Tidak hanya kisah karamnya kapal Bark Noteboom milik Belandamdi
Teluk Kulisusu. Di sini ada pula satu tempat yang disebut “Ngagano Sara”. Menurut cerita tempat ini merupakan tempat menghukum
mati--dengan cara salah satu bagian tubuh diikat dengan batu lalu
ditenggelamkan--orang-orang yang melanggar hukum adat. Hal ini merupakan
mekanisme hukuman yang berlaku dalam pemerintahan tradisional di Kulisusu, jauh
sebelum mengenal sistem demokrasi.
Jika mengacu pada gagasan Émile Durkheim, model penghukuman
seperti di atas dapat dikatakan sebagai bentuk penghukuman dalam masyarakat
yang masih diikat oleh sebentuk solidaritas mekanik, yaitu bentuk solidaritas yang
terikat oleh kesamaan (suku, adat, agama, dsb.). Pada msayarakat seperti ini
kejahatan dipersepsi dapat merusak solidaritas, sehingga pelaku kejahatan perlu
dihilangkan. Berbeda dengan masyarakat modern yang menganut solidaritas organik
(dicirikan oleh perbedaan, spesialisasi namun terikat oleh kepentingan
bersama), kejahatan dipersepsi sebagai sesuatu yang dapat direhabilitasi. Namun
menurut Tony Rudyansjah, sekalipun di satu sisi Durkheim membagi secara tajam
dua bentuk solidaritas yang terdapat dalam masyarakat, di sisi lain Durkheim
mengakui bahwa tidak ada satu masyarakat yang benar-benar terikat oleh
solidaritas mekanik atau organik. Kedua bentuk solidaritas itu dapat kita
jumpai sekaligus dalam setiap masyarakat.
Kembali ke pembahasan. Almarhum La Dawu mengisahkan terkait Ngagano Sara sebagai tempat penghukuman
dengan sangat jelas. Berikut kisahnya.
Pulau Wita ytonga (tanah di
tengah) dengan daratan Langere diceraikan oleh selat Pombala’a. Muara selat
Pombala’a bagian Timur yang berhadapan dengan pasi (karang) Bhoneo (laut yang berada antara mauara Selat
Pombala’a dengan pasi (karang)
Bhoneo) dinamai “Ngangano Syarat”, di
situlah pertemuan arus dari segala jurusan.
Seseorang yang melakukan pelanggaran dalam masyarakat diselesaikan
melalui keputusan keluarga. Bila keluarga tidak dapat menyelesaiakan maka
diserahkan kepada pemuka masyarakat dalam lingkungan bersangkutan. Selanjutnya
para orang tua dalam lingkungan bersangkutan tak dapat menyelesaikan, maka
pelanggaran diserahkan kepada Syarat.
Dengan melalui sidang Syarat ternyata
oknum bersangkutan dijatuhi hukuman mati, maka oknum bersangkutan diikat tangan
dan kakinya lalu digantungkan batu besar kemudian ditenggelamkan dalam laut
yang berada di antara pasi (karang)
Bhoneo dengan muara Selat Pombala’a bagian Timur.
Itulah sebabnya sehingga laut itu diberikan nama “Ngangano Syara”, karena laut tempat orang menjalankan hukuman mati
menurut keputusan Syarat (dikutip
dari tulisan tangan La Dawu).
Istilah “Ngangano Sara” (mulutnya
pemerintah/undang-undang/adat) dalam cerita di atas dapat dimaknai sebagai
sebuah teks atau sebuah metafor yang hadir untuk mencitrakan eksistensi
kekuasaan pemerintah (syarat) Barata
Kulisusu yang ditopang oleh aturan-aturan adat (sara). Dalam bahasa Kulisusu istilah “ngangano” (mulutnya) berasal dari kata “nganga” (mulut). Lazimnya dalam kebiasaan bertutur Orang Kulisusu,
apabila kata “nganga” dilekatkan pada
subjek tertentu, seperti buaya (buaea)
menjadi “ngangano-buaea” (mulutnya
buaya), maka kata itu dapat mengandung konotasi yang menggambarkan sisi
menyeramkan dari buaya yang bisa menggigit dan memangsa manusia. Dengan
demikian, istilah “Ngangano Sara”
mengandung konotasi yang menakutkan di mana pemerintah/adat digambarkan sebagai
sebuah mahluk hidup yang dapat menelan nyawa manusia. Ditambah lagi simbol ini
dilekatkan pada suatu tempat di laut yang eksitrim tempat bertemunya arus dari
segal arah (laut yang berada di antara pasi
[karang] Bhoneo dengan muara Selat Pombala’a) seperti dikisahkan La Dawu.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metafor “Ngagano Sara” (mulutnya
pemerintah/udang-undang/adat), selain secara semantik merujuk pada mulut yang
berkonotasi “menakutkan” juga merujuk pada tempat di laut yang arusnya
terbilang ekstrim. Semua itu merupakan rangkaian makna yang ingin dicitrakan
melalui metafor “Ngangano Sara”,
yakni kekuasaan pemerintah dan adat di Barata Kulisusu yang dapat mengambil
kehidupan orang-orang yang melanggar adat tersebut. Selain sebagai metafor yang
menggambarkan kekuasaan yang dapat menelan nyawa, metafor “Ngangano Sara” juga mencitrakan kekuasaan teritorial di mana
wilayah laut dapat dijadikan alat pemerintah untuk mewujudkan kekuasaannya.
Dalam hal ini laut diumpamakan sebagai bagian dari tubuh pemerintah, sebagai nganga (mulut).
Penggambaran
kekuasaan seperti ini mengingatkan kita pada Leviathan ala Hobbes--sebuah mahluk raksasa ciptaan Plato yang
dibentuk dari tumpukan tubuh manusia--yang merupakan metafor kekuasaan negara.
Juga mengingatkan pada, Buto mahluk
raksasa dalam pewayangan Jawa yang
digunakan oleh Benedict Anderson untuk menggambarkan kekuasaan Orde Baru.
Jalan-jalan ke Teluk
Kulisusu menyadarkan saya akan kayanya dinamika sejarah Kulisusu yang jarang
ditulis oleh para sejarawan. Banyak sejarawan lebih asyik menulis kisah-kisah
politik, perang, orang besar (para bangsawan dan raja-raja/penguasa), daerah
maju, daerah yang kaya sumber naskah, tapi melupakan penulisan sejarah
orang-orang kecil, kisah kecil, daerah kecil, sejarah lisan, yang justru lebih
dekat dengan dinamika kehidupan suatu masyarakat. Ketika pikiran saya masih
melayang-layang ke masa silam, saya dikagetkan dengan pemandangan besi berkarat
bekas perusahan Conoco yang pernah membuka tambang minyak di Wita Memea. Konon
penambangan minyak itu tidak berlanjut sebab minyak bumi di situ masih mentah.
Baguslah, sebab kalau penambangan minyak itu berlangsung, saya tak bisa
membayangkan nasib hutan mangrove dan biota laut yang ada di sana. BERSAMBUNG.