Pemandangan di Danau Sentani |
“Bapa,
saya akan selalu mengingat semua yang telah bapa ajarkan, akan kujadikan
sebagai pegangan hidup. Saya masih ingat kata bapa: hidup ini jangan hanya
mempedulikan diri sendiri, kita harus pedulikan orang lain ”.
(Emi Marweri)
Gadis 29 tahun dengan rambut ikal itu berdiri sambil memegang
karangan bunga di samping makam ayahnya yang baru saja dikebumikan. Dia adalah
Emi Marweri putri semata wayang almarhum Timotius Marweri, Ondofolo (kepala suku) Kwadeware. Mukanya kusut, pipinya basah oleh
air mata karena tangisan haru yang sejak tadi menyertai pemakaman ayahnya.
Sebelum meletakan karangan bunga, ia diminta oleh pendeta yang memimpin upacara
pemakaman untuk mengucapkan kata terakhrinya. Diselah-selah tangisannya, Emi
berkata pelan sambil terisak: “Bapa, saya akan
selalu mengingat semua yang telah bapa ajarkan, akan kujadikan sebagai pegangan
hidup. Saya masih ingat kata bapa: hidup ini jangan hanya mempedulikan diri
sendiri, kita harus pedulikan orang lain.
Ucapan Emi itu
disambut suara tangisan. Suasana yang tadinya khidmat kini berubah diselimuti tangisan
yang lepas bersahut-sahutan. Semua orang terlihat menyeka air matanya yang
keluar tak tertahankan. Saya yang tadi hanya melihat-lihat juga ikut hanyut
dalam arus emosional ini. Sebenarnya ada banyak pilihan yang dapat saya lakukan
saat itu, tapi saya lebih memilih berempati pada mereka yang sedang kehilangan
kepala sukunya. Saya berharap dengan empati ini saya bisa ikut mengalami apa
yang sedang dialami oleh Orang Kwadeware, dapat menyatu dengan mereka, dan
terutama memahami mereka.
***
Kabar wafatnya Timotius Marweri Kepala Suku Kwadewar tersebar
sampai di Kota Jayapura. Banyak orang berkeinginan mengadiri upacara
pemakamannya. Saya termasuk cukup beruntung, seorang teman di Sentani tiba-tiba
mengabari dan mengajak saya ke Kwadeware: “apa kamu bersedia ikut ke Kwadeware
menghadiri upacara pemakaman Kepala Suku?” begitu tanyanya kepada saya.
Tentu saja saya bersedia, tidak semua yang datang di Sentani
punya kesempatan menyaksikan upacara pemakaman kepala suku (ondofolo). Apalagi teman saya bilang
bahwa Ondofolo yang meninggal ini
sekaligus adalah pemimpin adat tertinggi di Sentani, rasa penasaran saya semakin
tinggi. Tanpa berpikir panjang saya langsung mengemas barang, mengirim pesan
singkat pada teman itu agar tidak lupa membawa kameranya.
Saya dijemput di tempat tinggal saya dan langsung menuju
pelabuhan Yahim. Dari pelabuhan Yahim kami naik sebuah speed boat sekitar 25 menit menuju Kwadeware. Ya, pemandangan di
sekitar Danau Sentani itu tak perlu diragukan, sama seperti kita tak perlu
meragukan nikmatnya ikan mujair Danau Sentani ini. Semua tampak sangat indah dilihat
dari tengah danau. Saya menikmati sentuhan alaminya, hijaunya gunung-gunung dan
segarnya udara siang waktu itu.
Seorang Pekerja Jasa Penyebrangan di Danau Sentani |
Saat tiba di Kwadeware suasana terlihat begitu ramai. Rupanya
ini adalah orang-orang yang datang dari segala tempat untuk menyaksikan
pemakaman Kepala Suku Kwadeware, Timotius Marweri. Ada tenda-tenda kecil yang dipasang
dan di bawah tenda itu berjejer kursi-kursi membentuk lingkaran. Di sana banyak
orang duduk sambil bercakap-cakap dan tentu saja mereka sedang mengunyah
pinang. Di atas mereka ada satu gantungan buah pinang yang bebas diambil bagi
siapa saja yang berminat.
Kami langsung bergabung dengan kumpulan orang di bawah tenda
kecil itu. Kami menjabat tangan semua yang ada di situ dan saya dipersilahkan
mengambil tempat duduk. Tapi saya tidak mau lama-lama duduk di situ, saya tidak
mau kehilangan momentum yang langka ini dan langsung pamit melihat pemakaman
kepala suku. Tiba di sana pemakaman rupanya sudah hampir selesai. Saya hanya
bisa menyaksikan acara peletakan karangan bunga. Di situlah saya melihat Emi
Marweri satu-satunya putri almarhum Timotius Marweri meletakan karangan bunga
yang terkhir. Saya juga menyaksikan iring-iringan semacam drum band yang
disertai alunan seruling. Ini dibunyikan saat upacara pemakaman selesai seiring
dengan bubarnya kerumunan orang. Drum band ini terus dibunyikan sampai di rumah
duka.
Emi Marweri Saat Meletakan Karangan Bunga Pada Makam Ayahnya |
Saya kembali bergabung dengan orang-orang di bawah tenda
tadi. Tapi tak berlangsung lama duduknya, kumpulan kami harus bubar karena
panggilan makan. Rupanya sudah menjadi tradisi di Kwadeware makan setelah acara
pemakaman. Uniknya bukan hanya rumah duka yang menyiapkan hidangan makan,
tetangga-tetangga rumah duka juga ikut menyediakan hidangan makan. Hidangannya
ada papeda (sagu yang dimasak kental)
dengan lauk ikan ekor kuning, pisang rebus, singkong dan tentu saja sayur bunga
papaya. Ah, tunggu apalagi saya langsung menyantap papeda dengan lauk ikan ekor kuning. Kami makan bersama di satu
loyang kecil berisi penuh papeda.
Cara mekannya pun berbeda dengan di daerah Buton, makannya pakai garpu
tradisional yang dibuat dari kayu. Sangking lezatnya saya tidak peduli lagi
garpu itu bekas siapa. Hehe!
***
Lelaki tua itu tersenyum melihat saya. Senyumnya tampak
sangat bersahabat, ia sedang berdiri menunggu perahu untuk kembali ke rumahnya.
Semua orang sudah bersiap-siap kembali, perahu kecil bermesin gantung 40 PK itu
berganti-gantian mengambil penumpang yang baru saja menghadiri upacara
pemakaman Kepala Suku Kwadeware yang sudah selesai. Saya langsung mendekati
lelaki tua yang tersenyum tadi, menjabat tangannya dan tentu saja saya bertanya
tentang upacara pemakaman tadi.
Dari lelaki tua itu saya mengetahui bahwa Emi Marweri yang
tadi menaruh karangn bunga terakhir adalah putri semata wayang Timotius, kepala
suku yang baru saja dimakamkan itu. Dari lelaki tua itu pula saya tahu nama
kepala suku itu. Tapi ketika ia menyebutkan nama kepala suku atau ondofolo, “Timotius Marweri” ia berkata
setengah berbisik pada saya. Saya menangkap satu hal di sini, bahwa menyebut
nama kepala suku bagi Orang Sentani itu sepertinya tidak boleh sembarangan.
Penjelasan lain saya peroleh dari lelaki tua itu muncul
ketika menanyakan berapa umur Emi Marweri dan umur ondofolo Timotius Marweri saat ia meninggal. Lelaki tua itu bilang,
umur Emi Marweri saat ini sekitar 29 tahun, sedangkan Ondofolo Timotius adalah sekitar 60-an tahun. Tanpa saya tanya,
lelaki tua tadi langsung melanjutkan penjelasannya, bahwa idealnya kematian
Orang Sentani itu adalah ketika ia kering di atas tempat tidur, kira-kira
sekitar 100-an tahun. Dahulu kala bila ada Orang Sentani apalagi seorang kepala
suku yang meninggal muda, sekitar 60-an tahun, itu pasti ada penyebabnya yang
tidak biasa. Bisa jadi ada kesalahan mengurus adat, atau boleh jadi ada masalah
adat yang tidak tuntas diurus sewaktu menjabat sebagai ondofolo. Biasanya tokoh-tokoh adat akan mencari tahu apa penyebab
kematian itu beberapa saat setelah kepala suku dimakamkan. Lagi-lagi lelaki tua
tadi berbisik saat menjelaskan hal ini. Tapi katanya, untuk saat ini Orang
Sentani sudah percaya pada ajaran agama Kristen. Mereka sudah tahu bahwa hidup
dan mati itu bukanlah kuasa manusia, ada kekuatan lain di luar diri manusia yang
menentukan hidup matinya manusia, yakni Tuhan Allah.
Ah, perbincangan ini semakin menarik saja, tapi sayangnya
saat itu pula lelaki tua tadi harus pamit pulang karena perahu yang
menjemputnya sudah datang. Ia pamit pada saya, menjabat tangan saya dan berkata
“sampai jumpa ade, bapa mau pulang dulu”. Kemudian ia naik
perahu dan lagi-lagi ia menatap kearahku sambil tersenyum dan melambaikan
tangannya. Hum, nyaris saja saya mendapat informasi mendalam darinya. Speed boat yang tadi mengantar kami kini
sudah ada, kami langsung naik dan meninggalkan desa Kwadeware.
Baubau,
7 Februari 2016
0 komentar:
Posting Komentar