Ilustrasi Sawerigadding |
Berikut
ini akan diceritakan kedatangan Sawerigading di Kulisusu menurut tradisi lisan orang Kulisusu. Cerita ini tidak
secara langsung berkaitan dengan asal-usul genealogis orang Kulisusu, bukan pula ceritra sejarah yang benar-benar pernah terjadi di masa lampau. Cerita ini merupakan cerita rakyat yang dapat ditafsirkan sebagai upaya orang Kulisusu membangun diskursus kekuasaan dalam ruang kultural. Sawerigading sang tokoh
dalam epos I Lagaligo dalam tradisi lisan orang Kulisusu dipahami sebagai
pendatang yang datang ke Kulisusu setelah wilayah Kulisusu sudah dihuni oleh
manusia. Menurut cerita orang Kulisusu, Sawerigading ini datang dengan dikawal
sekelompok orang Bajo yang kemudian menetap dan mendirikan perkampungan Bajo di
Kulisusu. Keberadaan perkampungan Bajo ini bagi orang Kulisusu menjadi fakta
material yang dijadikan sebagai pendukung kebenaran cerita kedatangan
Sawerigading ini.
Jaadi
menceritakan bahwa Sawerigading adalah seorang pria yang gagah dan berani
berkulit putih kuning serupa warna batang bulu (bambu) di bagian atas buku-buku
(gadhi-gadhino surabhi). Karena kulitnya yang menyerupai gadhi-gadhino
surabhi tersebut, maka pria itu diberi nama Sawerigading. Beliau adalah
putera Raja Bugis yang merantau sampai di negeri Cina dengan tujuan mencari
wanita cantik, yang dapat sepadang dengan keindahannya. Sekembali dari negeri
Cina Sawirigading bertanya pada orang tuanya: “adakah negeri yang bernama
kulisusu ayah?” Ayahnya menjawab: “ada; di Utara Pulau Buton bagian Timur”.
“Saya akan ke Kulisusu ayah”, begitu kata Sawirigading. Ayahnya berkata: “kalau
anak mau ke Kulisusu, tebang saja mangga di halaman rumah lalu jadikan sampan
untuk tumpanganmu.” Sawerigading kemudian menebang pohon mangga itu dan
dijadikan sampan.
Selesai
membuat sampan, Sawirigading memanggil 40 orang Suku Bajo sebagai tenaga
pendayung, lalu mereka berlayar menuju Kulisusu. Dalam pelayaran dari teluk
Bone menuju ke Kulisusu, banyak tenaga pendayung yang kehabisan tenaga.
Sehingga, setiap tenaga pendayung sudah tidak mampu akan diturunkan ke daratan
terdekat. Itulah sebabnya sehingga banyak perkampungan Suku Bajo dari teluk
Bone ke Kulisusu (utamanya Tiworo Kepulauan).
Tiba
di pasi Boneo, perahu Sawerigading berlabuh. Sawirigading dan para pendayung
tidak langsung naik ke darat demikian juga penduduk di darat tidak turun
menjemput. Semenjak perahu Sawirigading berlabuh di pasi Boneo penduduk di
darat merasakan suatu musibah, yaitu bila penduduk turun ke laut dengan jumlah
ganjil, maka salah seorang akan menghilang, tak diketahui kemana perginya. Bila
penduduk di darat turun ke laut dengan jumlah genap maka semua akan selamat.
Dengan ketentuan waktu terjadinya peristiwa sebagai berikut:
a.
Genap atau ganjil manusia yang turun ke laut dari tanjung Goram
sampai Wacu Ea dari terbit sampai terbenam matahari (siang hari)
b.
Genap atau ganjil manusia yang turun ke laut dari Tanjung Goram
sampai Wacu Ea, dari terbenam samapi terbit matahari (malam hari).
Karena
kejadian tersebut, seorang perempuan pribumi bernama Wa Tompa Mata meramalkan
bahwa pemilik perahu yang berlabuh adalah seorang manusia yang sedang mencari
pasangan hidup. Wa Tompa Mata ingin mengetahui siapa nama juragan perahu itu.
Wa Tompa Mata kemudian turun ke perahu Sawerigading dengan menyamar sebagai
laki-laki. Di perahu tersebut, Wa Tompa Mata berbicara dengan Sawirigading
sebagai seorang pria. Tapi kemudian, timbul kecurigaan Sawirigading dan
berkata: “engkau ini bukan seorang pria, melainkan seorang wanita”. Wa Tompa
Mata menjawab: “masa seorang wanita akan turun menjemput tamu dari negeri lain
di pelabuhan, saya adalah seorang pria”, kata Wa Tompa Mata.
Semua
alasan Wa Tompa Mata tidak dipercaya oleh Sawirigading. Ia kemudian memegang
kedua tangan Wa Tompa Mata sampai Wa Tompa Mata mengakui dirinya seorang
perempuan, tetapi ia telah bersuami. Saat itu juga Wa Tompa Mata mengatakan ia
mempunyai seorang adik perempuan yang belum menikah, bernama Konuku Bulawa.
Menurut keterangan Wa Tompa Mata, adiknya lebih cantik dari darinya. Wa Tompa
Mata kemudian mengajak Sawerigading untuk berkunjung ke rumahnya besok pagi.
Dia akan mengajak adiknya tersebut untuk duduk di beranda rumah saat
Sawerigading datang. Mendengar perkataan Wa Tompa Mata itu, Sawerigading
melepaskan tangan Wa Tompa Mata, lalu Wa Tompa Mata pulang.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Wa Tompa Mata datang berkunjung ke rumah Konuku
Bulawa. Ia mengajak adiknya duduk sambil dicarikan kutunya (meungkei) di
beranda depan rumah. Mereka duduk dengan cara membelakangi tangga
rumah.Tiba-tiba ada pria yang memeluk Konuku Bulawa dari belakang, pria itu
adalah Sawerigading. Konuku Bulawa berkata: “jangan peluk saya”. Suara bapak
saya lebih keras dari halilintar membelah bumi”. Sawerigading menjawab: “tidak
apa, semua kemauannya saya akui”.
Pada
waktu orang tua Wa Konuku Bulawa tiba, ia tak dapat berbuat apa-apa karena
anaknya telah malu (dipeluk). Satu-satunya jalan mereka harus dinikahkan. Ayah
Konuku Bulawa bernama Rakyampande berkata: “engkau boleh saya nikahkan, tetapi
tidak dibenarkan untuk menjadi sangia di daratan Tanjung Goram ini”.
Sawerigading setuju lalu ia dinikahkan dengan Konuku Bulawa.
Selesai
dinikahkan Sawerigading bersama istrinya (Konuku Bulawa) diantar ke daerah
seberang untuk menjadi sangia di sana
(Lemo-Lemo). Saat menjadi sangia di Lemo-Lemo, Sawerigading merampas Wa Ode
Kotawo istri dari Sila Pata Alamu di Ngapa Ea. Karena kejadian itu, pada sebuah
tanjung di bagian barat kampung Langere (Desa Koepisino), Sawerigading dibunuh
oleh Sila Pata Alamu. Sampai sekarang tanjung tempat Sawerigading dibunuh
diberi nama Kaimate (saat ia meninggal). Sedangkan para pendayung yang
ikut Sawerigading sampai sekarang belum pulang ke negeri asalnya, Bugis. Mereka
masih menunggu Sawerigading untuk pulang bersama-sama. Mereka inilah yang saat
ini dikenal sebagai Orang Bajo yang ada di Kulisusu.
Dari
cerita di atas, tampak jelas bagaimana tokoh Sawerigading--seorang tokoh dalam
epos I Lagaligo pada kebudayaan Bugis--hadir dalam kebudayaan (tradisi tutur)
orang Kulisusu. Hal ini dapat dilihat sebagai upaya orang Kulisusu dalam
menarik hubungan kultural dengan kebudayaan dominan, kebudayaan Bugis melalui
tokoh epos Sawerigading. Gibson (2009) menyebut keterkaitan semacam ini sebagai
pertukaran pengetahuan simbolik yang berlangsung ditingkat regional, sehingga
beberapa mitos dan ritual-ritual saling mempengaruhi satu sama lain. Tapi, jika
dianalisis lebih jauh, pertukaran pengatahuan simbolik seperti ini mengandung
jejak-jejak relasi kekuasaan. Dalam kisah kedatangan Sawerigading di Kulisusu
di atas, terlihat jelas Sawerigading dicitrakan sebagai manusia yang memiliki
kesaktian (bila
penduduk turun ke laut pada siang atau malam hari dengan jumlah ganjil, maka
salah seorang penduduk akan menghilang, tak diketahui kemana perginya).
Penggambaran kesaktian Sawerigading dan penggambaran dirinya sebagai putra raja Bugis
dalam cerita di atas pada sasarnya merepresentasikan budaya tinggi atau dominan
yang berasal dari Bugis. Hal ini juga terlihat jelas dalam saat Sawerigading
membongkar penyamaran Wa Tompa Mata yang datang menemuinya dan pada saat
Sawerigading langsung memeluk Konuku Bulawa (kuku emas) tanpa peduli dengan
kesaktian orang tua Konuku Bulawa, Rakyampande. Selain itu, ketika Sawerigading
diksahkan merebut Wa Ode Kotawo istri Sila Pata Alamu di Ngapa Ea. Di sini
sisi-sisi maskulinitas begitu ditonjolkan dalam cerita yang menggambarkan
dominannya kebudayaan Bugis.
Tapi,
di tangan penutur (orang Kulisusu) kekuasaan Sawerigading ini segera di atasi
atau pengetahuan simbolik dapat direkayasa. Hal ini tampak dalam cerita di atas
ketika Sawerigading telah menikahi Konuku Bulawa--putri Rakyampande dan adik Wa
Tompa Mata--tidak diberi kewenangan untuk menjadi sangia di tempat itu dan Sawerigading menerima begitu saja ketentuan
itu tanpa protes. Artinya, kekuasaan Sawerigading dapat diatasi atau telah
dapat dinegosiasikan oleh Rakyampande. Namun, dapat di atasi saja tidaklah
cukup. Kekuasaan Sawerigading benar-benar dilumpuhkan ketika Sila Pata Alamu
dapat membunuhnya di sebuah tanjung yang disebut Keimate. Hal ini dengan jelas menggambarkan bagaimana orang
Kulisusu membangun precendence dengan
cara mengaitkan dirinya pada tokoh Sawerigading putra raja Bugis yang sakti
tetapi kesaktian dan kekuasaannya dapat diatasi dan dilenyapkan oleh orang
Kulisusu. Artinya, simbol kebudayaan Bugis sebagai kebudayaan dominan dapat
ditaklukan oleh orang Kulisusu. Sementara itu, keberadaan orang Bajo di
Kulisusu dan bukit Keimate merupakan
komponen material sebagai pendukung utama (constituent)
kebenaran cerita itu. Gibson (2012) menyebut hal semacam ini sebagai
“manipulasi ideologis” atau manipulasi “kompleks simbolik” yang diterima dari
kebudayaan lain. Tapi, dalam konteks cerita kedatangan Sawerigading di atas,
manipulasi ideologis dilakukan bukan dalam upaya memaksimalkan kekuasaan pada
ranah politik seperti yang ditekankan oleh Gibson dalam penelitiannya di Ara
Sulawesi Selatan, melainkan sebagai upaya orang Kulisusu memaksimalkan kuasa
dan posisinya dalam ruang kultural.
Terima Kasih, setelah saya membaca Kisah ini memang sangat bagus, untuk informasi aneka Tenda bisa klik di: Tenda Stand Murah
BalasHapus