***
Pagi itu aku bersama-sama dengannya naik sebuah maskapai menuju Jakarta. Di sinilah menariknya. Di tengah merebaknya isu terorisme, penjagaan kemanan di setiap bandara semakin diperketat. Tapi pemuda itu tidak mau ambil pusing dengan perawakannya yang berjenggot dan berkopiah, ia melaju dengan ringan menuju pintu masuk bandara, dan tak menyadari begitu banyak mata memandanginya dengan penuh curiga. Aku tertegun sesaat melihat fenomena itu. Kenapa jenggot dan kopiah putih menjadi sesuatu yang lyan? bukankah itu sebuah simbol keimanan? lalu mengapa orang beriman dipandang dengan penuh curiga? tampaknya ini ada hubungannya dengan laku terorisme yang menuding muslim sebagai pelaku bom bunuh diri sejak tragedi 11 Septermber 2001 silam. Ah, tentu saja bukan, orang berjenggot tidaklah identik dengan terorisme, begitu tegas salah satu sahabat saya dalam status di facebook-nya.
Tapi bagaimana pun kita tidak sepakat dengan cap itu, jenggot dan teroris sudah menjadi sangat identik. Aku juga tidak sepakat dengan cap seperti itu, tapi itulah yang disebut stereotip. Stereotip itu tidak peduli apakah suatu cap itu benar atau tidak, cap itu tetap akan dilekatkan pada sesuatu. Oleh karena itu, walau setiap yang berjenggot itu bukan teroris, tetap saja jenggot akan dihubungkan dengan teroris, dan prasangka itu akan selalu membayang-bayangi saat kita bersentuhan dengan orang-orang berjenggot. Ah, bukankah ini pendapat yang berlebihan?
Bisa saja Anda tidak sepakat dengan tulisan ini, tapi itulah yang dialami oleh pemuda berjenggot tadi. Walau ia adalah seorang antropolog, kehadirannya bisa menimbulkan munculnya prasangka yang mengacu pada stereotip tadi. Bahkan pernah sekali saat kami naik kereta pasca peristiwa bom Sarinah Jakarta, seorang penumpang sempat mengungkapkan kekhawatirannya tentang bom saat melihat pemuda tadi. Inilah yang aku maksud stereotip teroris itu sudah melekat pada mereka yang berjenggot, apalagi jenggotnya sudah menyerupai jenggot Osama Bin Laden seperti milik pemuda tadi. Hehe
Tentu saja stereotip ini tidak lahir begitu saja. Ini adalah hasil konstruksi dari peristiwa-peristiwa terdahulu di mana media menggabarkan kelompok-kelompok Islam garis keras sebagai pelaku teror dan bom bunuh diri. Ada juga spekulasi yang menyebut Amerika sebagai dalang di balik lahirnya kelompok-kelompok teroris di seluruh dunia. Tapi terlepas dari semua sudut pandang itu, ada hal penting yang harus kita renungi, bahwa semakin menguatnya gerakan radikal berbasis Islam (Islam garis keras) yang tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap sesuatu yang dianggap salah akan semakin menguatkan stereotip tadi. Bahwa justru di saat dunia telah menjadi begitu terbuka dengan beragam wacana, wajah Islam justru hadir dengan tindak kekerasan berbasis iman.
Sesuatu yang begitu bertentangan, di satu sisi ada iman, sementara di sisi lainnya ada kekerasan. Kita mungkin menuduh Amerika sebagai dalang teror, tapi kita lupa bahwa tindakan kekerasan yang kerap dilakukan juga adalah bagian dari teror sosial yang masif. Islam sedang bergerak sebagai suatu identitas politik, bukan lagi sebagai jalan hidup yang menyejukkan dan mengantarkan manusia pada jalan Tuhan. Sebagai identitas politik, umat Islam ingin menegaskan diri sebagai umat dan agama yang paling mulia tapi dengan tindakan yang tidak mulia. Bila beragama menjadikan kita bertentangan satu sama lain, merasa paling benar satu sama lain, maka agama tidak lagi turun untuk suatu kedamaian, melainkan untuk melegitimasi kekuasaan umat tertentu.
Makassar, 27 Januari 2016
Saat Menunggu Berangkat ke Papua
0 komentar:
Posting Komentar