|
Salah satau penari Lense dalam sebuah upacara adat |
DUA
lelaki itu tampak mulai gelisah. Walau keduanya terlihat sedang memegangi tali
pancing yang baru saja dilemparkan ke laut, perhatian mereka
sebenarnya mulai teralihkan oleh bunyi gong yang samar-samar. Keduanya sudah
sering memancing di sekitar laut itu, tapi mereka baru mendengar bunyi gong
seperti ini. “itu seperti suara gong yang mengiringi tari-tarian nan indah, tetapi
acara apakah gerangan yang dilakukan tengah malam seperti ini”, begitu keduanya
membatin. Dipenuhi rasa penasaran yang sama, keduanya memutuskan untuk mencari
jawaban. Masing-masing menggulung tali pancingnya dan mendayung menuju tepian
pantai, persis di mana arah bunyi itu berasal. Mereka kemudian berjalan menyusuri pantai
dan memasuki semak belukar demi mencari jalan ke sumber bunyi tadi. Telinga mereka begitu
awas mendengarkan arah sumber bunyi, mereka sudah tak peduli lagi dengan ikan tangkapannya yang jumlahnya masih setengah dari hasil tangkapan hari-hari
sebelumnya. Kedua lelaki itu adalah pesuruh Kesultanan Buton yang bertugas memancing di sekitar peraiaran teluk Kulisusu.
***
Langkah
mereka tergesah-gesah tatkala suara gong yang diiringi lagu itu semakin jelas. Setelah keluar masuk semak belukar di depan mereka tampak sebuah istana berbentuk rumah panggung yang
diterangi dengan lampu minyak. Itu adalah
istana Sangiano Lemo yang beraada dalam
benteng Kadacua. Rupanya malam itu adalah malam pembukaan upacara adat Poriwangaa (pesta Sangia yang dirayakan empat tahun sekali). Perayaan ini akan dilakukan tiga
malam berturut-turut. Pada malam pertama ini, tari lense digelar pada tengah malam.
Tak tahan ingin melihat, kedua lelaki itu segera bergabung dengan keramaian
penonton yang sedang menyaksikan pertunjukan tari lense. Di sana terlihat para penari dengan rupa yang cantik berganti-gantian menari di depan penonton. Gerakan-gerakan tari lense yang lembut berputar-putar menjadi tontonan yang sangat menarik hingga membuat kedua lelaki tadi lupa dengan
tugasnya memancing. Keduanya lupa waktu dan menyaksikan tari lense sampai subuh.
Begitu fajar
mulai menyingsing kedua lelaki tadi
sudah berpikir untuk pulang ke istana Buton. Tapi saat keduanya hendak pulang, penari
terakhir itu keluar dari dalam rumah. Ia terlihat berbeda dengan penari-penari
lainnya. Selain gerakannya yang lebih indah dari para penari sebelumnya, parasnya
terlihat sangat rupawan hingga kedua mata lelaki tadi melotot. Ia adalah Wa
Bilahi putri Sangiano Lemo yang
terkenal paling cantik di wilayah itu dan merupakan pencipta tari
lense.
Niat
untuk pulang pun ditangguhkan sampai Wa Bilahi selesai menari. Kedua lelaki itu terpesona melihat kecantikan Wa Bilahi. Dan rupanya tak hanya kedua
lelaki tadi yang dibuat kagum, semua penonton yang hadir saat itu juga sama-sama terbuai oleh kecantikan dan kepandaian menari Wa Bilahi. Hal yang membuat semua
penonton tidak beranjak sejak tadi sebenarnya adalah keinginan menyaksikan Wa
Bilahi menari pada akhir acara sebagai penari terakhir. Gerakan tubuh Wa Bilahi sangat
indah. Tubuhnya seolah ditakdirkan untuk satu tujuan, menjadi penari lense yang
tiada bandingannya. Semua mata tertuju padanya, hingga tak ada
satu pun gerakannya yang luput dari perhatian penonton sampai ia selesai
menari.
Tanpa sadar hari
sudah semakin pagi, kedua lelaki tadi bergegas kembali ke pantai, mengambil perahu, ikan
tangkapan masing-masing dan kembali ke istana Kesultanan Buton. Sepanjang
perjalanan mereka berdua terbayang-bayang oleh kecantikan Wa Bilahi dan
sesekali mereka membicarakannya dan memuji kecantikannya dengan pujian
yang tak berhingga. Mereka lupa bahwa hasil tangkapan mereka hanya setengah
dari hari-hari sebelumnya yang mungkin bisa membuat marah Sultan Buton, La
Elangi.
Sampai
di istana Buton, ikan hasil tangkapan mereka diserahkan pada pengurus
rumah tangga istana. Walau pun hasil ini hanya setengah dari hasil pada hari
sebelumnya, namun hal ini belum mengundang tanya, bisa saja mereka lagi kurang
beruntung hingga tangkapan mereka berkurang. setelah itu kedua laki-laki tadi pulang beristirahan ke rumah masing-masing untuk persiapan turun memancing pada malam berikutnya. Keduanya
tidak menceritakan apa yang mereka lihat di negeri Kulisusu, gadis cantik Wa
Bilahi dan tari lense yang menawan.
Saat hari
sudah mulai soreh, kedua lelaki pesuruh istana Kesultanan Buton itu sudah
bersiap-siap dengan perahu dan perlengkapan memancing. Mereka berlayar menuju teluk Kulisusu menunaikan tugasnya memancing ikan sebanyak-banyaknya untuk kebutuhan istana. Keduanya tampak
bersemangat sebab mereka berharap setelah memancing, malam ini mereka dapat menyaksikan lagi tari lense dan gadis
cantik Wa Bilahi. Tapi ternyata malam itu suasana sedikit berbeda. Bunyi
gong dan lagu lense yang semalam terdengar tengah malam kini sudah
terdengar ketika mereka sampai di teluk Kulisusu. Rupanya pada malam kedua upacara poriwangaa itu, pertunjukan tari lense
dimulai lebih awal, pada pukul 19.00 atau pukul 7 malam. Sama seperti malam sebelumnya, setelah
mendengar bunyi gong itu kedua lelaki itu langsung menuju daratan mengabaikan
tugas pentingnya. Mereka menyaksikan pertunjukan tari lense sampai pagi
dan sebagai akibatnya mereka tidak membawa hasil
apa-apa ke istana.
Berita itu pun kemudian didengar oleh sultan La Elang (sultan Buton IV), bahwa kedua
pesuruh istana itu tidak membawa ikan seekor pun setelah memancing
semalaman di teluk Kulisusu. Itu adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Sultan pun kemudian memanggil kedua nelayan istana
itu untuk menghadap padanya, sultan La Elangi ingin tahu apa yang terjadi sampai kedua pesuruhnya itu tidak menangkan ikan seekorpun.
“kenapa
kalian tidak membawa hasil seekorpun?” begitu sultan bertanya pada kedua pesuruh itu.
Keduanya terlihat gugup untuk menjawab pertanyaa sultan, takut jangan sampai mereka dianggap lalai menjalankan tugas. Akhirnya kedua pesuruh istana itu memutuskan untuk menceritakan kepada
sultan apa yang sudah dua malam ini mereka lihat, “kami tertarik menyaksikan
pertunjukan tari lense sepanjang malam di sebuah istana yang tidak jauh dari
tempat kami memancing Waopu (panggilan
mulia untuk sultan sebagai bentuk pensifatan wujud sultan sebagai wakil tuhan di
bumi, opu sendiri dalam bahasa Buton berarti Tuhan)”.
Mendengar
jawaban mereka, sultan La Elangi tiba-tiba dihinggapi rasa penasaran. Tarian seindah apakah yang membuat perhatian kedua pesuruh istana itu melalaikan tugasnya. Sultan lalu berkata: “kalau demikian, boleh saya ikut serta sebentar malam menyaksikan tari
lense itu?”
Kedua
pesuruh itu menjawab: “boleh saja Waopu,
ada gadis yang paling cantik yang terakhir menari, dia menari pada hanya saat fajar
mulai terbuka sebagai penari penutup Waopu”.
Jawaban itu memantapkan hati sultan La Elangi untuk ikut bersama dua pesuruh kerajaan itu ke Kulisusu untuk
menyaksikan pertunjukan tari lense.
Soreh
itu sultan Buton sudah bersiap-siap berangkat bersama dua pesuruh istana itu.
Kali ini kedua pesuruh itu tidak membawa peralatan memancing dan sultan La Elangi pun tidak mengenakan pakaian kebesarannya. Kali ini
tugas kedua pesuruh istana itu adalah mengawal sultan Buton yang sedang dipenuhi rasa penasaran. Sultan La Elangi bersama kedua pesuruh itu kemudian
berlayar menuju negeri Kulisusu. Pada pukul
20.00 atau jam 8 malam, mereka sudah tiba di sebuah pantai yang gelap gulita. Karena
saat itu bunyi gong belum terdengar, mereka menunggu di
sebuah gubuk mirip pos jaga di sekitar pantai itu. Sangking gelapnya, sultan La Elangi
menyebut pantai itu sebagai pantai Malalanda
yang berarti gelap-gulita dalam bahwa Buton. Sampai sekarang Malalanda diabadikan oleh masyarakat
Kulisusu sebagai nama pantai itu.
Kira-kira
sekitar pukul 21.00 bunyi gong sudah terdengar. Kedua pesuruh istana itu segera menuntun sultan menuju ke istana Sangiano Lemo. Karena tidak membawa simbol-simbol kebesarannya, sultan La Elangi dapat dengan mudah membaur di tengah keramaian sehingga selain kedua
pesuruhnya, tidak ada yang mengetahui bahwa ia adalah seorang sultan. Para penari lense tampil silih
berganti, ada yang menari sendiri ada juga yang berkelompok. Setiap kali
berganti penari, sulatan La Elangi bertanya kepada kedua pesuruhnya: “sudah
itukah gadis penutup tari lense itu?” kedua pesuruh itu menjawab: “bukan”. Rupanya
sultan La Elangi sedang dirundung rasa penasaran tentang rupa gadis cantik
penutup tari lense yang dikisahkan oleh kedua pesuruhnya.
Malam
semakin larut, acara terus berlangsung, semua mata menatap masih penuh kagum termasuk
mata sultan La Elangi hingga tak terasa fajar mulai menyingsing. Rasa penasaran
sultan semakin memuncak, tapi malah yang keluar bukan seorang gadis melainkan
sebuah malobu (mangkuk, bahasa
Kulisusu) beris air yang diletakan di tengah-tengah ruangan tempat menari.
Setelah itu baru keluar Wa Bilahi dengan parasnya yang rupawan ia menari
di atas sebuah mangkuk berisi air itu. Kedua kakinya menginjak sisi-sisi
mangkuk, karena gerakannya yang sempurna tak ada setitik pun
air yang tumpah dari mangkuk itu. Melihat pertunjukan dan kecantikan Wa
Bilahi itu, sultan Buton terlihat gelisah. Tak bisa menahan diri, sultan La
Elangi tak lagi menunggu pertunjukan Wa Bilahi selesai. Ia punya rencana lain. La Elangi kemudian masuk di bawah kolong
istana dan menggeser lantai bambu yang akan dilewati Wa Bilahi saat masuk ke
dalam rumah. Di bawah kolong rumah itulah La Elangi menunggu Wa Bilahi selesai menari. Ia sangat cemas, jantungnya berdenyut semakin kencang memikirkan apakah rencannya ini akan berhasil atau tidaknya. Sesekali sultan La Elangi menyapu keringatnya yang
sudah bercucuran.
|
Makam Wa Bilahi |
Lalu suara
derap langkah sudah terdengar, itu adalah langkah kaki Wa Bilahi yang
sedang melangkah masuk dalam rumah. Denyut
jantung La Elangi semakin bertambah kencang. Perangkap La Elangi pun bekerja,
tanpa sadar Wa Bilahi menginjakan kakinya pada lantai yang lubang akibat digeser La
Elangi. Wa Bilahi jatuh di bawah kolong dan dalam sekejap Wa
Bilah sudah berada dalam pelukan sultan La Elangi. Karena kejadian itu, tidak ada alasan lagi
bagi Wa Bilahi, ia harus segera dinikahkan dengan La Elangi. Karena kejadian itu pula La Elangi membuka identitasnya sebagai sultan Buton.
Setelah
dinikahkan dengan Wa Bilahi, sultan La Elangi tinggal di istana Sangiano Lemo. Ia tinggal sekitar 40
hari lamanya menikmati bulan madunya dengan Wa Bilahi dan berarti 40 hari pula
sultan La Elangi meninggalkan tahta kesultanannya di istana Buton. Walau pun
sultan Buton sangat bahagia bersama Wa Bilahi, ia harus kembali ke istana Buton
demi menunaikan tugasnya sebagai seorang sultan. Sultan La Elangi pun akhirnya kembali
ke Buton dan meninggalkan Wa Bilahi yang sedang hamil muda. Karena meninggalkan
istana Buton selama 40 hari, maka sultan La Elangi diberi gelar Mobolina Pauna (yang meninggalkan tahta
kekuasaannya).
***.
Demikian
Orang Kulisusu mengenang perjumpaan sultan La Elangi dan Wa Bilahi dalam salah
satu versi tradisi lisan. Sebenarnya ada banyak versi sejarah lisan lain baik
versi yang mirip maupun versi yang bertentangan dengan cerita di atas. Misalnya
versi lisan dari Hi. Dihasa yang menjelaskan bahwa kedatangan sultan La Elangi
pada akhir abad ke-16 di Buton sebenarnya adalah dalam rangka menyebarkan agama
Islam, ada juga yang bilang bahwa La Elangi datang berguru agama Islam di
Kulisusu sebab ilmu tasawuf Orang Kulisusu lebih tinggi, dsb. Tapi berapapun
banyaknya versi cerita itu dan betapapun penuturnya menganggap versinya sebagai
cerita yang paling benar tidaklah membuktikan fakta yang lebih sahih dari yang
lainya selain membuktikan sebuah fakta betapa beragamnya ingatan dan tafsir tentang masa
lalu Orang Kulisusu, betapa sejarah lisan itu bersifat polisemi. Selain itu, beragamnya versi sejarah lisan itu menunjukan sebuah fakta bahwa setiap penutur sejarah lisan berperan sebagai agensi
yang merajut makna yang tidak bebas dari persentuhannya atau dialognya dengan
yang lain, yakni dengan sesama penutur maupun dengan ragam struktur budaya dan
relasi-relasi kuasa yang beroperasi dalam kehidupan penutur itu (Bakhtin,
1981).
.
Cerita
di atas adalah cerita yang saya sadur dari sebuah naskah lokal yang ditulis
tangan oleh La Ode Abu Saru (alm) berjudul “Wa
Ode Bhilahi”. Saya merujuk naskah ini bukan karena versi ini yang saya
anggap paling benar, ini hanyalah sebuah keinginan untuk menuliskan salah satu
versi saja yang secara kebetulan saya punya naskahnya dan telah saya baca
berulang-ulang. Cerita ini bukanlah tentang sejarah, melaikan sebagai
kesejarahan (historisitas). Apa bedanya? Bila sejarah berkepentingan
merekonstruksi sebuah kisah sebagai kisah yang dianggap benar-benar pernah
terjadi di masa lalu (historiografi), maka kesejarahan berkepentingan untuk
memahami bagaimana suatu masyarakat memahami dan mengingat masa lalunya (Rudyansjah,
2009). Kesejarahan sama sekali tidak berkepentingan untuk menunjukan suatu
peristiwa sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau, tetapi
berkepentingan untuk menunjukan bagaimana suatu masyarakat masa kini memahami
masa lalunya. Masuk akal atau tidak itu bukanlah persoalan. Yang dipersoalkan di sini adalah tentang makna apa yang dirajut dan
dihayati seorang penutur dalam persentuhannya dengan masa lalu dan kaitannya dengan kepentingan
masa kini.
Bahkan
ketika cara berpikir ini saya terapkan pada diri saya sendiri, maka penulisan
versi ini hasil dari upaya pribadi saya untuk merajut makna melalui dialog saya
dengan yang lain (the others) termasuk dialog saya dengan masa lalu melalui
naskah-naskah lokal, melalui wawancara, maupun dialog saya dengan teori-teori
yang saya pelajari dibangku kuliah dan relasi-relasi kuasa yang beroperasi
dalam kehidupan saya. Singkatnya saya sendiri adalah aktor yang tidak bebas
nilai sehingga tulisan saya ini menggambarkan hasil dialog saya dengan yang lain. Oleh karen itu, sekali pun
saya menyadur naskah lokal yang ditulis La Ode Abu Saru, tapi tidak semua tulisan Abu Saru
saya sadur. Ada beberapa hal yang saya buang, hal ini berkaitan dengan prinsip dialogis tadi di mana saya sendiri
adalah agensi yang berusaha merajut makna sendiri.
Tapi
kisah ini belum selesai sampai di sini. Kisah masih berlanjut hingga anak La
Elangi dan Wa Bilahi tumbuh dewasa menjadi pemuda yang gagah perkasa.
***
Anak
kecil itu bernama La Ode Ode, ia sedang bermain bersama teman-temannya.
Tiba-tiba sekawanan anak kecil lain datang dan mengolok-oloknya. La Ode Ode disebut sebagai
anak yang tidak punya ayah sebab sejak ia lahir tumbuh sampai ia bisa
jalan dan bermain-main dengan teman-teman sebayanya, La Ode Ode tidak pernah
bertemu dengan ayahnya. Itulah pengalaman psikologis La Ode Ode yang membentuk
kepribadiannya hingga dewasa, sebagai anak yang tanpa ayah.
Pada
1605, saat itu usianya sudah 20 tahun, La Ode Ode tumbuh menjadi pemuda yang
perkasa dan punya banyak pengikut. Bagaimana pun La Ode Ode adalah
cucu Sangiano Lemo salah satu
pemimpin penting di tanah Kulisusu. Saat mengetahui dirinya sebagai
anak sultan yang tidak diperhatikan, hatinya terbakar amarah, hingga ia berniat
mengunjungi ayahnya di istana Kesultanan Buton untuk meminta agar Kulisusu diakui sebagai
satu kesultanan tersendiri. Untuk itu, La Ode Ode mengajak sebanyak 40 orang
rakyat Lemo sebagai pasukan yang membantunya memberontak di Kesultanan Buton. Jika
tuntutannya tidak diindahkan oleh ayahnya, sultan La Elangi maka
La Ode Ode berencana untuk membakar istana kesultanan Buton. Tak hanya itu, mereka juga
berniat untuk montobhe rapa (memecahkan
kepala, bahasa Kulisusu) dan mombhore cia
(membelah perut) jika tuntutan mereka ditolak.
|
Makam La Ode Ode |
La
Ode Ode kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengumpukan daun kelapa kering (morombo koroka, bahasa Kulisusu) yang
akan digunakan untuk membakar istana Kesultanan Buton. Tempat di mana mereka morombo koroka (mengumpulkan daun kelapa
kering) ini disebut sebagai Rombo dan diabadikan sampai sekarang sebagai nama salah satu desa di
Kecamatan Kulisusu, desa Rombo. Selanjutnya La Ode Ode dan pasukannya berangkat
ke Buton dengan perahu yang penuh dengan muatan daun kelapa kering (koroka) ditambah gong dan gendang.
Perahu
La Ode Ode dan pasukannya mendarat di Buton pada malam hari. Suasana malam itu sangat
gelap. Langit Buton seperti menyembunyikan cahaya bintang-bintang hingga tak ada satupun
yang tampak seolah menggambarkan suasana hati La Ode Ode yang diabaikan ayah
kandungnya. Bila langit di atas istana Sangiano
Lemo menjadi saksi perujumpaan cinta La Elangi dan Wa Bilahi, kini langit negeri
Buton menjadi saksi kemarahan buah cinta mereka, La Ode Ode. Perseteruan antara ayah dan anak kini sudah di depan mata, gendang Pemaani atau ganda petetea (gedang perang) kini sudah ditabur. Suaranya memecah kesunyian
malam negeri Buton dan membuat warga sekitar terganggu. Seolah tak peduli dengan apa yang terjadi, pasukan La Ode Ode
tidak berhenti memukul gendang pemaani itu
sampai pagi.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali petugas keamanan istana datang memeriksa sumber suara
gaduh yang semalam telah meresahkan warga itu. Saat tiba di pelabuhan Buton, para
petugas itu melihat serombongan pasukan yang sedang menabur gendang di atas
perahu. La Ode Ode keluar dan berdiri di atas haluan perahunya sambil bertolak
pinggang menyambut kedatangan para petugas keamanan itu. Kemudian petugas keamaanan
itu melemparkan pertanyaan: “hai orang asing, dari mana kalian berasal
dan ada maksud apa kalian datang mengganggu ketenangan masyarakat di negeri
kami?”
Tapi
La Ode Ode tak menjawab sepatah kata pun, ia tak menghiraukan mereka seolah tidak mendengar pertanyaan apa pun walau sudah berkali-kali diulangi. Petugas keamanan pun gerah melihat tingkah La Ode Ode, mereka berusaha untuk
turun memeriksa di perahu itu, tapi pasukan La Ode Ode tidak mengzinkan mereka masuk
ke dalam perahu. Petugas keamanan itu tak bisa berbuat apa-apa dan kembali
melapor ke istana.
“semua
pertanyaan kami tidak dijawab oleh juragan perahu itu, juragan perahu hanya
berdiri dan bertolak pinggang di haluan perahu, dan maaf oputa (panggilan mulia untuk sultan), juragan perahu itu memiliki
kemiripan dengan oputa sultan” begitu
laporan petugas keamanan istana tadi pada sultan La Elangi.
Mendengar
laporan itu, sultan La Elangi mendapat firasat bahwa yang tiba dipelabuhan itu
adalah putranya sendiri dari Kulisusu. Tanpa pikir panjang sultan La
Elangi memerintahkan agar juragan perahu
itu dijemput dengan upacara adat. Upacara penyambutan pun dipersiapkan dan rombongan
penjemput itu menuju ke pelabuhan menjemput juragan kapal yang berniat
membakar istana Kesultanan Buton itu.
Perkiraan
La Ode Ode ternyata meleset, ia bukannya melihat pasukan bersenjata yang turun menantang
mereka, La Ode Ode malah melihat rombongan yang menjemputnya
dengan upacara adat. Melihat hal itu, La Ode Ode dan pasukannya akhirnya
bersedia naik ke darat dan kemudian bersama-sama rombongan penjemput La Ode Ode dan
pasukannya menuju ke istana Kesultanan Buton. Saat sampai di istana, La Ode Ode
pun dipanggil untuk menghadap sultan La Elangi. La Ode Ode begitu mirip
dengan ayahnya itu, hingga saat bertemu tanpa berpikir panjang sultan La Elangi langsung memeluk La
Ode Ode putra kandungnya itu. Suasana haru pun menyelimuti istana, kini La Ode Ode telah
berjumpa dengan sosok ayah yang sudah berpuluh-puluh tahun ia rindukan,
sementara sultan La Elangi kini telah bertemu dengan salah satu putranya yang
gagah perkasa seperti dirinya. Air mata haru tak dapat dibendung. Pipi sultan La
Elangi dan La Ode Ode kini dibasahi air mata. Para petinggi istana yang
menyaksikan peristiwa itupun ikut larut dalam suasana haru.
Tapi
tiba-tiba La Ode Ode berusaha melepas pelukan ayahnya itu, dengan sikap sedikit
kasar. Ia seperti tersadar dari suasana haru yang membuatnya luluh iti. Keamanan
istana mendekat bermaksud ingin melindungi sultan La Elangi, tapi mereka
disuruh tidak ikut campur oleh sultan sendiri. La Elangi kemudian bertanya dengan
suara lembut pada La Ode Ode: “apa maksud putra tercintaku ini berkunjung ke
istana Buton?”
Mendengar
pertanyaan ayahnya itu La Ode Ode dengan suara tegas mengatakan maksud
kedatangannya “saya datang ke sini untuk meminta agar sultan Buton mengakui
Kulisusu menjadi satu kesultanan yang otonom terlepas dari kesultanan Buton,
jika permintaan saya ini tidak dipenuhi maka pasukan saya akan membakar hangus
istana ini”. Suasana menjadi tegang, suara La Ode Ode yang tegas itu terdengar memenuhi
seluruh ruangan membuat para petinggi istana diselimuti kekhawatiran. Tapi sebagai
seorang ayah dan sultan yang bijak, La Elangi tidak menanggapi ucapan La Ode
Ode dengan emosi. La Elangi kemudian membujuk putranya itu dengan nada lembut. Sultan
La Elangi berkata:
“putraku
tercinta, kembalilah ke Kulisusu untuk menyusun pemerintahan dengan struktur
pemerintahan yang sama dengan struktur pemerintahan di Kesultanan Buton. Kekuasaan
pemerintahan itu adalah otonom tetapi kepala pemerintahannya adalah seorang Lakino Kulisusu bukan sultan Kulisusu, sebab
pulau sekecil ini tidak wajar jika dibentuk dua kesultanan. Selanjutnya ananda akan
menjadi Lakino Kulisusu (raja
Kulisusu) dan berhak menentukan sendiri batas-batas wilayah kekuasaannya”.
Mendengar
ucapan itu, La Ode Ode menjadi luluh. Rupanya La Elangi adalah sosok sultan
yang tidak hanya bijaksana tetapi piawai dalam berdiplomasi sehingga mampu
memadamkan api perlawanan pada anaknya yang tanpa sadar telah ia abaikan itu. La
Ode Ode dan pasukannya kemudian pulang dengan perasaan legah. Sampai di
Kulisusu La Ode Ode mulai menyusun struktur pemerintahannya. Pertama, wilayah kekuasaan ditetapkan
sebagai berikut: tapal batas bagian Selatan adalah sungai Bubu, tapal batas
bagian Utara adalah sungi Laa Ea yang bermuara di Selat Buton. Kedua, wilayah kekuasaan itu dibagi
menjadi 12 Limbo, yakni: (1) Limbo Kotawo dikepalai oleh seorang kaomu (bangsawan) sebagai Lakino Kotawo dan dibantu oleh seorang walaka sebagai Bhontona Kotawo. (2) Limbo Kalibu dikepalai oleh seorang kaomu sebagai Lakino Kalibu dan seorang walaka
sebagai Bhontono Kalibu. (3)
Limbo Mata Oleo yang dikepalai oleh seorang kaomu
sebagai Lakino Mata Oleo. (4)
Limbo Lemo dikepalai oleh seorang kaomu sebagai
Lakino Lemo. (5) Limbo Tomoahi
dikepalai oleh seorang kaomu sebagai Lakino Tomoahi. (6) Limbo Sampu
dikepalai oleh seorang kaomu sebagai Lakino Sampu. (7) Limbo Bhone dikepalai
seorang kaomu sebagai Lakino Bhone atau disebut juga Lakino Nambo. (8) Limbo Kodha Awu
dipimpin oleh seorang walaka sebagai Bhontono Kodha Awu. (9) Limbos Saku’a
yang dipimpin oleh seorang walaka sebagai
Bhontono Saku’a. (10) Limbo Mowuru
dipimpin oleh seorang walaka sebagai Bhontono Mowuru. (11) Limbo Langkaudu
dipimpin oleh seorang walaka sebagai Bhontono Langkaudu. Terakhir (12) Limbo
Wela-Welalo dipimpin silih berganti oleh kelompok kaomu dan walaka.
Sejak saat itu, Kulisusu resmi menjadi bagian dari kekuaasaan Kesultanan Buton. Dan proses integrasi ini bukan tanpa perlawanan. Adalah Sangiano Doule yang dikisahkan menolak Kulisusu untuk bergabung dengan Kesultanan Buton. Oleh karena itu wilayah Sangiano Doule tidak masuk dalam 12 limbo di atas. Kisah perlawanan ini akan saya ceritakan dalam tulisan lainnya.
Makassar, 10 Januari
2016