma, sedangkan cara-cara
yang terstruktur dan sistematis dalam membangun pengetahuan itu disebut sebagai
epistemologi. Dan suatu paradigma pada dasarnya dibangung oleh epistemologi
tertentu.
Sedangkan terkait pertanyaan kedua: apakah analisis sosial
itu amat berbeda dengan analisis ilmu-ilmu lainnya--seperti ilmu alam--sehingga perlu pembahasan
tersendiri? Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu terangkan
secara singkat sejarah perkembangan paradigma dalam ilmu sosial.
Pada abad ke-19 masyarakat Eropa didominasi oleh cara
pandangan bahwa segala sesuatu baik itu gejala alam, masyarakat dan kebudayaan
dapat dijelaskan dengan menggunakan kemampuan rasional. Cara pandang ini disebut
sebagai cara pandang (paradigma) positivisme yang menurut Auguste Comte (1798-1857) merupakan
hasil akhir dari perkembangan masyarakat setelah melalui tahapan-tahapan: (a)
tahapan teologis di mana manusia memandang bahwa semua gejala yang timbul baik
itu gejala alam, masyarakat dan kebudayaan dikendalikan oleh kekuatan supranatural
di luar jangkauan manusia; (b) metafisika di mana gejala alam, masyarakat dan
kebudayaan mulai dijelaskan dengan konsep-konsep abstraksi filosifis dan (c)
positivisme di mana manusia memandang segala sesuatu dapat dijelaskan dengan
rasional (Hardiman, 2004; 2003). Ciri-ciri utama paradigma positivisme ini
adalah: (1) Objektifisme
atau bebas nilai. Pengetahuan harus bebas nilai dan tidak boleh dicampuri oleh perasaan
subjektifitas atau nilai-nilai yang dianut oleh pengamat. Oleh sebab itu,
pengamat haruskan mengambil jarak dari realitas yang diamati dengan bersikap
bebas nilai agar pengetahuan yang dihasilkan benar-benar menjadi cermin dari
realitas (korespondensi); (2) Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari
impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa
impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan ada di belakang
gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika); (3) Reduksionisme, realitas
direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati dan yang dapat diukur.
(4) Naturalisme, tesis
tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan
penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki hukum-hukum tetap
yang dapat dikenali oleh rasio; (5) Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan
dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin
(sistem-sistem mekanis). Alam semesta (termasuk masyarakat dan kebudayaan)
diibaratkan sebagai giant clock work (Hardiman, 2003; 2015; Syaebani,
2008).
Penerapan
metode positivisme ini sebagaimana spirit pencerahan Jerman dipercaya mampu
mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Hal ini terbukti dengan berhasilnya ilmu
pengetahuan menghasilkan teknologi yang membantu kehidupan umat manusia
(revolusi industri di Inggris salah satunya disebabkan oleh perkembangan ini).
Keberhasilan ini mengukuhkan paradigma positivisme sebagai satu-satunya
paradigma ilmiah yang paling sah untuk menyelidiki semua gejala termasuk gejala
sosial. Setidaknya hampir sepanjang abad ke-19 ilmu-ilmu sosial masih
didominasi oleh paradigma positivisme (fenomena sosial dianalisis menggunakan
pendekatan ilmu alam) dan sepanjang abad itu pula belum ada yang menggugat
kebasahan paradigma ini (Hardiman, 2003; 2015).
Salah
satu contoh teori yang dipengaruhi oleh paradigama positivisme adalah teori evolusi
kebudayaan yang berkembang pada abad ke-19. Teori evolusi kebudayaan ini diadopsi dari teori evolusi yang berkembang
dalam ilmu biologi dengan tokoh termashurnya Charles Darwin dalam bukunya The Origin of Species. Teori evolusi ini
beranggapan bahwa masyarakat dan kebudayaan sama dengan mahluk hidup,
berkembang atau berevolusi mengikuti tahapan-tahapan perkembangan tertentu yang
berlangsung lambat. Oleh sebab itu, analisis evolusionisme dalam ilmu sosial
dijelaskan dengan menggunakan analogi oganik. Tokoh-tokoh teori evolusi ini
adalah E.B Tylor (1865), L.H Morgan (1877), J.J. Bachofen, H. Maine, J. Frazer (ahli folklor) dan Herbert
Spencer. Pengaruh positivisme ini juga
dapat dilihat dalam pemikiran Karl Marx yang meyakini bahwa sejarah menurut
hukum-hukum atau mekanisme obyektif seperti yang terdapat dalam ilmu alam
(Hardiman, 2015). Emile Durkheim, Radclif-Brown, Bronislaw Malinowski, hingga
Talcot Parson juga tergolong sebagai ilmuwan sosial yang ada di bawah pengaruh
paradigma positivisme. Lalu kapan paradigma positivisme ini digugat
keabsahannya dalam menjelaskan fenomena sosial?
|
Willhem Dilthey |
Di atas telah
sedikit disinggung bahwa hampir sepanjang abad ke-19 paradigma positivisme
belum digugat. Tapi bukan berarti tidak ada upaya menggugat paradigma ini. Walaupun
pada akhirnya terjebak pula pada paradigma positivisme, Wilhelm Dilthey
(1833-1911) adalah salah satu pemikir Jerman yang menyadari kerancuan
positivisme dalam memahami ilmu sosial-kemanusiaan (geisteswissenschaften). Oleh sebab itu, pemikiran Dilthey ini akan
saya uraikan secara singkat. Dilthey membedakan dua jenis ilmu pengetahuan: Naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam) dan
Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu
sosial-kemanusiaan) (Hardiman, 2015: 66). Perbedaan ini bukan saja dari segi
terminologi atau atau tidak semata-mata pada obyek kajian saja, sebab ilmu-ilmu
alam juga ada yang mengkaji manusia. Perbedaan utama bagi Dilthey ada pada cara
atau memahami fenomena: ilmu-ilmu alam menggunakan metode Erklären yakni sebuah metode yang memusatkan diri pada “sisi luar” obyek
penelitian yakni proses-proses obyektif dalam alam (beda jatuh, muatan listrik,
kadar gula darah, tekanan darah, ledakan natrium dalam air, dsb). Sedangkan
ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan menggunakan metode Verstehen yaitu pendekatan yang memustkan diri pada “sisi dalam”
atau dunia mental (dunia yang dihayati oleh manusia) obyek penelitiannya
(Hardiman, 2015: 76-77). Lebih rinci, perbedaan ini dapat dilihat pada table
berikut:
Metode
|
Erklären
|
Verstehen
|
Target
Penelitian
|
Mengetahui sisi luar obyek, yaitu
proses-proses obyektif alam
|
Mengetahui sisi dalam obyek, yaitu dunia
mental orang lain
|
Sikap Peneliti
|
Mengambil jarak sepenuhnya dari obyek
|
Mengambil bagian dalam dunia mental orang
lain
|
Perolehan
Pengetahuan
|
Analisis Kausal
|
Memahami Makna.
|
Sumber:
Hardiman (2015: 77)
Dari
table di atas tampak jelas distingsi metode antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial-kemanusiaan. Tapi bagaimana Dilthey menerapkan metode Verstehen ini dalam memahami dunia
mental orang lain? Jawabannya Dilthey meminjam analisis pendahulunya,
Schleiermacher (1768-1834). Schleiermacher memperkenalkan dua cara untuk
memahami dunia mental penulis teks dalam hermeneutika, yakni: (1) Lebenswelt (dunia kehidupan) cara ini
digunakan oleh Dilthey untuk merujuk pada dunia sosial yang kita mukimi bersama
dengan orang lain sehingga ada kesamaan pemahaman mengenai hal-hal tertentu
(konteks bersama). Contohnya ketika memasuki bulan ramadhan setidaknya kita
menghayati nilai-nilai yang sama. Bagi Dilthey, dengan cara itu kita terhubung dengan orang lain; (2) Nacherleben (mengalami kembali) yang dialami kembali adalah
pengalaman batiniah orang lain atau disebut dunia mental orang lain dalam terminologi
Schleiermacher. Tapi berbeda dengan Schleiermacher yang nacherleben-nya bersifat
psikologisme, bagi Dilthey nacherleben tidak bersifat psikologis
melainkan bersifat interpretasi (Hardiman, 2015: 75). Melalui interpretasi
terhadap pengalaman mental orang lain kita dapat memahami orang lain. Inilah
metode Verstehen yang diperkenalkan
oleh Dilthey. Lebih jelasnya perhatikan gambar berikut:
Cara
Mengakses Pengetahuan Orang lain dengan Metode Versetehen
Sumber:
Hardiman (2015: 75)
Walaupun
Dilthey masih terjebak pada upaya mengejar obyektivitas pengetahuan yang
merupakan ciri positivisme, setidaknya ia telah membuka jalan bagi lahirnya pandangan
anti-positivisme yang dikembangkan oleh Max Weber dari metode Verstehen (memahami) Wilhem Dilthey.
Namun penerapan paradigma positivisme dalam memahami ilmu-ilmu sosial baru
benar-benar digugat oleh munculnya kelompok Frankfrut School atau lebih dikenal
dengan Mazhab Frankfrut dan Post-modern. Sekalipun demikian masih ada yang
mempertahankan cara berpikir positivisme ini dalam ilmu sosial oleh kelompok
yang disebut Lingkaran Wina.
Mazhab
Frankfrut memperkenalkan sebuah aliran berpikir kritis yang lebih dikenal
sebagai Teori Kritis. Mereka di antaranya--terutama generasi
pertama Mazhab Frankfrut--mengkritik rasionalitas pencerahan yang menurut mereka terbukti gagal
mewujudkan kesejahteraan umat manusia sebagaimana yang dijanjikannya
(Horkheimer & Adorno). Kemajuan tekhnologi ibarat pedang bermata dua, di
satu sisi ia membantu umat manusia, tapi di sisi lain menindas dan memperbudak
umat manusia. Kemajuan tekhnologi justru menopang status quo dan mengukuhkan
sistem kapitalisme yang menggiring seluruh umat manusia pada satu dimensi,
fetitisme konsumsi (Herbert Marcuse). Di tangan Habermas (generasi kedua Mazhab
Frankfrut) gugatan terhadap positivisme semakin mapan. Habermas mengkiritik
positivisme dengan menggunakan istilah rasionalitas instrumental. Bagi
Habermas, positivisme mengandung rasionalitas instrumental yang bermaksud untuk
menaklukkan dan menguasai obyek kajiannya. Oleh sebab itu menurut Habermas, di balik
setiap ilmu pengetahuan selalu ada kepentingan yang menyertai, setidaknya
kepentingan untuk menguasai dan memperoleh kebenaran yang obyektif. Dengan
demikian obyektivisme digugat oleh Habermas, dan kemudian memperkenalkan konsep
intersubyektifitas sebagai dasar analisis sosialnya menuju masyarakat
komunikatif.