Aku dan nilai perjuangan dasar

Tulisan ini pada awalnya adalah catatan kecil saya saat bergulat dengan pemikiran Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Gorontalo pada periode waktu 2006-2010. Catatan kecil itu kemudian saya tuliskan sebagai catatan pengantar saat saya berencana menulis buku tentang: "Menyoal Epistemologi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan". Walau dengan ide sederhana, naskah buku itu berhasil saya rampungkan dalam waktu 2 bulan, dan wal hasil tidak jadi terbit karena persoalan budget yang kurang. Ditambah lagi saya akhirnya menjadi kurang percaya diri untuk menerbitkannya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 11 Maret 2016

Kulisusu dan Perjanjian Bongaya: “Kisah Kecil” di Tengah Pergolakan Politik Abad ke-17

Gambar diambil dari: http://3.bp.blogspot.com

Ketika menyebut perjanjian Bungaya (Bongaya atau Bongaja), yang terlintas dipikiran pasti soal kekalahan Gowa dalam menghadapi kedigdayaan VOC yang ditandai dengan penandatangan perjanjian damai (Gowa di bawa Sultan Hasanuddin dan Hindia Belanda di bawa pimpinan Laksamana Cornelis Speelman). Tentu saja itu bagi mereka yang mendalami atau setidaknya pernah membaca sejarah. Tapi bagi yang tidak pernah sama sekali membaca sejarah, yang terlintas hanya pertanyaan, “apa itu perjanjian Bungaya?”

Untuk itu saya harus segera menegaskan bahwa tulisan ini tidak diniatkan untuk menjelaskan sejarah perjanjian Bungaya. Seperti judulnya, tulisan ini hendak meneropong “kisah kecil” tentang peranan Kulisusu di tengah pergolakan politik abad ke-17 yang melatar belakangi lahirnya perjanjian Bungaya. Itu pun dengan penuh kesadaran bahwa tulisan ini hanya berupa sekelumit informasi saja, mustahil dapat menyajikan informasi yang utuh dan sistematis. Tulisan ini hanyalah bentuk kegelisahan saya terhadap lenyapnya peran Kulisusu dalam telaah sejarah perjanjian Bungaya itu.

***

Tak banyak yang tahu, di ujung utara Pulau Buton bermukim satu suku yang disebut suku Kulisusu (kulit kerang). Hal ini cukup disadari, karena itu, Orang Kulisusu diperantauan selalu mengidentifikasi dirinya sebagai suku Buton. Seorang laki-laki tua asal Kulisusu mengisahkan hal ini. Ia menghabiskan separuh hidupnya di atas samudra, sudah melewati pelayaran antar pulau di tanah air ini hingga pelayaran antar Benua. Tapi saat di tanya ia orang apa, jawabannya “saya orang Buton”. Kisah ini membuat saya sontak bertanya, “kenapa bapak tidak bilang saya Orang Kulisusu?”, jawabannya jelas, “karena di luar sana orang lebih kenal Buton ketimbang Kulisusu”. Ini menegaskan posisi kuasa Buton sebagai kebudayaan dominan yang memengaruhi konstruksi identitas Orang Kulisusu.

Selain itu, bagi saya hal di atas juga adalah sekelumit fakta yang kurang lebih menggambarkan suatu ketimpangan: jangankan sejarahnya, sukunya saja banyak yang tidak tahu. Atau paling-paling orang mengenal Kulisusu dalam sejarah Buton sebagai salah satu Barata (kerajaan penyanggah) dari empat Barata Kesultanan Buton yang ada (barata pata palena). Orang tidak pernah tahu bahwa Kulisusu pernah mengayunkan pedang dan menusukkan keris di perut Orang Belanda, pernah menentang Kesultanan Buton yang begitu mesrah berkawan dengan Belanda dan yang luput dari perhatian adalah kemana aliansi politik Orang Kulisusu saat menghadapi gejolak politik abad ke-17 ini?

Beruntung ada karya Susanto Zuhdi yang mengutip beberapa sumber asing berbahasa Belanda tetang Kulisusu dalam buku: Labu Rope Labu Wana; Sejarah Buton yang Terabaikan. Sayangnya karya Susanto Zuhdi tidak mengelaborasi secara lebih jauh tentang Kulisusu. Persoalannya, ternyata nama Kulisusu bukan tidak ada pada naskah-naskah berbahasa Belanda, nama Kulisusu (Kalentjoesa dalam naskah Belanda) ada, tapi sayangnya tidak ada peneliti yang tertarik untuk menelusurinya, mungkin saja Kulisusu tidak menarik dibahasa karena namanya kurang dikenal sehingga tak punya nilai jual. Atau boleh jadi, banyaknya akademisi di Kulisusu tapi tidak pernah meneliti dengan seirus tentang sejarahnya sendiri.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, kemana aliansi politik Orang Kulisusu di tengah pergolakan politik abad ke-17? Berikut ini akan saya jawab secara tidak lengkap dan tidak sistematis berdasarkan pada informasi-informasi dari buku Susanto Zuhdi yang sudah disebutkan di atas.

***

Zuhdi (2010) mengisahkan bahwa pada 1662-1663, Kesultanan Buton tengah menghadapai pemberontakan dari Barata Kulisusu dan desa Kumbewaha. Perlawanan Kulisusu atas Buton tersebut terjadi pada masa sultan La Awu (1654-1664). Pemberontakan ini rupanya diakibatkan oleh jatuhnya Kulisusu dan Kumbewaha dalam kelompok-kelompok yang masuk dalam pengaruh Makassar (Zuhdi, 2010:119). Dalam situasi politik semacam itu, sultan La Awu memilih untuk melakukan intervensi militer, ia mengajukan permohonan bantuan pada raja Ternate untuk membebaskan Kulisusu dan Kumbewaha dari pengaruh Gowa (Zuhdi, 2010:118-119).

Di tahun yang sama (1663) Barata Kulisusu juga bermasalah dengan Gubernur Banda, karena orang Kulisusu membunuh warga bebas (burger) yang berasal dari Banda. Akibat pembunuhan tersebut, Gubernur Banda bereaksi keras, ia meminta bantuan kepada Gubernur Ternate dan Gubernur Ambon untuk bersama-sama menghadapi perlawanan orang Kulisusu (Zuhdi, 2010:119). Menurut Fraassen, saat itu sultan Ternate Mandarsyah mengirim bantuan berupa satu ‘chialoup’ dengan empat kora-kora yang bergerak dari kepulauan Sula menuju ke Buton untuk bersama angkatan perang Buton menghukum Kulisusu, hasil ekspedisi ini tidak diketahui, akan tetapi, pada tahun 1663 penduduk Kulisusu tidak dikirim ke Ternate (Zuhdi, 2010:119). Dalam tradisi lisan Orang Kulisusu, perang ini disebut sebagai “Perang Tobelo”.

Dengan bantuan armada dan pasukan yang besar, perlawanan orang Kulisusu akhirnya dapat dipadamkan. Dan mengenai keberadaan orang Kulisusu di Ternate, terjadi pada 1667, yakni setelah armada Gowa dapat ditaklukkan oleh pasukan Speelman yang dibantu Ternate di perairan Buton (Zuhdi, 2010:119). Karena keberhasilan tersebut, termasuk keberhasilan membebaskan Barata Kulisusu dari pengaruh Gowa, Ternate merasa berhak atas wilayah Kulisusu dan meminta sebagian penduduknya untuk dibawa ke Ternate (Rudyansjah, 2009:224). Selain persoalan hadiah yang diinginkan Ternate itu, dari segi kedaulatan menurut MvO J.H. Tobias Buton mempunyai masalah kekuasaan teritorial dengan ternate, beberapa wilayah kekuasaan Buton diklaim sebagai wilayah Ternate, seperti Tiworo, Wawonii dan Kulisusu (Zuhdi, 2010:117). Hal ini sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut:

“[...] waren nog voor weinige jaren onnenigheden ontstaan omtrent hunne (Ternate:sz) regte op de lanstreken wowona, Tioro, en Kalentjoesa [...]”

Artinya:
“masih untuk beberapa tahun perselisihan tetap mengenai hak ternate atas daerah wowona (baca juga wowoni), Tioro (Tiworo) dan Kalentjoesa (Kulisusu)” (Zuhdi, 2010:117).

Pada bulan Juni 1667 (beberapa bulan sebelum penandatanganan Perjanjian Bungaya), pihak VOC dan Buton menandatangani kontrak yang disaksikan sultan Ternate Mandarsyah dan Kapitan Laut Reti. Saat itu, Buton menginginkan agar Barata Kulisusu kembali ke dalam wilayah kekuasaannya (Zuhdi, 2010:119). Sementara itu, Ternate bermaksud untuk membawa orang Kulisusu sebagai hadiah dari bantuannya menaklukkan Gowa. Persoalan ini kemudian menimbulkan konflik perbedaan kepentingan antara Buton dan Ternate. Di pihak Kesultanan Buton, Kulisusu dianggap sebagai salah satu barata (vassal)nya, sedangkan bagi Ternate orang kulisusu dapat menambah penduduknya yang minim, akan tetapi nampaknya mereka dijadikan budak oleh orang Ternate dibawah para bobato (Zuhdi, 2010:119). Sesudah penandatanganan perjanjian Bungaya  pada 18 November 1667, Kapitan Laut Reti membawa orang Kulisusu ke Ternate pada tahun 1690 (Zuhdi, 2010:119).

Dari penjelasan di atas dapat dilihat arah aliansi politik Orang Kulisusu pada saat itu adalah ke Kesultanan Gowa. Dengan cara demikian, Orang Kulisusu  mengobarkan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Namun sayangnya pemberontakan Orang Kulisusu ini dapat dipadamkan dan Gowa sendiri akhirnya dapat dipukul mundur hingga menyerah pada 1667. Tapi, perlawanan Orang Kulisusu tidak berakhir di sini, dan hubungan kerjasama dengan Gowa dan sekitarnya tidak putus. Api perlawanan terus-menerus dikobarkan walau harus berakhir dengan kekalahan. Berikut ini akan saya ceirtakan narasi lokal mengenai perang Tobelo.

Di masa pemerintahan La Ode Ode, pasukan Ternate yang dikenal sebagai pasukan Tobelo pernah merongrong kedaulatan barata Kulisusu. Coppenger (2012) menyebutkan bahwa pasukan Tobelo saat itu dipimpin oleh Kapiten Maranua, sementara menurut Abu Saru, dipimpin oleh Kapten Soroasa, dan menurut Zahari dipimpin oleh Tomba Mohalo (Zahari, 1977). Dalam pertempuran itu, panglima perang Barata Kulisusu yang bernama La Ode Gure bergelar Raja Jin tewas terbunuh oleh pasukan Ternate. Raja Jin dianggap sebagai salah satu pahlawan di Buton Utara yang gugur dimedan tempur (Hadara, 2010). Makam Raja Jin dapat kita jumpai dalam wilayah benteng Lipu. Akibat kekalahan ini, orang Kulisusu mengungsi ke bukit Bangkudu dan mendirikan benteng pertahanan yang disebut “benteng Bangkudu”. Dibenteng ini orang Kulisusu tetap mengobarkan perlawanan atas Belanda dan Tobelo atau Ternate.

Pasukan Ternate kemudian menangkap sejumlah 40 orang termasuk putri La Ode-Ode yag bernama  Wa Ode Kotanda untuk dibawa sebagai tawanan perang ke Ternate. Menurut Dihasa, setelah Sultan Ternate mengetahui bahwa Wa Ode Kotanda adalah cucu dari Sultan Buton ke-4 La Elangi, maka Wa Ode Kotanda dilepaskan dan dipulangkan ke Kulisusu bersama rombogan yang berjumlah 20 orang. Sehingga masih tersisah 20 orang lagi di Ternate, inilah kemudian yang menetap di Ternate dan sampai sekarang keturunan mereka masih mengakui Kulisusu sebagai daerah asalnya. Zuhdi (2010) mengatakan bahwa nama Kulisusu sampai sekarang dapat ditemukan di Ternate yakni sebagai soa Kulisusu yang terletak di sebelah utara kedaton dan sebagai kampung yang kulisusu terletak di sebelah selatan kedaton. Soa Kulencusu atau Kulisusu terdiri dari orang Kulisusu yang dipindahkan ke Ternate dalam abad ke-17 (Zuhdi, 2010:122-123).

Kekalahan orang Kulisusu melawan tiga pasukan (Buton, Belanda dan Ternate) tidak hanya menimbulkan kerugian materil dan ditangkapnya orang Kulisusu yang di bawa ke Ternate. Terjadi pula intervensi kultural yang kuat dan menyebabkan beberapa tradisi budaya juga ikut berubah. Perubahan itu diantaranya adalah arah makam dan tradisi menginjak vosil kulit kerang (kulisusu) sebagaimana diungkapkan berikut ini.

Terjadinya Kulisusu ini di injak setelah masuknya perang Tobelo dan masuknya Wolio. Awalnya tidak boleh di injak. Tobelo merupakan suku Tobelo yang ada di Ternate yang masuk bersama Wolio ke Kulisusu untuk yang mempengaruhinya, itulah sehingga terjadi Kulisusu ini diinjak. Sedangkan kuburan kalau aslinyakan menghadap Utara-Selatan, ketika disujudkan akan menhadap kiblat, tetapi setelah penyerangan Tobelo yang bekerja sama dengan Wolio dan Belanda, maka arah kuburan itu berubah menghadap barat laut, ketika disujudkan akan menghadap Wolio. Kalau kuburan asli dulu menghadap Utara-Selatan sebelum masuk perang Tobelo. Jadi ketika disujudkan mayat akan menghadap ke kiblat, kalau sekarang bukan lagi menghadap kiblat, menghadap ke Wolio karena itu pengaruh dari Wolio sama dengan arahan untuk menginjak Kulisusu ini karena pengaruh dari Wolio (Kasim, wawancara 29 Mei 2014)

Tampak jelas dari kutipan wawancara di atas bahwa perang Tobelo di Kulisusu adalah perang melawan tiga pasukan yakni Belanda, Ternate dan Buton sendiri. Hal ini sesuai dengan penjelasan Zuhdi (2010) yang telah kita bicarakan sebelumnya. Sesudah perang tersebut, intervensi kuasa Buton atas Kulisusu ternyata semakin kuat, hingga merambah ke persoalan tradisi budaya, seperti telah disebutkan di atas yakni perubahan arah makam yang awalnya menghadap arah Utara-Selatan berubah arah menghadap kiblat agar ketika kepala mayat di putar ke arah kanan (disujudkan), maka mayat tersebut akan menghadap persis di wilayah Kesultanan Wolio/Buton. Hal ini dalah simbol penaklukkan yang serius sebab tidak hanya urusan kaetika hidup, saat matipun orang Kulisusu wajib berkiblat ke Buton. Selain itu tradisi menginjak vosil kulit kerang (kulisusu) yang dilindungi dalam keraton Barata Kulisusu adalah suatu simbol kekalahan, karena dengan menginjak simbol wilayahnya berarti orang Kulisusu sama dengan menginjak harga dirinya sendiri. Hal ini seperti ditulis oleh Jaadi (tanpa angka tahun) dalam naskah Lokal: Nama-nama Daerah Ini (Kulisusu):
Kaum veodal menetapkan bahwa tiap pengunjung/pendatang diharuskan menginjak vosil Kulisusu. Seorang pendatang namun telah berpuluh kali berkunjung ke daerah ini bila belum menginjak vosil Kulisusu di katakan bahwa oknum bersangkutan belum pernah ke Kulisusu [...] Maksud dan Tujuan/Nilai Tradisional Menginjak lahir-bathin putra-ptri Kulisusu.

Kaum feodal yang dimaksudkan adalah penjajah Belanda yang dalam hal ini bekerjasama dengan Buton dan Ternate untuk menumpas pemberontakan orang Kulisusu dalam perang yang dikenal sebagai perang Tobelo (1663-1667). Padahal sebelum kekalahan dalam perang itu, orang Kulisusu tidak pernah menginjak vosil kulit kerang itu. Jaadi dalam naskah yang sama menuliskan tata tertib mengunjungi vosil kulit kerang itu.
Tiap pengunjung yang berasal dari luar daerah Kulisusu (bukan pribumi) Mansuana berkewajiban mengantarnya ke vosil Kulisusu. Mansuana melekatkan jari telunjuk kanannya pada vosil Kulisusu kemudian jari telunjuk kanan Mansuana dilekatkan pada dahi pengunjung (merudukuni). Upacara semacam ini hanya sekali seorang. Pada kunjungan ke dua tdak lagi di rundukuni [...] Maksud dan Tujuan/Nilai Tradisional: Suatu janji atau suatu pengakuan bahwa pengunjung bersangkutan bersedia menjunjung tinggi/menaati segala peraturan tata tertib/adat istiadat pribumi selama bersangkutan berada di Kulisusu atau tiap kali berada di Kulisusu.


Perampokan Kapal Bark Noteboom

Pada awal 1790, Buton kembali menghadapi pemberontakan dari vassalnya sendiri yakni Barata Muna dan Kulisusu (Zuhdi, 2010:257). Pemberontakan orang Kulisusu pada kesultanan Buton dalam hal ini diperlihatkan melalui perampokan orang-orang Kulisusu terhadap kapal Belanda, Bark Noteboom yang karam dan terdampar di teluk Kulisusu. Menurut Zuhdi (2010) perampokan kapal Bark Noteboom yang karam di Teluk Kulisusu itu melanggar perjanjian antara VOC dan Sultan Buton pasal 12 kontrak tahun 1766 maupun yang diperbaharui (kontrak tahun 1791) mengatakan bahwa Buton akan memberi bantuan kepada kapal Kumpeni yang melalui perairan Buton. Adapun bunyi perjanjian itu (diterjemahkan dari bahasa Belanda) adalah:

Raja  butun serta sekalian mentri-mentrinya dan orang besar-besar sekalian mengaku dan berjanji pada sekarang sebarang kapal Kumpeni yang lalu dari sana atau sangkut sebab kekurangan makanan atau kayu atau barang sebagainya seboleh-boleh raja menulung dia adanya (Zuhdi, 2010:259).

Peristiwa ini juga dapat dilihat dari sumber lokal dalam kabanti atau syair Kanturuna Mohelana (lampunya orang berlayar), yang mengisahkan tentang perang di Kulisusu akibat perompakan kapal Belanda yang karam di Teluk Kulisusu (Zuhdi, 2010260):

daangiamo giu ragona karimbi       demikianlah berbagai kesulitan
apebaangimo kapasa iliwuto           mulanya kapal karam di pulau
atutunia kapasa ikolencusu             pemberitahuan kapal karam di   kulisusu
aegantimo amarana kompaniya      mengingat marahnya Kumpeni
asalimea kafaka imangengena        menghilang asal mufakat lama
waktuuna zamani inciasiytuu          waktu zamannya
osulutani Abdulu Gafuuru               Sultan Abdul Gafur Muhuyudin  Muhuyudin
akalencusu ato potemboakamo      berperang di Kulisusu
sababuna apewau mo larangi          sebabnya berbuat yang dilarang
saincana kolencusu aturumo           yang intinya supaya Kulisusu patuh
           
Pemberontakan Kulisusu ini akhirnya berhasil ditaklukkan oleh pasukan Sultan Buton yang diperkuat oleh pasukan VOC. Kemudian Sultan Buton mengirimkan seratus orang budak dari Kulisusu kepada VOC sebagai ganti rugi atas kapal yang dirompak orang Kulisusu (Zuhdi, 2010:261).

Perompakan Kapal Rust en Werk

Susanto Zuhhdi (2010:212) menerangkan bahwa tenggelamnya kapal Rust en Werk pada Juli 1752 yang belabuh di Bau-Bau terjadi akibat serangan kelompok yang dipimpin oleh Frans-Fransz, seorang mantan jurubahasa di Bulukumba. Namun pada bagian sebelumnya Zuhdi (2010) juga menyebutkan bahwa perompakan kapal Rust en Werk dilakukan oleh orang Kulisusu. Karena itu perlu ditegaskan bahwa kelompok yang dipimpin oleh Frans tersebut termasuk didalamnya adalah orang-orang Kulisusu yang dikatakan Zuhdi (2010) merompak kapal Rust en Werk pada bulan Juli 1752. Menurut Ligtvoet, Frans kemudian bertahan di wilayah Kobaena sampai akhirnya  Franz dan pengikutnya-pengikutnya berhasil ditaklukan. Frans sendiri terbunuh oleh Kapiten melayu yang ambil bagian dalam operasi penumpasan tersebut (Zuhdi, 2010:212).

Penjelasan di atas sangat kontras dengan penjelasan Ali Hadara (2010) dalam laporan penelitiannya di Buton Utara yang  menjelaskan bahwa kapal Rust en Werk ditenggelamkan oleh La Ode Gola (Wa Opu yi Loji). Hadara (2010) mengatakan bahwa kapal Rust en Werk yang dipimpin oleh Van den Burg berhasil ditenggelamkan oleh La Ode Gola dan pasukannya di perairan laut Banda dekat pelabuhan desa Wa Ode Buri. Hadara juga menyimpulkan bahwa menurut tradisi lisan nama Wa Ode Buri berasal dari nama Van den Burg.

Saya akan menelusuri dan memaparkan beberapa kekeliruan yang dijelaskan oleh Hadara (2010): pertama, persoalan tahun tenggelamnya kapal Rust en Werk dan tahun kelahiran La Ode Gola. Dijelaskan di atas bahwa kapal Rust en Werk ditenggelamkan di pelabuhan Baubau pada bulan Juli 1752 (pertengahan abad ke-18) (Zuhdi, 2010). Sementara La Ode Gola atau Waoupu yi Loji dilahirkan pada pertengahan abad ke-19 (Hadara, 2010:94). Hal ini adalah sangat mustahil terjadi, sebab sehebat-hebatnya orang atau seajaib-ajaibnya orang tidak mungkin orang yang lahir di abad ke-19 akan terlibat pada peristiwa yang terjadi di abad ke-18. 

Kedua, seandainya kapal yang ditenggelamkan La Ode Gola dalam penjelasan Hadara (2010) adalah kapal Rust en Werk yang berbeda dengan kapal yang ditenggelamkan Frans dan pasukannya dipelabuhan Baubau seperti penjelasan Zuhdi (2010), seharusnya Hadara memberi penjelasan yang lebih detail tentang perbedaan ini. Ironisnya Hadara jelas-jelas dalam kutipannya merujuk pada Zuhdi (2010). Artinya, kapal yang ditenggelamkan La Ode Gole dalam penejelasan Hadara (2010) sepenuhnya merujuk pada kapal Rust en Werk yang sama yakni kapal yang ditenggelamkan oleh Frans di pelabuhan Baubau. Hanya saja dalam hal ini, Hadara mengubah tempat kejadian, tahun dan pelaku peristiwa. Hal ini adalah sebuah kekeliruan yang serius dalam ilmu sejarah jika seorang sejarawan untuk kepentingan tertentu merubah tahun peristiwa, pelaku peristiwa dan tempat kejadian hingga tidak sesuai dengan sumber rujukannya. Dengan demikian penjelasan Ali Hadara tersebut perlu kita ragukan kebenarannya.   

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, menurut pendapat saya, perlawanan orang Kulisusu merupakan bentuk ketidak senangan kerajaan Kulisusu terhadap VOC dan juga sebagai bentuk protes terhadap kerajaan Buton yang mau berkompromi dengan Belanda. Hal yang tidak dapat juga dinafikan bahwa munculnya pengaruh dari Gowa yang juga ikut mendorong perlawanan orang Kulisusu terhadap kesultanan Buton yang bekerjasama dengan Belanda.[1] Setiap pemberontakan yang dilakukan oleh kerajaan Kulisusu selalu dapat dipadamkan dengan bantuan Ternate dan VOC.

Perlawanan Waopu yi Loji

Menurut Hadara, Waopu yi Loji lahir di Loji pada pertengahan abad ke-19 dengan nama asli La Ode Gola (Hadara, 2010:94). Ia berasal dari kaum bangsawan, sehingga dikemudian hari Ia dapat menjabat sebagai Lakino Kulisusu (jabatan untuk bangsawan). Hadara menceritakan bahwa sejak kecil La Ode Gola telah menunjukan sifat keberanian untuk menentang sesuatu yang dianggap tidak benar. Waopu yi Loji dikenal sangat gigih melawan Belanda.

Waopu yi Loji diyakini memiliki kesaktian, namun sesakti apapun, mustahil jika dikatakan bahwa Waopu yi Loji mampu menenggelamkan Kapal Rust en Werk yang tenggelam pada tahun 1752 oleh pasukan Frans-Franz (bersama orang Kulisusu) dua abad sebelum Waopu yi Loji lahir. Adalah mustahil mengatakan bahwa orang yang lahir pada pertengahan abad ke-19 dapat memimpin serangan yang dapat menenggelamkan kapal Rust en Werk pada pertengahan abad ke-18 sebelum dia sendiri lahir ke dunia. Lagi-lagi Hadara (2010) melakukan kesalahan yang sama, tidak memerhatikan dimensi waktu. Sekalipun demikian, kita tak dapat menyangkal bahwa Waopu yi Loji adalah salah satu pahlawan Buton Utara yang gigih melawan penjajah Belanda pada masanya. Waopu yi Loji menjabat sebagai Lakino Kulisusu selama dua periode yakni pada tahun 1875-1890 dan tahun 1905-1914.

Menurut Hadara (2010), pemerintah kolonial Belanda mencampuri urusan rumah tangga Barata Kulisusu, pada 1906, [2] yang menimbulkan kebencian dan kemarahan warga terhadap VOC. Waopu yi Loji pada waktu itu menjabat sebagai Kapitano Suludadu (panglima perang) tampil dengan sangat gigih untuk mengusir penjajah di tanah Kulisusu.

Kata-kata yang menjadi prinsip Waopu yi Loji saat melawan Belanda: “Kulisusu ai, awunopo, walonopo kai pinaporiporipo”(Kulisusu ini biar nanti sisa-sisa abunya baru disatukan kembali). Pernyataan itu menggambarkan sebesar apa semangat juang yang dimiliki oleh Waopu yi Loji dalam melawan penjajah Belanda. Tidak perduli negerinya (Kulisusu) akan hancur menjadi debu, ia akan tetap melawan Belanda, sebeb ia yakin bahwa suatu saat nanti negeri ini (Kulisusu) akan dibangun kembali dari puing-puing kehancuran. Petetea (tempat peperarangan) yang sekarang diabadikan menjadi nama sebuah desa di Kulisusu Utara merupakan tempat dimana Waoupu yi Loji melancarkan serangan kepada pihak Belanda.

Waopu yi Loji dalam perlawanannya berhasil menenggelamkan kapal Belanda di perairan Laut Banda dekat pelabuhan Labusa Desa Lelamo sekarang. Menurut Hadara, kapal itu adalah kapal Rust en Werk. Namun bukan berarti bahwa tidak benar Waopu yi Loji adalah pejuang yang pernah menenggelamkan kapal Belanda yang dipimpin oleh Van den Burg. Hanya kapal tersebut bukanlah kapal Rust en Werk seperti halnya Kapal Rust en Werk yang dibahas oleh Susanto Zuhdi dalam buku Labu Rope Labu Wana (2010). Dengan demikian kita berkesimpulan bahwa tidak diketahui secara pasti kapal apa yang ditenggelamkan oleh Waopu yi Loji semasa dia hidup. Orang Konawe Selatan mengenal Waopu yi Loji sebagau Lakino Ngguliusu (Kulisusu).

Pada tahun 1914 Waopu yi Loji melancarkan serangan besar-besaran kepada pihak Belanda. Dalam penyerangan itu Waopu yi Loji tertangkap oleh VOC dan selanjutnya tidak diketahui keberadaannya. Versi lain menjelaskan bahwa Waopu yi Loji tidak bisa ditangkap oleh tentara Belanda, sehingga Belanda meminta bantuan kepada Buton untuk memadamkan perlawanan Waopu yi Loji. Maka di utuslah Lakino Nambo di Wolio (Buton) yang merupakan rekan seperjuangan Waopu yi Loji. Karena didatangi oleh sehabatnya sendiri yang juga membawa perintah dari Sultan Buton,  maka Waopu yi Loji bersedia menyerahkan diri kepada pihak Belanda. Pasca penangkapan Waopu yi Loji, tidak diketahu secara pasti kabar beritanya. Ada yang beranggapan bahwa Waopu yi Loji diasingkan ke pulau Muna ada juga yang mengatakan bahwa Waopu yi Loji diasingkan ke Nusa Kambangan. Ada juga yang beranggapan bahwa Waoupu yi Loji di asingkan di Sulawesi Selatan dan meninggal di dalam penjara (tabua) karena disetrum.[3]

Pendapat lain lagi mengatakan bahwa Waopu yi Loji tidak meninggal karen disetrum, saat berada dalam tahanan di Sulawesi Selatan dia bertemu dengan Iman Idrusein dan mengajak para tahanan untuk memberontak. Namun tak satupun di antara para tahanan yang mau mengikuti ajakannya. Karena itu, Waopu yi Loji berpesan bahwa dia akan meninggal esok hari saat selesai shalat Zuhur. Pada keesokan harinya Waopu yi Loji ditemukan telah meninggal dunia, namun saat prosesi pemakaman berlangsung, tiba-tiba terdengar suara ghaib dari Waopu yi Loji yang mengatakan bahwa dia akan pergi, tetapi dimanapun daerah yang kacau, dia akan muncul dalam kekacauan itu. Versi ini menganggap sampai sekarang Waopu yi Loji belum meninggal dan selalu muncul di daerah-daerah yang mengalami konflik seperti kekacauan yang pernah terjadi di Poso dan Ambon. Pendapat lainnya lagi mengatakan bahwa Waopu yi Loji mati ditenggelamkan oleh Belanda di perairan pulau Maginti (sebuah pulau di Kepulauan Tiworo). Tak ada yang tahu pasti mengenai hal itu, yang jelas Waopu yi Loji adalah pahlawan Kulisusu yang patut kita contoh semangatnya.

Terlepas dari sikap heroik itu, sepak terjang Waopu yi Loji juga meninggalkan sedikit ceritra kekejaman terhadap petani yang bernama Tambera. Tambera adalah seorang petani ulet dan rajin, namun Ia membangkang untuk membayar pajak atau upeti kepada negara: menyerahan hasil-hasil pertanian kepada kerajaan. Karena kesalahan itu Tambera di Bunuh oleh Waopu yi Loji. Sampai sekarang nama Tambera diabadikan sebagai nama sebuah lokasi pertanian di Buton Utara, tepatnya ditentangan antara desa Tomoahi dan Ulunambo. Hal ini juga sebagaimana dinyatakan oleh Lakino Kulisusu, La Ode Ahlul Musafi bawha:

“Sebenarnya Kulisusu pernah mengadakan perlawanan atas Buton ketika Buton menjalin hubungan kerjasama dengan VOC. Pada zaman La Ode Gola atau Waopu yi Loji Kulisusu tidak lagi ikut Wolio. Semua keturunan Oputa Yi Koo datang ke Kulisusu untuk menentang Belanda” (La Ode Ahlul Musafi, wawancara, 16 Maret 2014).

Berdasarkan kutipan di atas, pembangkangan atas kesultanan Buton tidak lepas dari pengaruh bangsawan (kaomu) yang menentang kehadiran VOC di tanah Buton. Dengan demikian, keretakan adat Wolio sudah sejak lama berlangsung. Sekalipun keretakan adat menurut Rudyansjah terjadi setelah Belanda mencampuri urusan rumah tangga kesultanan Buton tahun1906 (Rudyansjah, 2009:222), Namun, gejolak antara pemrintah pusat dan pemerintah Barata, yang dipelopori oleh para bangsawan sendiri, menunjukan keretakan keterpaduan adat.

Untuk menghadapi pemberontakan Barata Kulisusu, kesultanan Buton memperlihatkan tipe pemerintahan yang otoriter, yakni dengan melakukan intervensi militer. Lakino Kulisusu, La Ode Ahlul Musafi, juga menceritakan bahwa pada masa kekuasaan sultan Buton terakhir La Ode Muhamad Faalihi, beberapa orang dipenggal kepalanya seperti Aniyhu agar Kulisusu tunduk terhadap kekuasaan Buton. Selain itu Sultan Buton juga melakukan pendekatan persuasif atau dalam bahasa Kulisusu ndo nea-nea inda agar Kulisusu tunduk terhadap kekuasaan Buton. Dengan demikian, Kulisusu sampai tahun 1959 masih merupakan bagian dari kesultanan Buton sampai kemudian dipisahkan oleh politik pemekaran Kabupaten Muna, sebagaimana telah disinggung dipendahuluan[].  





[1]    Sekalipun Buton berkompromi atau telah membuat perjanjian-perjanjian dengan pihak Belanda, namun di masa Sultan Langkarambau yang tidak mengenal kompromi dengan Belanda, kesepakatn-kesepakatan antara Belanda dan Buton banyak dilanggar sehingga perselisihan sering berakhir dengan peperangan. Dalam sejarah Buton masa-masa perang ini dikenal dengan Zamani Kaheruna Walanda tahun 1755 (Zuhdi, 2010:211)
[2]    Saya meragukan penanggalan yang dilakukan oleh Ali Hadara (2010) sebab tahun 1906 merupakan tahun dimana pemerintah Belanda mulai mencampuri urusan rumah tangga kesultanan Buton (Zuhdi, 2010; Rudyansjah, 2009). Saya berpendapat bahwa penanggalan yang dilakukan oleh Ali Hadara (2010) tersebut cenderung mereduksi informasi mengenai campurtangan Belanda atas Buton menjadi campurtangan atas Barata Kulisusu. Hal ini tidak dapat dibenarkan tanpa ada bukti yang jelas, sebab campur tangan terhadap rumah tangga Kesultanan Buton tidak serta merta dapat direduksi menjadi campurtang atas Barata Kulisusu. Karena itu sejak kapan Belanda mencampuri urusan rumah tangga barata Kulisusu adalah persoalan yang belum jelas. 
[3]    Versi ini adalah versi yang diceritakan oleh Bapak Alimin Tahnan (Sauli, wawancara di Kadacua, 16 September 2013)

Jumat, 04 Maret 2016

Kata Foucault Tentang Kekuasaan




Beberapa saat yang lalu saya terlibat sebuah diskusi tentang kekuasaan dengan seorang teman. Pasalnya saya menulis status di akun facebook pribadi tentang sedikit catatan hubungan kekuasaan, institusi dan pengetahuan yang saya lihat dari larangan KPAI terhadap siaran TV yang menyiarkan artis-artis melambai. Waktu itu saya teringat dengan gagasan Foucault tentang seks, bahwa sirkulasi kekuasaan-pengetahuan itu dapat merasuk pada hal-hal intim individu (seks), bahwa kekuasaan itu ada di mana-nama dan mengikat subjek, bahwa kekuasaan itu bersifat produktif dan mengatur, dan bahwa membicarakan seks bukan hanya berbicara tentang kelamin, melainkan berkenaan pula dengan soal normalisasi perilaku individu.

Diskusi itu dipicu oleh sanggahan teman saya yang menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara KPAI dengan kekuasaan, tidak ada hubungan antara pengusaha dan penguasa, baginya KPAI adalah pengusaha dan kekuasaan itu semata-mata urusan penguasa (walau sebenarnya saya tahu bahwa teman saya ini sepertinya menyamakan Komisi Perlindungan Anak Indonesi [KPAI] dengan Komisi Penyiaran Indonesia [KPI]). Tapi saya mencoba menjawab sanggahan teman saya itu dengan memberi petunjuk bahwa catatan pada status di atas diilhami oleh pandangan-pandangan Foucault. Harapan saya agar ia memahami saya. Tapi nampaknya teman itu berpegang teguh pada pendapatnya sendiri dan malah menyarankan saya menggunakan Karl Marx. Menurutku bukan tidak relevan (kalau tidak bisa dikatakan tidak relevan) menggunakan teori Marx dalam menganalisis wacana larangan menyiarkan artis melambai pada siaran TV. Namun ada yang lebih relevan membicarakan itu, yakni Foucault. Dari pada saya ribut di laman facebook, lebih baik saya membuat tulisan terkait kekuasan menurut Foucault. Tulisan ini adalah jawaban saya terhadap diskusi itu.

***

Konsep kekuasaan selama ini lebih banyak dipahami dalam terminologi Weberian di mana kekuasaan dimaknia sebagai kemampuan untuk memaksakan keinginan seseorang pada prilaku orang-orang lain (Eriksen, 2009:267; Ritzer, 2012:219). Atau dipahami dalam konsepsi kekuasaan menurut Karl Marx yang melekatkan kekuasaan semata-mata sebagai milik aparatus negara dan kelompok-kelompok kecil yang mengendalikan negara (Latif, 2005). Bagi Foucault konsep-konsep kekuasaan demikian tidak dapat lagi memuaskan rasa ingin tahu kita mengenai kekuasaan. Foucault menyatakan:

“Mungkin Marx dan Freud tidak dapat memuaskan rasa keingin tahuan kita tentang teka-teki “kekuasaan”, sesuatu yang sekaligus tampak dan tidak tampak, hadir dan tersembunyi, ada dimana-mana. Teori-teori kepengaturan beserta analisis mereka yang tradisional tidak mengeksplorasi area tempat kekuasaan dilaksanakan dan difungsikan. Pertanyaan kekuasaan tetap menjadi sebuah teka-teki yang besar. Siapa yang menjalankan kekuasaan? Dan dalam ruang lingkup bagaimana? Pada saat ini kita tahu pasti dan sangat beralasan, siapa-siapa yang mengeksploitasi orang lain, siapa-siapa yang menerima keuntungan-keuntungan, orang-orang mana yang terlibat dan bagaimana dana-dana tersebut diinvestasikan kembali. Sebagaimana kekuasaan [...] Kita  memang tahu hal itu ada ditangan mereka yang memerintah. Namun persoalannya, gagasan-gagasan “pemegang kekuasaan” tidak pernah mendapat perumusan yang memadai, begitu juga dengan ide-ide lainnya seperti: “menguasai”, “mengendalikan”, “memerintah” dan sebagainya. Penjelasan mengenai hal itu masih sangat berubah-ubah dan membutuhkan analisis. Kita juga seharusnya menginvestigasi batas-batas pelaksanaan kekuasaan menginvestigasi saluran-saluran penyebarluasan kekuasaan dimana melaluinya kekuasaan, dioperasikan dan diperluas pengaruhnya pada aspek-aspek yang sering dianggap remeh dari hierarki dan bentuk-bentuk pengendalian, pengawasan, larangan-larangan dan pengekangan-pengekangan. Di mana kekuasaan berada, hal-hal tersebut pasti selalu dilaksanakan. Tegasnya, tak seorang pun, memiliki hak resmi untuk berkuasa, kekuasaan selalu digunakan dalam satuan-satuan arah partikular, dengan sejumlah orang di satu sisi tertentu dan sejumlah orang lain disisi lain. Sering sukar untuk mengatakan secara akurat siapa pemegang kendali kekuasaan” (Suyono, 2002:42-43).

Penjelasan Foucalt di atas menekankan bahwa kekuasaan itu tidak terpusat, kekuasaan itu bergerak bukan milik resmi kelompok tertentu atau aparatus negara, bukan pula milik kelompok borjuis seperti klaim Marx. Kekuasaan menurut Foucault ada dimana-mana, hadir secara tampak maupun tersembunyi, tidak terpusat dan sifat-sifat kekuasaan itu adalah menguasai, mengendalikan, memerintah, mengekang, mengatur dan sebagianya. Kekuasaan dalam hal ini bukan sekadar soal hierarki sosial, di mana kelompok yang berada pada struktur teratas serta merta menjadi pemilik sah atas kekuasaan, tapi bagaimana suatu individu atau kelompok tertentu menegosiasikan kepentingannya dengan individu atau kelompok lainnya dalam ranah sosial tertentu. Kekuasaan dengan demikian selalu berada dalam arah yang partikular secara berhadap-hadapan, yakni saling pengaruh antara sekelompok orang di satu sisi dan sekolompok orang pada sisi lainnya.

Ada tiga cara pandang kekuasaan yang menjadi sasaran kritik Foucault (Latif, 2005:38-39): Pertama, cara pandang kekuasaan yang bersifat occasional (hadir sekali-sekali), cara pandang ini memahami kekuasaan sebagai sesuatu yang dimiliki dan dipergunakan sepenuhnya atas kehendak seseorang yang berkuasa seperti raja atau semacamnya, cara pandang ini disebut juga teori dominasi ortodoks. Kedua, cara pandang yang melihat kuasa semata-mata sebagai milik negara dan sekelompok kecil orang yang mengendalikan negara  sebagaimana dipahami oleh Karl Marx, cara pandang ini disebut juga teori tradisional. Ketiga, cara pandang yang melihat kuasa terpisah dengan pengetahuan, pengetahuan semata-mata hanyalah urusan rasio tidak ada hubungannya dengan kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan, demikian juga sebaliknya pengetahuan tidak lepas dari proses seleksi dan limitas dari suatu rezim kekuasaan (Foucault, 1980; Latif, 2005; Suyono, 2002; Hardiyanta, 1997).

Menurut Latif (2005:39), Foucault menawarkan kita pengertian kuasa yang lebih kompleks di mana kekuasaan dipandang sebagai totalitas tindakan-tindakan sosial yang menggambarkan permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka. Menurut pandangan Foucault (Latif, 2005:42), kekuasaan tidak bersifat monolitik, sebab antara mereka yang kita sebut berkuasa dan yang mereka yang dikuasai sama-sama memiliki kemampuan dalam menegosiasikan kepentingannya masing-masing dalam berbagai tindakan sosial. Proses negosiasi dan upaya-upaya memposisikan diri antara kelompok-kelompok sosial yang berlangsung timbal-balik dalam arena sosial tertentu inilah yang disebut sebagai “permainan strategis”. Kekuasaan dalam pengertian seperti ini selalu berhadap-hadapan dengan praktik perlawanannya (Li, 2012:22; Latif, 2005:40).

Kekuasaan sebagai permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka (strategic games between liberties), dibedakan oleh Foucault dengan dua tipe relasi kuasa lainnya yakni: relasi kuasa yang bersifat dominasi” (domination) dimana kekuasaan bersifat tidak setara, ada pihak ordinat dan subordinat dan relasi kuasa yang bersifat mengatur dan mengarahkan prilaku yang disebut “kepengaturan” atau “pemerintahan” (govermentality) adalah relasi kuasa yang terletak di antara “dominasi” dan “permainan-permainan strategis antara pihak-pihak yang merdeka” (Li, 2012:9; Foucault, 1991:100; Latif, 2005:40).

Keterkaitan antara Wacana (discourse) dan Kekuasaan

Konsep wacana (discourse) dalam tradisi pemikiran Foucauldian sesungguhnya merupakan kajian mengenai penggunaan bahasa. Tetapi terma bahasa dalam pengertian Foucault (Jones, 2010) bukanlah bahasa sebagaimana dipikirkan oleh kaum strukturalis seperti bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, dan lain-lain. Bahasa dalam terminologi Foucault (Lubis, 2014:83) dilihat sebagai sistem-sistem gagasan yang saling berkaitan satu sama lain dan memberikan kita cara untuk mengetahui dunia. Dalam memahami bahasa, ada dua hal pokok yang membedakan Foucault dengan strukturalisme yakni: Foucault menolak adanya ciri-ciri universal yang melandasi semua bahasa dan perhatian Foucault yang dipusatkan pada faktor kekuasaan dalam membentuk dan menggunakan bahasa (Jones, 2010:202). Ketika Foucault dituding para pembacanya di Prancis sebagai penerus tradisi strukturalisme (Foucault, 2007), Foucault segera merevisi kembali bukunya, terutama bukunya yang berjudul The Birth of Clinic. Foucault mengganti beberapa kata kunci yang rentan dengan istilah-istilah strukturalisme, seperti istilah: “bahasa” diganti dengan istilah wacana (discourse), sedangkan kalimat “structured analysis of signified diganti dengan kalimat “the analysis type of discourse” (Suyono, 2002:40).


Michel Foucault

Wacana adalah suatu pengertian tentang realitas dan seperangkat acuan bagi prilaku yang merujuk pada suatu bentuk pengetahuan tertentu, seperti wacana medis, wacana agama, dan sebagainya (Jones, 2010). Suatu wacana memiliki kemampuan untuk menggiring pengertian subjek mengenai realitas, mengenai apa yang benar dan salah, boleh dan tidak boleh, normal dan tidak normal, dan seterusnya (Foucault, 1980). Wacana mempengaruhi dalam hal apa seseorang akan berbicara dan bertindak, serta mempengaruhi cara mendefinisikan realitas. Foucault (Jones, 2010) berpendapat bahwa memiliki suatu wacana adalah satu-satunya cara untuk mengetahui tentang realitas; singkatnya, individu sangat ditentukan wacana-wacana. Dalam pengertian ini, tidak ada seorang pun yang dapat lepas dari pengaruh suatu wacana, karena itu, wacana pada dasarnya menerapkan kekuasaan atau setidaknya bersifat menguasai subjek (kuasa wacana). Menurut Foucault (Lubis, 2014:84), jalinan hubungan antara bahasa, pikiran, pengetahuan dan tindakan disebut sebagai “praktik diskursif”. Dalam hal inilah, kebudayaan pun dipandang sebagai produk dari praktik-praktik diskursif tertentu (Arif, 2010).

Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat berbagai macam wacana mengenai kebudayaan yang bisa saja saling bertentangan, namun ada sala satu wacana yang lebih dominan daripada wacana lainnya (Alam, 2006). Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah: “kenapa dan bagaimana suatu wacana bisa menjadi lebih dominan diterima dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan wacana lainnya? Foucault memberikan jawaban bahwa suatu wacana menjadi lebih dominan karena menghadirkan kebenaran yang ditopang dengan relasi kekuasaan tertentu (Foucault, 1980). Suatu wacana dapat diterima dan bekerja secara efektif pada masa tertentu sangat ditentukan oleh atas dasar apa, atas argumentasi atau rasionalitas apa yang melatari diproduksinya suatu wacana. Dengan demikian, menurut Foucault (Lubis, 2014) menjadi upaya yang sangat penting untuk mengungkap apa yang tersembunyi dibalik kemunculan suatu wacana.

Selanjutnya Foucault (1980) mengajukan pertanyaan lain; lantas jenis kekuasaan seperti apa yang paling rentan dalam setiap produksi suatu wacana? Foucaul (1980) memberikan jawaban bahwa dalam setiap masyarakat terdapat berbagai hubungan kekuasaan yang mengukuhkan diri, mengkategorisasi dan membentuk berbagai lembaga dan institusi sosial. Relasi kekuasaan semacam itu tidak dapat terbentuk dengan sendirinya, tidak dapat dinegosiasikan, disosialisasikan dan tidak dapat diimplementasikan tanpa produksi dan pemungsian suatu wacana (Foucault, 1980). Mustahil ada pelaksanaan kekuasaan tanpa ditopang suatu wacana kebenaran yang beroperasi dibalik hubungan-hubungan sosial yang tampak di permukaan. Setiap kekuasaan harus memproduksi kebenarannya dan memungsikannya melalui wacana, sebab kekuasaan benar-benar tidak dapat dijalankan tanpa terlebih dahulu memproduksi wacana kebenaran (Foucault, 1980). Dengan demikian, menurut Foucault (Jones, 2010:204; Lubis, 2014), kekuasaan dilaksanakan melalui dua cara: Pertama, kekuasaan dilaksanakan agar suatu wacana terwujud. Dalam hal ini suatu wacana dapat berfungsi bila ditopang oleh kekuasaan. Kedua, kekuasaan dilaksanakan oleh bekerjanya suatu wacana. Dala hal ini suatu wacana dapat memapankan posisi kekuasaan tertentu yang mempertahankannya.

Untuk lebih memperjelas konsep keterkaitan antara wacana dan kekuasaan, berikut ini akan dijelaskan bagaimana hubungan kekuasaan dengan pengetahuan yang disirkulasikan oleh institusi atau otoritas tertentu. Dengan demikian, kehadiran kuasa dalam konsep berikut akan menjadi semakin jelas dibanding konsep sebelumnya, sebab melibatkan institusi.
     
Genealogi: Hubungan Kuasa dan Pengetahuan

Istilah “genealogi” dalam kultur akademik indonesia bukan lagi istilah yang baru. Yudi Latif misalnya menggunakan konsep “genealogi” dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul: Intelegensia Muslin dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Penjelasan Latif mengenai istilah “genealogi’ dalam buku tersebut tidak lepas dari pemikiran Foucault. Menurut Latif (2005:7) genealogi dalam pengertian Foucault merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concerns) masa kini. Karena itu, Latif menganggap konsep genealogi ini berfokus pada fakta bahwa penulisan sejarah merupakan pemenuhan kebutuhan masa kini. Latif juga mengatakan:

 “genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus.” Justru sebaliknya, “genealogi berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal (accidents), mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute deviation)”. Genealogi memfokuskan diri pada retakan-retakan, pada kondisi-kondisi sinkronik dan tumpang tindihnya pengetahuan yang bersifat akademis dengan kenangan-kenangan yang bersifat lokal (Latif, 2005: 7-8).

Namun berbeda dengan padangan Latif di atas, Piliang (2012:15) mendefinisikan genealogi sebagai sebuah model analisis diskursus yang dikembangkan oleh Michel Foucault, yang secara khusus melihat relasi yang tak terpisahkan antara pengetahuan dan kekuasaan di dalam diskursus. Seturut padangang Piliang tersebut, Davidson menjelaskan bahwa untuk memahami perbedaan dua metode Foucault, arkeologi dan genealogi, harus dilihat sepasang hipotesis yang diajukan oleh Michel Foucault dalam “Truth and Power”. Foucault menjelasakan:

“Kebenaran” dimengerti sebagai sebuah sistem dari prosedur-prosedur yang telah diatur untuk memberikan penjelasan-penjelasan mengenai produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan operasi... “Kebenaran” yang berhubungan dalam sebuah relasi sirkuler dengan berbagai sistem kekuasaan mereporoduksi dan menopangnya, dengan efek-efek kekuasaan yang menginduksi dan meluaskannya. Sebuah “rezim” kebenaran (Foucault, 1980).

Dari kutipan di atas, menurut Davidson (Hardiyanta, 1997:11) hipotesis yang pertama merupakan interpretasi Foucault yang secara singkat menjelaskan tentang metode arkeologinya, sementara hipotesis kedua berkaitan dengan metode genealoginya. Dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan di atas, maka konsep genealogi dalam penelitian ini merujuk pada hubungan kuasa dan pengetahuan. Sekalipun demikian, saya tidak mengabaikan penafsiran Yudi Latif yang memahami genealogi sebagai kajian sejarah yang menekankan penelusuran terhadap penyimpangan-penyimpangan kecil, keretakan-keretakan dan tumpang tindihnya pengetahuan dalam sejarah. Sebab konsep ini penting dalam penelitian ini untuk menjelaskan keretakan-keretakan wacana identitas yang dialami dalam perjalanan sejarah orang Kulisusu.

Konsep genealogi baru muncul setelah Foucault menyelesaikan karyanya: Madness and Civilization. Sebelumnya Foucault tenggelam dalam penelusuran arkeologi pengetahuan yakni upaya menelusuri formasi-formasi diskursif yang membentuk suatu “rezim kebenaran”. Dalam metode arkeologi, Foucault hanya menekankan pada pentingnya prosedur-prosedur, sirkulasi-sirkulasi, dan formasi-formasi diskursus yang menyusun suatu kebenaran serta menghubungkannya formasi-formasi tersebut dengan otoritas tertentu, seperti otoritas penutur (enunciative) (Foucault, 2002). Penyusunan formasi-formasi ini, dalam konsep arkeologi sama sekali terbebas dari formasi-formasi non-diskursif, seperti: institusi (Suyono, 2002:176). Sementara itu, metode genealogi Foucault mulai menyadari bahwa formasi-formasi diskursif atau wacana itu tidak terlepas dari mekanisme kontrol dari kekuasaan itu sendiri. Menurut Suyono (2002) transisi pemikiran Foucault dapat dibaca dalam kuliah inaguralnya di Colege de France tahun 1970 yang bertajuk L’ordre du discours. Suyono menggambarkan bahwa: dalam kuliah tersebut Foucault memberikan pemahaman baru kepada para audiensya mengenai penyebaran gugus-gugus diskursif. Dalam metode arkeologi, proses penyebaran gugus-gugus dikursif ini dilihat berlangsung secara alami, namun Foucault menyadari bahwa proses itu ternyata tidak bebas dari limitasi, seleksi dan kontrol. Dengan demikian, kesadaran akan adanya mekanisme kontrol, limitasi dan seleksi dalam perseberan wacana merupakan pintu awal yang menghantarkan pemikiran arkeologi menuju pemikiran kekuasaan (Suyono, 2002: 177).

Pengetahuan dalam pandangan Foucault, tidak dapat dilepaskan dari mekanisme-mekanisme kontrol, limitasi dan seleksi. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya mengenai kegilaan (Madness and Civilization), The Birth of Clinic, The Birth of Prison, maupun mengenai History of Sexuality. Dalam Madness and Cilvilzation, Foucault memperlihatkan bagaimana kegilaan dipisahkan dari rasionalitas. Foucault menyatakan bahwa sejak awal fajar abad lima belas sampai pertengahan abad tujuh belas, kegilaan di Eropa misalnya masih dimengerti sebagai wilayah antara kegilaan dan kepandiran (Foucault, 2002). Istilah kegilaan dan kepandiran pada era itu merupakan kata yang cair yang dapat dipertukarkan satu sama lain dan tak seorangpun mengetahui kapan kata-kata itu pas diucapkan (Suyono, 2002). Bahkan banyak karya sastra yang muncul pada era itu seperti King Lear karya Shakespeare menggambarkan percampuran makna antara kegilaan, kepandiran dan kebijaksanaan. Namun, sejak purna abad pertengahan yang ditandai dengan munculnya gerakan pencerahan, maka peradaban Barat mulai dikuasai oleh “rezim kebenaran baru” yakni distingsi antara rasio dan non-rasio.

Kemunculan psikiatri yang mewakili rasio telah menjebloskan orang-orang gila ke dalam penjara layaknya seorang penjahat, orang-orang miskin dan gelandangan ditangkap untuk direhabilitasi di rumah bekas perawatan penyakit lepra. Foucault (2002:257) menyatakan bahwa: pada awal abad ke sembilan belas setiap psikiater dan sejarawan menyerukan impuls kemarahan yang sama... “Tak seorang pun menjadi malu dengan meletakan orang gila di dalam penjara”. Demikian juga dalam History of Seksuality Foucault (1997:1-14) menggambarkan bagaimana kekuasaan rati Victoria yang sangat puritan mengontrol wacana seksualitas dan melembagakannya seks ke dalam institusi rumah tangga dan bagaimana wacana seks juga dikontrol dalam hal pengakuan dosa di gereja.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat adanya mekanisme kontrol, limitasi, pemisahan dan larangan yang mewarnai proses sirkulasi berbagai wacana. Hal ini menunjukan adanya relasi antara kekuasaan dengan pengetahuan: pengetahuan dikontrol, ditopang dan diperluas oleh kekuasaan, pada gilirannya pengetahuan dapat mereproduksi kekuasaan melalui “rezim kebenaran” yang dihasilkan oleh pengetahuan tersebut. Pemahaman ini penting dalam penelitian ini untuk menganalisis bagaimana kontrol kekuasaan terhadap penyebaran pengetahuan agama Islam (tasawuf) pada masa lalu (historisitas) di wilayah kekuasaan kesultanan Buton termasuk Kulisusu dan bagaimana pengetahuan agama tersebut memproduksi “rezim kebenaran” yang makin memperkokoh kekuasaan Kesultanan Buton di Kulisusu.

Menurut Foucault proses limitasi, seleksi, kontrol, dan eksklusi yang melestarikan rezim kebenaran di Barat terlaksana melalui dua tingkat: internal dan eksternal (Suyono, 2002:181-185). Tingkat pertama penetrasi ini ada kaitannya dengan mekanisme produksi dan reproduksi teks. Foucault baru menyadari bahwa produksi dan reproduksi teks di Barat yang menyebarkan gugus-gugus diskursif ternyata memiliki karakter yang secara internal cenderung mendukung bagi terlestarikannya suatu sinergi kebenaran tertentu. Sebagai contoh: melalui apa yang disebut sebagai Commentary berperan sebagai teks yang berusaha untuk mengungkapkan makna ataupun hal-hal tersembunyi dari teks-teks primer yang belum terjamah atau tereksplisitkan dalam teks-teks primer. Commentary bisa didefinisikan sebagai teks yang memberi ulasan atas teks lain atau disebut juga teks sekunder. Teks lain yang dimaksud di sini adalah teks primer atau teks utama terkait agama, hukum, sastra dan ilmu pengetahuan (Suyono, 2002:182). Teks-teks commentary ini tanpa disadari berfungsi sebagai medium agar batas-batas diskursif pengetahuan Barat tidak keluar dari batas yang ditentukan suatu rezim kebenaran tertentu.

Pada tingkat kedua, eksternal: proses seleksi, limitasi, kontrol dan eksklusi menurut Foucault berkaitan dengan institusi. Proses pelestarian rezim kebenaran tidak dapat dipisahkan dengan adanya kontrol eksternal dari sebuah institusi. Melalui kontrol institusi-institusi, diskursus dikendalikan dan digiring ke arah kondisi yang dikehendaki oleh institusi yang berperan. Dalam konteks inilah saya memahami KPAI sebagai institusi yang mengontrol tayangan TV demi suatu normalisasi prilaku anak-anak.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com