Setiap daerah yang memiliki
perguruan tinggi dapat dikatakan memiliki pabrik manusia berkualitas yang dapat
mendorong gerak perubahan sosial dalam masyarakat. Namun anehnya, universitas (sebagai
pabrik kemanusiaan) yang diharapakn justru menciptakan banyak pengangguran
terdidik. Di sinilah problematika kita yakni gagalnya seluruh elemen masyarakat
untuk mentransfer nilai-nilai pendidikan ke dalam wilayah praksis. Kenapa bisa
terjadi demikian? Apakah ada yang salah dalam pendidikan kita? Mungkin disini
harus segera ditegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan pendidikan kita.
Lantas apa yang meyebabkan terjadinya kesenjangan antara idealita dan realitas
pendidikan kita?
Jawaban dari pertanyaan itu
adalah orientasi pendidikan kita yang menyimpang dari konsep dasar pemanusiaan
manusia. Justru orientasi pendidikan kita hari ini adalah menciptakan
manusia-manusia kaya dan tidak mau hidup melarat. Artinya orientasi materil dan
bukan orientasi peradaban nilai. Akibatnya pendidikan menjadi strata sosial
baru dalam masyarakat atau menjadi identitas baru ditengah-tengah manusia. Saya
teringat dengan perkataan Thariq Modanggu dalam buku “Perjumpaan Teologi dan Pendidikan”. Thariq mengatakan seperti ini “Ya
Tuhan, hampir setiap saat hamba-Mu ini berjumpa dengan Guru, Dosen, Tentara,
Dokter, Polisi, Jaksa, Hakim, Politisi, Wakil Rakyat, Pejabat, Penguasa,
Wartawan, Kontraktor, Pengusaha, dan sebagainya. Tetapi seringkali hamba-Mu ini
rindu berjumpa dengan manusia.[1]
Pernyataan ini sangat
menggelitik dan dapat memancing perdebatan karena persoalan sepakat dan tidak
sepakat. Namun bila kita mencoba membuang ke-Akuan kita, tentu pernyataan
Thariq itu adalah bagian dari refleksi pendidikan dan etika kehidupan kita.
Pendidikan sebagai proyek pemanusiaan manusia telah berganti menjadi kumpulan
manusia-manusia pemburu kesenangan. Ketika kita mencoba bertanya kepada para
pelaku pendidikan: “untuk apa anda duduk di bangku pendidikan?” Mungkin kita
akan banyak menemukan jawaban seperti ini “agar masa depan kami menjadi cerah.”
Nah, dengan cara apa pendidikan dapat menjamin masa depan anda? Jawabannya
adalah dengan gelar yang diminati oleh dunia kerja. Dan dari kerja yang
dihasilkan oleh gelar itu, kehidupan saya dapat lebih mapan. Kurang lebih
seperti itulah kebanyakan tujuan kita berpendidikan. Oleh sebab itu, kita
menjadi cenderung mencari jurusan yang menjanjikan dalam dunia kerja. Singkatnya
pendidikan kita bertujuan material, sehingga menciptakan generasi “mandul” yang
bertengger di pinggiran peradaban. Sejarawan tidak akan pernah mencatat manusia
yang tidak dapat menciptakan apa-apa, oleh karena itu, kita terancam dalam
golongan generasi-generasi yang hilang dari perjalanan masa (the lost generations).
Lantas apakah menjadi kaya, senang dan terhormat itu salah?
Jawabannya tidak salah, hanya saja yang demikian itu tidak bermakna. Uang,
jabatan, kekuasaan dan sebagainya adalah alat atau media yang tidak seharusnya menjadi
lebih penting dari pada proyek pemanusiaan manusia. Seharusnya pendidikan kita
mengambil peran yang serius terhadap proyek kemanusiaan itu, bukan menjadi
media kekayaan bagi orang-orang tertentu. Pemanusiaan manusia ini adalah bagian
dari proyek yang eksistensinya bertentangan dengan insting kekuasaan dan
kesenangan semata. Mungkin karena faktor inilah, pemanusiaan manusia dalam
kehidupan yang dihimpit oleh gesekan modernitas beserta segala kebutuhan yang
ada, menjadi proyek yang tidak banyak diminati. Memanusiakan manusia dalam
pendidikan adalah pengajaran tentang nilai-nilai pengetahuan sebagai titik
sentral atau tujuan utama dalam berpendidikan bukan pada materi atau sejenisnya.
Sehingga tujuan praksis dari pendidikan adalah memuaskan rasa ingin tahu akan
kedalaman ilmu pengetahuan. Menurut Murthada Muthahari, seperti yang dikutip
oleh Thariq Modanggu, bahwa dasar dari ras manusia itu adalah pengetahuan dan
agama.[2]
Pengajaran akan nilai-nilai
pengetahuan itu belum selesai hanya dalam tujuan semata. Tetapi menjadi
orientasi dan mengalir dalam pandangan hidup yang tercermin dalam etika
pengajaran, kebebasan intelektual dan kehausan akan ilmu pengetahuan. Dengan
demikian setiap mahasiswa dan dosen akan sibuk belajar bersama, berdiskusi,
berdebat, dan saling memfasilitasi (bukan difasilitasi). Kecenderungan kita
selama ini adalah mahasiswa menjadi pendengar ceramah yang setia. Sebab jika
tidak setia akan berpengaruh pada nilai dan kelulusan mata kuliah bersangkutan.
Hal ini bukan berarti mengajarkan untuk tidak disiplin, namun lebih dari itu,
dosen dan mahasiswa seharusnya tidak membatasi diri pada proses perkuliahan
saja, melainkan terlibat aktif dalam menggelar diskusi-diskusi bersama. Dalam
suasana seperti ini, tidak ada individu yang lebih tahu, sebab hakekatnya pengetahuan
manusia tidak ada yang sempurna secara totalitas. Sehingga gelar tidak lagi
menjadi prioritas utama sebagai pembeda. Pembeda yang ada adalah siapa nara
sumber dan siapa peserta diskusi yang saling bergantian satu sama lain (antara
dosen dan mahasiswa). Saya tidak ingin kita mengulangi kesalahan iblis yang
enggan bersujud kepada Adam hanya karena dia lebih senior dan terhormat.
Universitas Negeri Gorontalo
yang telah memilih label “Universitas Pelopor Peradaban” sudah seharusnya
menciptakan suasana akademis seperti yang digambarkan di atas. Transfer
nilai-nilai peradaban tidak efektif jika hanya dilakukan dalam ruangan
perkuliahan. Memang tradisi seperti ini akan menguras tenaga, pikiran, waktu
dan material, namun disinilah ujian kesungguhan kita untuk melahirkan
manusia-manusia berkualitas dan menjadikan kampus benar-benar sebagai “pelopor
peradaban.”
Selain itu, UNG harus dapat
mempertegas konsep peradaban apa yang diusungnya itu. Apakah peradaban barat
atau justru mengkhusus ke penciptaan peradaban di Gorontalo. Jika peradaban
Gorontalo yang diusung, seharusnya etika pengajaran kita mengacu pada nilai-nilai
budaya masyarakat gorontalo, seperti halnya negeri China yang selalu mengacu
pada etika Konfusianisme dan nilai-nilai budaya lainnya seperti Bhudisme dan
Taoisme. Setahu saya budaya Gorontalo cenderung mengusung peradaban nilai dan
bukan materi. Budaya Gorontalo banyak berbicara tentang nilai-nilai agama,
persaudaraan, kekeluargaan, moralitas, dan kecerdasan. Hal ini dapat juga
dilihat dari ilomata wopato (empat
karya agung) yang menggambarkan penghargaan budaya Gorontalo terhadap
nilai-nilai keluhuran budi pekerti dan ketinggian cipta kemanusiaan.
Kejelasan sasaran peradaban
yang kita usung (pelopori) dapat mempengaruhi kejelasan tindakan yang diambil
guna mencapai tujuan itu. Namun upaya keberadaban kita akan menjadi sangat
“tabu” jika peradaban yang dipelopori itu menuai ketidak jelasan. Apabila UNG
berkaca pada peradaban Gorontalo, seharusnya dimunculkan diskusi yang
berhubugan dengan budaya Gorontalo, misalnya penciptaan Ilomata ke-lima. Dengan demikian setiap alumninya, yang akan
menyebar keseluruh penjuru (baik Gorontalo maupun di lura Gorontalo) memiliki
pedoman nilai dan tanggung jawab untuk merealisasikan moto almamaternya yakni
“universitas pelopor peradaban”. Sepanjang peradaban yang dipelopori itu tidak
jelas atau hanya kata-kata normatif saja, akan sulit rasanya untuk
merealisasikannya. Justru yang ada adalah kebingungan untuk membedakan apakah
moto UNG sebagai “universitas pelopor peradaban” adalah wujud kesadaran
intelektual atau hanya berupa slogan yang memperindah “tumpukan” bangunan
berupa kampus itu. Sekian.
0 komentar:
Posting Komentar