Ilustrasi Kesetaraan Gender |
Beberapa diskusi
mengenai gender pernah saya ikuti ditingkatan aktivis-aktivis LSM lokal. Namun
dalam penafsiran gender selalu saja disalah pahami. Gender selalu diasosiasikan
dengan perempuan atau kalau tidak sebagai kondisi keterbelakangan perempuan
dalam persoalan hak-hak sebagaimana yang diperoleh laki-laki. Padahal konsep
gender tidaklah seperti anggapan-anggapan di atas. Gender tidak sama dengan
perempuan, bukan pula laki-laki, serta bukan pula jenis kelamin laki-laki dan
perempuan, melainkan atribut-atribut sosial yang dilekatkan oleh suatu
kebudayaan pada konstruksi biologis tubuh. Gender adalah sesuatu yang
dikonstruksi sehingga tidak bersifat kodrati, karena itu setiap budaya memiliki
konsep gender yang berbeda-beda. Berbeda dengan hal-hal biologis yang bersifat
kodrati seperti jenis kelamin, menstruasi bagi perempuan, hamil dan melahirkan
anak. Kalau seperti rambut panjang, dandanan, pekerjaan, kecerdasan, dll itu
bukanlah hal yang kodrati dan dapat disubtitusi tanpa bantuan kecanggihan
seperti “subtitusi kelamin” pada tubuh waria. Konsep biologis ini dikategorikan
sebagai konsep seks dalam kajian gender.
Gender sebagai konsep atribut sosial tubuh banyak
diperdebatkan dalam berbagai interaksi sosial dan dalam berbagai kebudayaan.
Berbagai budaya di dunia memposisikan perempuan sebagai sub-ordinat dari
laki-laki. Hal ini seperti ditengarai oleh Mary
Daly (1978) yang melakukan survei global terhadap kekerasan ritual terhadap
perempuan dalam budaya patriarkal seperti adat bakar diri para istri di India,
Ikat kaki di Cina, klitoridektomi di Afrika, pembakaran perempuan yang dituduh
tukang tenung di Eropa, serta ginekologi di Amerika. Daly juga, dalam studinya
membahas istilah-istilah yang misoginistik seperti “nenek peot”, “nenek culas”,
dan “perawan tua” (Rita Felsky dalam P. Beilharz, 2005). Dalam sejarah
feminisme, diskriminasi juga dirasakan oleh perempuan di Amerika dimana
kesempatan kerja, pendidikan dan hak memilih tidak diperbolehkan bagi
perempuan. Pada abad ke-16 di Inggris perempuan mengalami diskriminasi dalam
bentuk penafsiran kitab-kitab injil mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan
(Hodgson dan Wright, 2010). Adalah Jane Anger yang melakukan pembelaan atas
tafsiran mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan. Anger mengatakan:
penciptaan laki-laki dan perempuan pada mulanya, laki-laki dibentuk....dari
barang-barang buangan dan tanah liat yang kotor, sampai pada saat Tuhan melihat
bahwa ciptaan-Nya itu baik adanya. Dengan menghilangkan debu yang menjijikan
pada tubuhnya, dia dimurnikan. Kemudian karena Adam tidak memiliki siapa-siapa,
Tuhan menciptakan seorang perempuan dari daging laki-laki yang lebih suci. Ini
membuktikan bahwa kita sebagai perempuan jauh lebih sempurna daripada
laki-laki.
Ilustrasi Gerakan Feminisme |
Penjelasan
di atas memberi bukti adanya diskriminasi perempuan dalam berbagai kebudayaan
di dunia. Namun apakah hal yang sama merupakan perkara universal yang terjadi
di seluruh belahan dunia? tentu “tidak”. Adalah Rosaldo yang pernah
mempublikasikan tentang sifat universal dikotomi laki-laki dan perempuan di mana
laki-laki sebagai ordinat, perempuan sub-ordinat, laki-laki publik, dan
perempuan domestik. Namun kemudian Rosaldo mengevaluasi teori universalitasnya
itu dan menerbitkan buku yang berjudul Knowledge and Passion: Ilongot
Notions of Self and Society.
Susan Millar dalam penelitiannya pada suku Bugis di Sulawesi Selatan
mengemukakan bahwa hierarki dalam masyarakat Bugis bukan pada persoalan gender
melainkan pada status sosial mana perempuan dan laki-laki berada (Idrus, 2006).
Terdapat bias perspektif dalam memandang posisi laki-laki dan perempuan yakni
bias pemikiran Barat yang mendikotomikan ordinat dan sub-ordinat laki-laki dan
perempuan. Hal ini menyebabkan gagalnya seorang komentator atau peneliti untuk
melihat keunikan budaya lain terutama kebudayaan di luar Eropa. Sudah merupakan
tugas dari kajian antropologi feminis untuk mendekonstruksi berbagai bias
pemikiran yang meniscayakan kerangkan sub-ordinasi perempuan tanpa pengkajian
yang lebih mendalam.
Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya
Nurul Ilmi Idrus (2006) menjelaskan adanya bias pemikiran dalam studi antropologi
feminisme yakni masalah yang terkait
dengan bias laki-laki (androgenic bias), yang terdiri atas tiga
tingkatan, yaitu: 1) bias yang berasal dari para antropolog dimana peneliti
sering beranggapan bahwa laki-laki lebih mudah diajak berbicara dibanding
perempuan sehingga informan lebih banyak diambil dari laki-laki, 2) bias dari
kelompok masyarakat yang diteliti bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki
dan bias inilah yang ditangkap oleh peneliti. 3) bias yang melekat dalam
kebudayaan Barat (eurocentric bias), jika peneliti melihat ada hubungan
asimetris antara perempuan dan laki-laki, maka ini dianggap sebagai
ketidaksetaraan dan hierarkis di masyarakat Barat. Sebagaimana yang dilakukan
Rosaldo yang mendekonstruksi bias-bias universalitas penidasan atas perempuan
dalam kajian feminisme. Dengan demikian kajian antropologi feminis tidak
memandang perempuan sebagai fokus, melainkan konsep gender (tentunya melibatkan
laki-laki dan perempuan) sebagai fokus utama dalam penjelasannya. Dengan kata
lain antropologi feminis bukan sebagai “studi mengenai perempuan”, tapi merupakan
“studi tentang gender”.
0 komentar:
Posting Komentar