Sang cahaya telah meninggalkan hidup
kita dan kegelapan ada di mana-mana [...] Cahaya telah hilang,
saya bilang, dan ternyata saya salah [...] Cahaya yang telah bersinar di negeri ini
bukanlah cahaya biasa. Cahaya yang telah menerangi negeri ini selama
bertahun-tahun akan tetap menerangi negeri ini pada
tahun-tahun berikutnya dan ribuan tahun berikutnya. Cahaya itu akan
bisa terlihat di negeri ini dan dunia akan melihatnya, dan akan melipur larah
hati yang tak terbilang banyaknya."
~ Jawaharlal Nehru, Pidato pada malam terbunuhnya Gandhi ~
Siapa yang tidak kenal nama Mahatma Gandhi, pria kecil penyala
cinta kasih yang tersohor di Negara tropis, India abad ke-20. Ia adalah “sang
cahaya”, setidaknya begitu Jawaharlal Nehru menyebut Gandhi, saat mengumumkan
kematiannya, lewat radio pada seluruh rakyat India, 31 Januari 1946. Namun
siapa yang menyangka “sang cahaya” itu ternyata awalnya adalah seorang pria pemalu
dan pengecut. Masa muda Gandhi diwarnai oleh rasa takut pada hantu dan pencuri.
Siapa pula yang menyangka saat menangani kasus pertamanya di Bombay, Gandhi
yang telah menjadi pengacara berdiri dengan lutut gemetar saat diminta
melakukan pemeriksaan. Gandhi bahkan tidak mampu mengucapkan sepata katapun di
hadapan sidang, hingga Gandhi memutuskan untuk lari ke luar meninggalkan
persidangan. Peristiwa itu menjadi bahan tertawaan dan ejekan baginya. Hah,
sekonyol itukah kisah kehidupan awal Gandhi yang hebat itu? Ulasan yang saya
rujuk dari buku: Gandhi The Man karya
Eknath Easwaran berikut, akan memberikan jawabannya.
***
Pria kecil itu bernama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi. Ia
lahir di Porbandar, 2 Oktober 1869. Tak ada yang istimewa dari masa mudanya
selain pernikahannya yang terlalu dini dengan Kasturbai di umur 13 tahun. Tentu
saja rumah tangga muda ini penuh dengan guncangan hebat, bahkan Gandhi sebagai
seorang suami tidak dapat membuang rasa takutnya pada hantu dan pencuri. Gandhi
juga terobsesi dengan peran suami sebagai guru bagi istrinya, oleh sebab itu
kadang-kadang Gandhi menjadi otoriter atas istrinya, Kastrubai. Di kemudian
hari, Gandhi yang telah bertransformasi menjadi jiwa yang agung mengenang bahwa
ia banyak belajar dari kesabaran, cinta kasih dan ketabahan istrinya menghadapi
dirinya yang labil.
Saat Gandhi tamat sekolah tingkat atas, obsesinya menjadi
dokter yang sedikit samar membuatnya harus menempuh banyak ujian. Namun sayang,
cita-cita Gandhi tidak pernah terwujud, ia selalu gagal dalam setiap ujian yang
dilaluinya. Beruntung kemudian datang pamannya dan menghasut Gandhi untuk
belajar hukum di London, ibukota Inggris yang menjajah Negara mereka. Karena
hasutan pamannya itu, akhirnya Gandhi bersedia belajar hukum di London. Saat
itu Gandhi berumur 18 tahun, ia berlayar dari India ke London demi untuk
belajar ilmu hukum.
Bulan-bulan pertama di London adalah mimpi buruk bagi Gandhi
muda. Ia merasa terasing dengan lingkungan dan gaya hidup orang London yang
sangat mewah. Ingin rasanya ia memutar haluan dan kembali ke India, untung saja
sesuatu yang mendalam dalam jiwanya menahannya untuk kembali. Gandhi akhirnya
memutuskan untuk beradaptasi, ia mulai mengenakan setelan pakaian khas
bangsawan Inggris dan menyewa pengajar untuk mengajarinya bahasa Prancis dan
tutur kata yang santun.
Ini adalah kali pertama Gandhi meniru budaya berpakaian
bangsa lain. Namun peniruan ini tidak berlangsung lama. Sesuatu dalam diri
Gandhi seolah menginterupsinya, ia mulai tidak nyaman dengan segala kemewahan
yang dibiayai oleh kakaknya itu. Akhirnya Gandhi memutuskan untuk menanggalkan
gaya itu. Gandhi waktu itu memang bukan pria yang punya banyak kelebihan, tapi
ia adalah sosok diri yang selalu mengoreksi dirinya sendiri. Inilah cikal bakal
kepribadian yang mengantarkannya pada pemurnian jiwa yang ia temukan di
kemudian hari.
Gandhi mulai mencari apartemen sendiri yang sederhana. Ia
menemukan apartemen di tengah-tengah kota, sehingga ia dapat dengan mudah menjangkau
kampus dan tempat-tempat lainnya. Di apartemen barunya itu Gandhi mulai belajar
hidup mandiri. Baginya kemandirian mustahil bisa diperoleh dengan meniru orang
lain. Hanya dengan menjalani hidup sendiri kemandirian bisa diusahakan. Gandhi
juga mulai melakukan eksperimen terhadap pola makannya yang vegetarian. Pada
1890, Gandhi bergabung dengan kelompok vegetarian London dan belajar banyak hal
tentang diet dan nutrisi. Pada masa inilah Gandhi mulai mendalami kitab Bhagavad Gita, kitab suci yang kemudian
menjadi acuan kehidupannya.
Pada 1891 Gandhi menamatkan pelajaran hukumnya di London dan
kembali ke India. Di India ia menjadi pengacara, namun kasus ganti rugi yang
ditanganinya di Bombay menjadi satu-satunya kasus hukum yang ditangani Ganghi
di India. Ia gagal dengan sangat memalukan karena berlari meninggalkan
persidangan akibat gugup dan tak bisa berucap sepatah kata pun saat persidangan
tengah berlangsung. Sejak saat itu ia menjadi bahan tertawaan pengacara lainnya
di India. Gandhi bahkan dijuluki “pengacara tanpa tas” oleh para koleganya. Hal
ini membuat Gandhi terpukul dan pesimis dengan karir pengacaranya di India.
Adalah kantor Dada Abdullah di India yang kemudian menawari
Gandhi pekerjaan sebagai juru tulis rendahan untuk kantor mereka di Afrika
Selatan. Tentu saja pekerjaan ini amat jauh dari gengsi Gandhi sebagai lulusan
sekolah hukum Inggris. Tapi Gandhi menerima pekerjaan ini sebagai sebuah tantangan. Tapi sial, ternyata kantor Dada Abdullah di
India salah menafsirkan situasi yang ada di Afrika Selatan. Di sana Gandhi
dinanti oleh kasus hukum yang amat pelik yang membutuhkan keahlian dibidang
akuntansi untuk menguraikan transaksi bisni yang rumit dan tidak memiliki
pembukuan lengkap.
Bagi Gandhi yang tak pernah belajar pembukuan dan dikirim
untuk menangani kasus ini tentu saja bagaikan dikirim ke neraka saja. Tapi
justru tidak, di sinilah titik balik karir Gandhi sebagai pengacara. Lagi-lagi
Gandhi adalah pengamat yang baik bagi dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa
kemana pun ia pergi kegegalan selalu mengincarnya, sehingga mengubah lingkungan
kerja bukanlah solusi, ia harus mengubah dirinya. Sejak itu Gandhi mempelajari
pembukuan secara otodidak dan keahliannya berkembang pesat. Rasa percaya diri
mulai ia dapatkan di sana, kecerdasannya perlahan kelihatan dan ia tumbuh
menjadi pengacara handal.
Tapi perkembangan Gandhi tak bisa dibilang sembarangan. Saat
kasus bisnis perusahaan Dada Abdullah dan lawannya yang masih memiliki
pertalian darah itu belanjut terus, Gandhi mulai memikirkan cara lain. Tentu
saja sangat menguntungkan bagi pengacara bila kasus yang ditangani berlanjut
terus, hanya saja Ganhdi tak mau mengambil keuntungan dari hal seperti itu,
dari argument kosong yang semakin mempertajam pertikaian yang memperlebar
hubungan kedua belah pihak. Gandhi mulai memikirkan cara agar kedua belah pihak
sama-sama tidak dirugikan. Gandhi tak mau satu pihak menjadi pemenang atas
pihak lainnya, sebab bila cara itu yang ditempuh maka yang kalah akan hancur
oleh yang menang. Karena itu Gandhi membujuk kedua belah pihak yang bertikai
untuk menyelesaikan kasus mereka di luar pengadilan. Setelah melakukan banyak
pembicaraan Dada Abdullah dan lawannya sepakat untuk menempuh jalan damai.
Gandhi sangat gembira dengan keberhasilan ini. Ia berseru,
“Saya telah belajar praktik hukum yang sebenarnya. Saya telah belajar menemukan
sisi terbaik dari sifat manusia dan memasuki hati orang-orang. Saya menyadari
bahwa fungsi pengacara yang sebenarnya adalah untuk mempersatukan pihak-pihak
yang terpecah belah”. Mungkin ini susah diterapkan oleh pengacara kita saat
ini. Hehe!
Karir Gandhi sebagai pengacara meningkat pesat. Ia tanpa
sadar telah menemukan rahasia besar dari kesuksesan. Bahwa setiap kesulitan
adalah peluang untuk melakukan pelayanan. Bahwa sebuah tantangan adalah peluang
untuk mengasah kecerdasan baru dalam diri kita. Gandhi tanpa sadar telah
memenangkan hati dan bahkan cinta orang-orang Afrika Selatan maupun orang kulit
putih. Akhirnya banyak kasus hukum yang dipercayakan pada Gandhi dan dalam
beberapa tahun ia sudah berpenghasilan $ 25.000–30.000/tahun. Dengan
penghasilan sebesar ini, Gandhi hidup mewah dan gaya hidupnya sudah
kebarat-baratan. Gandhi kemudia pulang ke India menjemput Kasturbai untuk
datang ke rumah baru mereka di Johannesburg, Afrika Selatan.
|
Mohandes Karamchand Gandhi dengan gaya Eropa |
Tapi kemewahan hidup mereka tak berlangsung lama. Ini bukan
karena Gandhi bangkrut, tapi karena hidup Gandhi berubah. Penindasan,
perbudakan dan wabah penyakit lepra yang menimpa Orang India di Afrika Selatan
telah merubah pandangan hidup Gandhi. Kemewahan yang tadinya digunakan untuk
mengikuti selera kelas orang Eropa kini ingin ditanggalkannya. Di tengah-tengah
kesibukannya sebagai pengacara, Gandhi turun tangan menolong mereka yang
terserang wabah dan yang mengalami penindasan.
Persentuhannya dengan penderitaan orang lain semakin lama
membuat Gandhi lupa akan kepentingannya sendiri. Di sinilah jiwa Gandhi
ditempah oleh rasa kemanusiaan. Ada energi spiritual yang bertumbuh saat
manusia mampu menihilkan kepentingan dirinya sendiri demi kepentingan orang
lain. Itulah yang dialami Gandhi. Sisi spiritual dalam dirinya tumbuh subur
mencerahkan dan menerangi jalan hidupnya dengan cinta dan kebenaran. Karena
bantuan yang tanpa pamrih ini, Gandhi akhirnya menularkan sifat itu pada
orang-orang sekitarnya hingga terbentuk semacam perkumpulan kekeluargaan kecil
di Johannesburg yang menjadi cikal-bakal ashram milikinya di India.
Pakaian Eropa yang selama ini membalut tubuhnya demi gengsi
ditanggalkannya jauh-jauh. Di Johannesburg Gandhi mendirikan Korps Ambulans
India untuk orang-orang Inggris di Natal saat terjadi perang dengan orang Boer.
Gandhi juga mendirikan media Indian
Opinion demi melawan perbudakan dan penindasan hak-hak Orang India di
Transvaal. Tapi jalur perjuangan Gandhi bukanlah revolusi ala Komunis. Garis
perjuanagn Gandhi ditempah oleh ajaran Bhagavad
Gita yang mengalirkan lautan kebijaksanaan padanya. Gandhi menyebut garis
perjuangan ini sebagai Satyagraha yang
terdiri dari dua kata, Satya (kebenaran)
dan agraha (memaksakan, keras kepala,
bandel) yang berarti keras kepala
berpegang teguh pada kebenaran. Implikasi dari prinsip satyagraha adalah perjuangan tanpa kekerasan (nirkekerasan) atau ahimsa.
Ahimsa adalah metode sementara Satyagraha adalah tujuan. Sehingga
melawan bagi Gandhi bukanlah menaklukan lawan melainkan merangkulnya pada
tujuan yang sama. Inilah kampanye perlawanan Gandhi.
Ketika undang-undang pencatatan terhadap Orang India dan
undang-undang black act diberlakukan
di Transvaal, Gandhi melakukan perlawanan pasif dengan mogok makan dan mogok
kerja dan memimpin the great march di
Transvaal. Karena perlawanannya ini Gandhi dipenjarakan, tapi menghadapi Gandhi
adalah membingungkan, sebab perlawanan Gandhi yang nirkekerasan tidak pernah
memicu kerusuhan yang ditunggu-tunggu untuk menangkapnya. Tapi Gandhi tetap
ditangkap. Ia keluar masuk penjara tanpa satupun insiden kekerasan yang
ditimbulkannya. Karena kegigihan perjuangan ini, Gandhi akhirnya mendapat
kesempatan bertemu dengan Jendral Jan Smuts (gubernur Jendral Transvaal) untuk
membicarakan tuntutannya.
Dalam kesempatan itu, dengan nada sangat bersahabat Gandhi
menyampaikan kepada Jendral Jan Smuts: “Aku datang untuk memberitahumu bahwa
aku akan berjuang melawan pemerintahanmu”.
Jendral Smuts tertawa mendengar kata Gandhi, “maksudmu kamu
datang kemari untuk mengatakan itu, apa ada yang lain?” jawab Smuts sambil
tertawa.
“Ya,” jawab Gandhi. “Aku akan menang”.
Smuts yang sedang tertawa tercengan mendengar jawaban Gandhi,
“Baiklah, dan bagaimana kau akan mengalahkanku?” Tanya Jendral Smuts.
Gandhi tersenyum dan mengatakan: “dengan bantuanmu”.
Dialog singkat di atas menggambarkan dengan jelas bagaimana
Gandhi memperlakukan musuhnya dengan penuh kehormatan. Karena perlakuan hormat
seperti itu Jendral Smuts pada akhirnya menjadi sahabat Gandhi dan pada 1914
undang-undang perlindungan warga India ditetapkan dan undang-undang pencatatan
kewarganegaraan India dicabut. Ini adalah kemenangan pertama Satyagraha yang kemudian juga berhasil
mengalahkan penjajahan Kerajaan Inggris di India.
***
Afrika Selatan adalah tempat Gandhi menempah dirinya menjadi
jiwa yang mulia. Di sanalah nama Mohandas Karamchand Gandi merangkak mencapai
Mahatma (jiwa yang agung) Gandhi. Jalan hidup Gandhi adalah memurnikan diri
dengan cara menihilkan ego dan kepentingan diri sendiri sebab sumber dari
segala sumber perselisihan adalah kepentingan pribadi yang menghalangi
kemurnian penilaian kita. Selain itu ajaran Gandhi adalah cinta yang tanpa
batas, mencintai tanpa batas adalah antitesa dari kebencian, bahkan cinta yang
tanpa batas tidak terkecuali pada mereka yang membenci kita bahkan cinta pada
musuh kita. Oleh Karen itu, Gandhi tak pernah membalas kekejaman musuh dengan
kekejaman. Rantai kekejaman, amarah dan balas dendam hanya bisa putus jika
dibalas dengan kasih sayang dan tanpa kekerasan. Bahkan pernah sekali leher
Gandhi dicekik oleh seorang lelaki besar, Gandhi malah tersenyum tanpa melawan,
hingga lelaki tadi jatuh tersungkur di kaki Gandhi.
Gandhi adalah jiwa yang merdeka dan melangkah seringan angin.
Diumurnya yang ke-70, ia masih bisa berjalan dan mengusahakan perdamaian dalam
kerusuhan Hindhu-Islam. Ia berjuang bersama sahabat muslimnya yang juga anti
kekerasan, Khan Abdul Gaffar Khan. Saat konflik terjadi Gandhi tak pernah
gentar, ia berjalan sendiri menuju jantung konflik untuk menyuarakan perdamaian dan ajaran Satyagraha. Ia berjalan sendiri tanpa senjata, hanya ditemani tongkat kecilnya.
Bagi Mahatma Gandhi ketakutan tidak lagi ada pada seorang yang telah memurnikan
dirinya, sehingga ia tak lagi membuthkan senjata. Pada 1946 Gandhi ditembak didadanya
oleh seorang pemuda saat melakukan doa bersama demi penyelesaian konflik
Hindhu-Islam. Saat peluru menembus tubuhnya dan jatuh, bibir Gandhi tak pernah
berhenti berkata Rama, Rama, Rama…
sampai nyawanya melayang. “Rama, Rama,
Rama” berarti aku memaafkanmu. Sanggupkah
kita berkata demikian pada pembunuh kita? jiwa Gandhi telah benar-benar tumbuh menjadi agung.
Buton
Utara, 23 Februari 2016.