|
Prof. Dr. H. Basri Hasanuddin, MA |
Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 30
Agustus 2012, bertempat di Baruga Andi Pangerang Petarani Universitas
Hasanuddin, berlangsung penyambutan mahasiswa baru program magister (S2) dan
Doktoral (S3) angkatan 2012 oleh direktur Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
Acara tersebut diisi dengan kuliah umum yang disampaikan oleh Prof. Dr. H.
Basri Hasanuddin, MA. Kuliah umum tersebut mengetengahkan tema yang sangat
menarik yakni diskursus mengenai Membangun
Human Capital Menuju Knowledge-Based Society (KBS). Sebagai mahasiswa baru
di program magister, tentunya tema ini menjadi sangat relevan untuk dipahami.
Sebab sudah seyogyanya cita seorang magister itu menjadi masyarakat berbasis
pengetahuan atau lebih tepatnya sebagai ilmuwan atau profesi apa saja yang
bertindak atas dasar ilmu pengetahuan.
Prof.
Basri Hasanuddin dalam kuliahnya mengutip Michael E. Potter yang membagi lima
kategori basic resource (sumber dasar) yang memengaruhi competitive advantage of nations (daya saing suatu bangsa) yakni: 1) Mineral
Resource, yakni ketersediaan sumber daya alam yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan manusia, 2) Technology
Resource, yakni penguasaan dan pemanfaatan tekhnologi, 3) Human Resource, yakni terpenuhinya
sumber daya manusia, 4) Knowledge
Resource, yakni sumber pengetahuan, 5)
Firma Infrastructure, yakni ketersediaan infrastruktur
Kelima faktor ini hanya
merupakan sumber dasar yang dapat mendorong meningkatnya daya saing suatu
bangsa. Masih banyak faktor lain yang merupakan faktor inti yang berperan
mengelola based resource yang
disebutkan di atas. Prof. Basri menyebut
negara-negara Eropa telah mampu menerapkan sistem masyarakat berbasis
pengetahuan sehingga negara-negara Eropa lebih maju dari pada Indonesia yang
sementara merangkak menuju konowledge-Based
Society (KBS). Terdapat beberapa ciri KBS yang disebutkan oleh Prof. Basri
yakni: 1) masyarakat telah memiliki a higher standard education (standar
pendidikan tinggi) dan tenaga kerja yang merupakan Knowledge Workers (k-workes). 2) sektor industri telah
menghasilkan produk dengan Integrated Artificial Intelegence. Artinya bahwa suatu produk itu menggambarkan ketinggian ilmu pengetahuan suatu
masyarakat. Di awal kuliahnya Prof. Basri mengutip pertanyaan B.J Habibie
ketika berceramah di Baruga A.P. Petarani: “mengapa harga mobil Mecedes lebih
mahal dari pada harga mobil fortuner misalnya?” Maka jawabannya adalah karena merek Mercedes
menggambarkan ketinggian karya ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dibanding
mobil Fortuner misalnya.
Hal ini juga
mengingatkan saya pada teroi rasial dalam bukunya Murthada Muthahhari Masyarakat dan Sejarah; Kritik Islam atas
Marxisme dan Teori Lainnya. Teori itu menjelaskan adanya ras-ras tertentu
yang menyebabkan kemajuan sejarah. Ras-ras itu adalah ras yang mampu menciptakan
budaya dan peradaban, sementara ras lainnya tidak memiliki bakat-bakat seperti
itu. Tentunya ras yang peduli terhadap seni, filsafat dan budaya akan terlibat
dalam kerja-kerja canggih yang membutuhkan ketinggian pikir dan rasa, sementara
ras yang tidak peduli dengan ilmu pengetahuan akan terlibat pada kerja-kerja
kasar yang tidak membutuhkan ketinggian pikir dan rasa (Muthahari, 1995:208). Banyak
ciri yang di bahas oleh Prof. Basri, namun dalam tulisan ini, saya hanya
menyebutkan dua hal sebagai bahan analisis.
Materi ini memang sangat
menarik, kemudian penceramahnya pun memiliki kredibilitas yang tinggi. Namun
kemudian di sela-sela ceramah yang begitu bertuah, terbayang dalam benak
pikiranku mengenai ciri dan cita masyarakat Buton Utara sebagai masyarakat yang
tentunya tidak ingin dikategorikan sebagai masyarakat buruh (proletar) yang hanya bisa terlibat pada
kerja-kerja kasar dan melibatkan kekuatan otot. Apakah masyarakat Buton Utara
telah mencirikan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society) atau minimal sedang bercita-cita menuju
kultur pengetahuan seperti dikisahkan diatas?
Untuk menjawab
pertanyaan diatas, tersedia tiga jawaban yakni: “Ya”, “Tidak”, dan “Mungkin”.
Namun bagaimanapun alasannya, kita dapat memberikan pendapat untuk menguji
kebenaran jawaban-jawaban diatas. Jawaban “Ya” adalah jawaban yang sangat
optimis, percaya diri dan luhur untuk membela martabat daerah sendiri. Namun
seberapa besarnya nilai-nilai heroik atau seberapa indahnya pilihan kata yang
digunakan untuk jawaban ini tentunya dalam kenyataannya tidak sepenuhnya benar.
Untuk menyatakan bahwa masyarakat Buton Utara telah berbasis pengetahuan adalah
sesuatu yang masih jauh dari kenyataan. Dalam masyarakat Buton Utara, dimana
pengetahuan ilmiah belum begitu mewahana, sehingga basic masyarakatnya masih
bersumber dari beragam bentuk. Yang dapat kita saksikan adalah citra fashion
(modeling pakaian), kosmetik, Sophie Martin, yang merupakan efek citra
globalisasi menjadi basis yang dominan terutama dikalangan “kelas mengengah
yang bekerja dikantoran” dan ibu-ibu rumah tangga. Ciri masyarakat yang
demikian adalah bentuk masyarakat yang tidak belajar dari berbagai fenomena kemajuan
peradaban yang merupakan ciri masyarakat yang tidak berbasis pada pengetahuan. Kondisi
ini membuat kita pesismis untuk meraih kemajuan kecuali dikemudian hari terjadi
revolusi kesadaran masyarakat Buton Utara.
Jawaban kedua adalah
“Tidak”. Jawaban ini adalah jawaban yang paling pesimistik. Namun seburuk apa
pun kedengarannya sepertinya jawaban inilah yang paling dekat dengan kenyataan.
Jawaban selanjutnya adalah “Mungkin”. Jawaban ini pula adalah jawaban yang
paling cair untuk tidak menutup kemungkinan datangnya suatu zaman dimana
masyarakat Buton Utara telah mewarisi kultur berbasis pengetahuan. Dimana minat
baca telah meningkat, telah digairahkan oleh penemuan dan diskusi-diskusi
ilmiah, laboratorium telah berdiri dan tidak hanya menjadi tempat praktikum
namun menjadi pusat penemuan. Namun apakah bahasa ini terlalu “romantis” untuk
diseriusi pencapaiannya? Saya pikir akan muncul pemikiran demikian, namun
munculnya pikiran ini juga adalah bagian dari ciri individu yang tidak bercita
menuju masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge-Basic
Society).
Kemajuan akan sangat
mungkin jika seluruh aktivitas masyarakat didasarkan pada pola ilmu pengetahuan.
Misalnya seperti petani yang didik untuk menerapakan tekhnologi pertanian yang
dapat menghasilkan berbagai produk pertanian sebagai komoditi yang dapat
menjadi ciri khas Buton Utara, Nelayan berbasis Teknologi, pemadam kebakaran
yang dilatih untuk disiplin dan dapat menggunakan teknologi, sehingga dapat
bekerja secara lebih baik, dll. Namun, kantor camat di Kulisusu yang berlokasi
dekat markas pemadam kebakaran Buton Utara tak dapat diselamatkan dari amarah
si jago merah. Hal ini juga menunjukan rendahnya kinerja pemadam kebakaran di
Buton Utara. Dalam hal politik di Buton Utara, jika didevinisikan sebagai ruang
publik dapat dikatakan belum sepenuhnya baik, sebab dalam pelaksanaan
pemerintahan, masih berlaku simbiosis mutualisme antara tim sukses pemenangan
dengan pemerintahan terpilih. Tentunya pola ini mencederai “tubuh ruang publik”
yang disebut politik, dan justru yang berlaku adalah pola-pola oikos (rumah tangga). Para demagog yang
ditakutkan Aristoteles dalam sistem demokrasi akan tumbuh subur di lingkungan
seperti ini. Para “donatur hitam” saat kampanye bermunculan untuk meminta
imbalan dan memengaruhi kebijakan proyek pemerintah. Inilah kaum demagog yang
sesungguhnya yakni para penghasut licik untuk memperoleh kepentingannya. Dalam
kondisi seperti ini, korupsi menjadi pola yang wajar artinya tak lagi dilihat
sebagai kejahatan melainkan kewajaran dan dibungkus dengan semiotika halus
seperti istilah bagi hasil proyek, uang pelicin, logistik tim sukses, dll.
padahal itu adalah bentuk penyogokan, pembengkakan anggaran dan lebih sering
adalah minimalisir pengeluaran dalam pelaksanaan proyek untuk mendapatkan
keuntungan besar, sehingga hasil proyek tidak maksimal. Pola-pola seperti ini
adalah bentuk kejahatan korupsi, namun karena istilahnya telah diperhalus dan
tumbuh dalam kultur yang latah, maka tindakan itu menjadi hal yang wajar dan
tanpa dosa. Tak ada kesejahteraan rakyat jika pola-pola yang digunakan adalah
demikian adanya.
Saya kemudian sepakat
dengan kata Fritjof Capra, bahwa manusia sekarang sangat miskin persepsi karena
mereka malas berefleksi. Yang berkembang adalah pemikiran kalkukatif—meminjam istilah Heidegger dalam buku Discourse on Thinking—yakni alam pikiran
yang hanya berpikir semata-mata tentang statistik, keuntung dan kerugian. Di alam
pikiran para demagog yang ada hanyalah pikiran bagaimana dapat memperoleh
keuntungan besar dan bagaimana mencitrakan diri melalui bantuan-bantuan untuk
masyarakat kecil misalnya, namun tak dilandasi oleh persepsi untuk membangun
kesejahteraan rakyat lebih lanjut. Ide-ide kemajuan tidak mendapat tempat
kecuali ide yang mendatangkan keuntungan finansial, inilah bentuk masyarakat
berbasis korupsi. Untuk dapat keluar dari “lingkaran setan” ini, diperlukan
strategi revolusioner dari seorang pemimpin melalui penegakan hukum yang
berani. Dalam arti bahwa setiap pejabat yang terindikasi korupsi dan
tindakan-tindakan amoral agar segera diturunkan dari jabatannya. Dengan
demikian wibawah dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan meningkat.
Berikutnya adalah
penerapan masyarakat berbasis pengetahuan untuk memberdayakan potensi dan
kreativitas masyarakat dan tentunya dapat mengatasi kesenjangan pembangunan.
Dan yang lebih penting dengan menerapkan basis pengetahuan ini adalah dapat
merubah persepsi masyarakat yang gemar berbicara politik beralih pada
perbincangan profesi, dari yang berfikir untung rugi dari APBD dan uangnya para
calon dalam pemilu menuju logika untung rugi dalam hal produksi. Nalar produksi
ini sebenarnya telah lama hidup dalam
masyarakat Buton Utara, namun karena rendahnya pendidikan, kemunculan otonomi
daerah dan pelaksanaan demokrasi yang tidak sehat mengacaukan nalar produksi
ini sebagai karya utama untuk pemenuhan ekonomi dan kesejahteraan hidup. Tentunya
dibutuhkan waktu yang panjang dan butuh keterlibatan berbagai ilmuwan dengan
disiplin keilmuan yang berbeda-beda untuk dapat melakukan strategi ini.
Berkaca pada kemajuan di
Pakistan, India, dan Iran semuanya dimulai dari pemanfaatan ilmu pengetahun
melalui riset para ilmuwan dinegaranya. Namun agak berlebihan jika kita
membandingkan Buton Utara dengan negera-negara tersebut, yang paling penting
adalah kita dapat belajar dari pola yang mereka gunakan yakni pemanfaatan
ilmuwan dan hasil-hasil risetnya. Sebuah kisah yang sangat mencerahkan mengenai
Negara Pakistan dapat kita lihat dalam surat Ketua LIPI kepada Prof. Amien Rais
dalam buku Selamatkan Indonesia;
Agenda-agenda Mendesak Bangsa (2008:249-254), ceritanya begini: pada tahun
2000, Presiden Pervez Musharaf mengundang ilmuwan Kimia terkemuka Pakistan,
Prof. Dr. Atthaur Rahman, beliau diminta kesediaannya untuk menjadi Menteri
Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Pakistan. Apa jawab Atthaur Rahman? Dia
menjawab: Are you serious on science Mr.
President? Musharaf menjawab: Of
course I’m serious! Atthaur Rahman kemudian mengatakan: “If you serious on science, then follow my
policy! Mushaf kaget mendengar kata Atthaur Rahman itu dan minta penjelasan
apa policy Atthaur Rahman sebagai
menteri nantinya. Atthaur Rahman mengatakan: “First, goverment must increase higher education budget this year by
100%, thhen followed by 50% every years to come 5 years. Secondly, Goverment
must increase research expenditure by 6000% and lastly, goverment must pay
pakistan outstanding scientists four time higher than cabinet ministers!. If
you agree with my policy, I’m ready to be your minister!”. Kemudian
Presiden Musharaf menyetujui persyaratan di atas dan mengangkat Prof. Dr.
Atthaur Rahman sebagai Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan di
Pakistan. Dalam waktu lima tahun, terbukti bahwa ucapan Atthaur Rahman bukan
hanya isapan jempol. Ilmu pengetahuan dan tekhnologi di Pakistan telah
mendekati kemajuan India. Contoh ini sepertinya terlalu ideal dan tidak setara
dengan Buton Utara, namun contoh yang paling setara adalah Kabupaten Bantaeng
di propinsi Sulawesi Selatan.
Kabupaten Bantaeng
dengan prinsip pembangunan berbasis tekhnologi dapat mempromosikan hasil
pertanian yang unggul seperti buah-buahan, rumah sakit canggih, pariwisata yang
indah, alat pemadam kebakaran yang dipesan dan dilatih oleh orang Jepang,
bendungan air yang berbasis kajian lingkungan dan teknologi,dll. Sehingga dalam
setiap produk dan pembangunan masyarakatnya memperlihatkan keterlibatan sains
dan teknologi. Hal ini menjadi mungkin, sebab Kabupaten Bantaeng berkolerasi
dengan para ilmuwan di Universitas Hasanuddin. Artinya bahwa Bupati Bantaeng
memiliki dan mampu memberdayakan komunitas ilmuwan yang ada di Universitas
Hasanuddin sebagai mitra dalam mewujudkan kemajuan di Bantaeng. Yang menarik
adalah bahwa pola ini “hampir mirip” dengan policy
yang ada di India dan di Pakistan seperti cerita Prof. Dr. Atthaur Rahman.
Hal lain yang tak dapat
diabaikan dalam pembangunan berbasis sains dan teknologi adalah pembangunan
berbasis lingkungan. Adalah Fritjof Capra yang selalu mengingatkan kita bahwa
kehidupan di alam ini tidak berdiri sendiri, bahwa logika alam ada untuk
manusia sebagai penguasa peradaban tidaklah tepat. Kehidupan ini adalah bagian
dari planet dan alam semesta ini. Manusia tak boleh jadi penguasa atas alam
melainkan harus bersahabat, sebab antara alam dan manusia adalah saling
memberikan kehidupan. Kerusakan salah satunya akan menyebabkan rusaknya
keseimbangan kehidupan. Pemahaman ini penting agar hutan kita tidak dirusak oleh
meningkatnya industri, udara kita tak dirusak oleh pabrik-pabrik, juga air
tidak tercemar oleh limbah industri, agar gunung tidak dirusak oleh para
pengelolah tambang. Semuanya harus dikelolah dengan tetap memerhatikan dan
menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Dengan demikian, selain ilmuwan sains
dan tekhnologi, perlu juga dilibatkan ilmuwan lingkungan, sosial dan budaya
yang dapat merumuskan dengan baik pola perawatan lingkungan hidup di Buton
Utara. Artinya, jika sumber daya manusia di Buton Utara belum memadai, dapat
dilibatkan ilmuwan dari berbagai tempat atau negara untuk membelajarkan kita
tekhnik-tekhnik dan prosedur-prosedur yang ilmiah. Kita harus belajar, sebab
kita tak dapat mempekerjakan orang asing selamanya, melainkan mereka datang
sebagai guru bagi kita. Cara ini juga dapat mengganti metode studi banding yang
tidak jelas arahnya. Bukan kita yang pergi belajar, melainkan kita yang
mengundang mereka sebagai “guru” di daerah kita. Namun kunci dari segalanya
adalah kepedulian pemerintah kita terhadap pembangunan masyarakat dan daerah ini
menuju kemajuan yang sebenar-benarnya kemajuan. Sebab apa pun konsep kita hanya
akan menjadi dongen atau puisi, jika pemerintah memang tak perduli dan lebih
mementingkan kemewahan hidup individu dan terpenuhinya finansial kelompoknya
(pemerintahan berbasis korupsi).[]