|
Daasiri dan Boy Firman pelari muda asal Bajo kecamatan Kulisusu. Foto ini diambil sesaat setelah
pertandingan selesai |
Semua tempat adalah tempat belajar, semua orang dan semua
peristiwa adalah guru bagi kehidupan kita. Begitu kira-kira kalimat bijak yang
layak direnungi. Beberapa orang mungkin saja menganggap satu-satunya tempat
belajar yang baik adalah lembaga pendidikan--baik sekolah maupun perguruan
tinggi; satu-satunya guru yang paling baik adalah orang-orang yang titelnya
berjubel di depan dan belakang namanya atau orang yang sudah menulis lusinan
buku, dan satu-satunya peristiwa yang menginspirasi adalah peristiwa heroik di
medan tempur dan kisah-kisah orang besar yang meniti karir dari bawah. Semua
anggapan itu tak sepenuhnya benar, di semua tempat terhampar luas pelajaran,
pada diri semua orang terkandung pengalaman hidup yang layak diserap, dan pada
semua peristiwa terkandung pelajaran berharga bagi mereka yang mau mengambil
pelajaran.
Seperti kisah pria berikut ini yang sangat inspiratif, bukan
karena besarnya capaian hidupnya tapi karena kebesaran jiwa dan tindakannya.
***
Pria itu bernama lengkap Daasiri atau lebih dikenal dengan
nama panggilan La Daa. Ia bukan sosok orang berpendidikan tinggi, bukan orang besar
dan bukan pula orang sukses atau sejenisnya. Kehidupannya sederhana, ia hanya
dikenal sebagai pemburu tradisional, penangkap kepiting dan belakangan baru
ditahu berbakat sebagai pelari marathon. Sayang usianya sudah tak muda lagi,
hingga karirnya berhenti di tingkat kabupaten provinsi setempat saja.
Ia diketahui sebagai pelari marathon di usia menjelang 40
tahun. Itupun baru mewakili desa pada perlmbaan lari marathon tingkat
kecamatan. Menurut pengakuannya, di awal-awal ia mengikuti pertandingan lari
marathon ia hanya mendapat juara ketiga sebab ia belum tahu tekniknya, belum
berpengalaman. Kedua kalinya ia ikut, ia sudah mendapat juara pertama pelari
marathon tingkat kecamatan. Singkat cerita, sejak itu, tak ada pesaing yang
mampu melawannya setiap kali ada perlombaan di tingkat kecamatan. Walau hanya
di tingkat kecamatan, namanya sudah dikenal sebagai pelari marathon. Oleh sebab
itu, pada beberapa event lari tingkat kabupaten (waktu itu masih Kabupaten
Muna) ia sudah sering diikutkan.
Setelah kabupaten Buton Utara mekar dari kabupaten Muna,
namanya sebagai pelari marathon tingkat kabupaten makin terdengar. Walaupun
umurnya sudah semakin menua, tapi tetap susah dicari tandingannya. Pada usia 52
tahun ia masih sanggup berlari hingga jarak 40 Km tanpa berhenti dan selalu
menjadi juara pertama (mewakili kecamatan Kulisusu Utara) di setiap
pertandingan lari marathon pada Pekan Olahraga Kabupaten (PORKAB) Buton Utara.
Oleh sebab itu, pada tahun 2014--saat kabupaten Buton Utara menjadi tuan rumah
Pekan Olaharaga Provinsi (PORPROV) Sulawesi Tenggara--ia ditunjuk mewakili
kabupaten Buton Utara di kejuaraan lari marathon putra 40 Km. Luar biasa
hasilnya, ia masih mendapat urutan ketiga di antara pelari-pelari yang masih
muda usianya.
“mungkin karena sudah faktor usia, lutut saya sakit hingga tidak
bisa mengalahkan pelari dari kabupaten lain. Kalau soal nafas saya masih kuat”,
ujarnya pada saya.
Pada acara PORKAB tahun 2016 baru-baru ini (tanggal 14-20
Desember 2016), ia masih dipilih sebagai pelari marathon mewakili kecamatan
Kulisusu Utara. Kali ini nomor lari yang dipertandingkan adalah lari marathon
10 Km. Usianya sudah 54 tahun, dan ia masih bersedia menjadi pelari, kebetulan
saya yang datang di rumahnya meminta kesediaannya.
“saya ini sudah tua, tapi biarlah saya turun tes-tes saja
kemampuan lari saya”, ujarnya.
Sehari sebelum pertandingan (jadwal pertandingan 19 Desember
2016) ia masih sempat latihan berlari sejauh 10 Km. Itupun ia lakukan sepulang
menjalani rutinitasnya, berburu babi hutan. Akibatnya, betis dan pahanya
sakit-sakitan akibat jarang latihan. Dengan kondisi seperti itu, ia masih siap
mengikuti pertandingan.
Keesokan hari, pagi-pagi buta ia sudah menunggu saya di depan
rumah. Saya yang masih tidur pulas harus dibangunkan karena kewajiban harus
mengantar turun bertanding. Setelah semua atlet lari terkumpul, kami turun
bersama-sama menuju stadion Bukit Lamoliandu kabupaten Buton Utara. Tiba di
sana, ia segera turun dari motor, seolah tak mau berdiam diri, ia langsung
pemanasan dengan berlari tiga putaran mengelilingi stadion.
Kini pertandingan segera dimulai. Para atlet lari dari enam
kecamatan di Buton Utara segera mengambil tempat (ada 12 orang pelari, setiap
kecamatan diwakili 2 pelari). Melihat barisan itu, ia kini melawan pelari yang
masih sangat muda dan terlihat kuat.. Aba-aba lari pun sudah terdengar dan
mereka mulai berlari. Mereka harus berlari keliling stadion sebanya 25 kali
putaran. Tapi, baru 10 kali putaran, satu persatu pelari berguguran, kecuali
lima orang pelari termasuk Daasiri masih bertahan.
Menjelang putaran ke-20, tinggal dua pelari yang memimpin di
depan dan Daasiri menempati urutan pertama. Di urutan kedua ada seorang pelari
muda asal Bajo kecamatan Kulisusu, Boy Firman. Di sinilah terjadi momen yang mengetuk hati.
Daasiri di urutan pertama malah berhenti menunggu pelari di urutan kedua. Ia
memberi aba-aba dengan tangannya agar pemuda itu segera menyusulnya. Kemudian
mereka berlari beriringan seolah-olah ia menuntun pelari muda itu. Semua
penonton bersorak melihat adegan itu. Pelatih pelari muda itu berteriak,
“ikuti saja orang tua itu, timba ilmunya”.
Sambil berlari Daasiri membalikan muka dan berujar, “saya
sudah menemukan penerus saya”.
Semua penonton tahu, kalau Daasiri mau berambisi menjadi
juara, ia pasti bisa mengalahkan pelari muda itu satu putaran. Tapi situasi
berkata lain, tampaknya Daasiri menemukan seorang murid di ajang lari marathon
kali ini. Mereka kini berlari beriringan, yang senior seolah menuntun yang
junior, hingga mendekati finish pelari muda itu dibiarkan mendahuluinya.
Penonton bersorak melihat kejadian itu. Hasilnya pelari muda itu mendapat juara
pertama dan Daasiri mendapat juara kedua.
Ketika tiba digaris finish, momen mengharukan terjadi. Pelari
muda itu memeluk erat Daasiri, pelari senior yang sudah berumur 54 tahun itu.
Saya sempat kecewa kenapa Daasiri tak merebut satu emas saja untuk kecamatan
Kulisusu Utara. Tapi dalam hati kecil saya berkata, “tak ada yang perlu
disesalkan, yang dilakukan Daasiri hari ini lebih mulia dibandingkan
menyumbangkan satu emas untuk kecamatan Kulisusu Utara”.
Saya menemui Daasiri di pinggir lapangan, “kenapa bisa
seperti itu Pak?” tanyaku.
Daasiri menjawab
dengan air muka senang:
“apalah saya ini sudah tua, biar saya juara karir tetap makin
menurun, lebih baik kita memberi kesempatan bagi yang muda-muda supaya mereka
lebih percaya diri. Tapi memang anak itu (Boy Firman) kuat dan tahan nafasnya, saya sudah
lama mencari-cari pelari muda yang tahan dan kuat sebagai pengganti saya, dan
saat ini saya sudah menemukannya. Yang saya jaga dipertandingan ini kita
(kecamatan Kulisusu Utara) tetap dapat juara, biar hanya juara kedua”.
Saya terdiam mendengar jawabannya itu. Rupanya itu tujuan dia
masih mau ikut lari, mencari bibit pelari muda yang bisa diharapkan. Tak semua
orang bisa mencapai kebijaksanaan seperti itu, hanya orang-orang yang sudah
selesai dengan dirinya sendiri yang sanggup melakukannya. Walaupun Daasiri
kalah, tapi sikapnya itu menunjukkan bahwa dialah sang juara sejati, yang rela
memberikan tongkat etafetnya pada generasi muda.
***
Sikap Daasiri dalam kisah di atas adalah tamparan bagi
generasi tua yang masih memaksakan diri mendominasi yang muda-muda. Juga
tamparan keras bagi senior yang selalu merasa lebih hebat dari juniornya dalam
berbagai bidang sosial. Daasiri telah memberi contoh yang baik tentang
kaderisasi, bagaimana yang senior mendidik juniornya, dan bagaimana masa depan
itu dipersiapkan melampaui kepentingan kita saat ini. Menjadi menang dalam pertarungan
adalah tabiat narsistik bagi seorang laki-laki dan kalah adalah sesuatu yang
merongrong kewibawaan seorang laki-laki, tapi Daasiri menunjukan pada kita
bahwa masa depan lebih penting daripada ego nasrsitik itu.