|
Gambar diambil dari: http://3.bp.blogspot.com |
Ketika menyebut perjanjian Bungaya (Bongaya atau Bongaja), yang
terlintas dipikiran pasti soal kekalahan Gowa dalam menghadapi kedigdayaan VOC
yang ditandai dengan penandatangan perjanjian damai (Gowa di bawa Sultan Hasanuddin
dan Hindia Belanda di bawa pimpinan Laksamana Cornelis Speelman). Tentu saja itu
bagi mereka yang mendalami atau setidaknya pernah membaca sejarah. Tapi bagi
yang tidak pernah sama sekali membaca sejarah, yang terlintas hanya pertanyaan,
“apa itu perjanjian Bungaya?”
Untuk itu saya harus segera menegaskan bahwa tulisan ini tidak diniatkan
untuk menjelaskan sejarah perjanjian Bungaya. Seperti judulnya, tulisan ini
hendak meneropong “kisah kecil” tentang peranan Kulisusu di tengah pergolakan
politik abad ke-17 yang melatar belakangi lahirnya perjanjian Bungaya. Itu pun
dengan penuh kesadaran bahwa tulisan ini hanya berupa sekelumit informasi saja,
mustahil dapat menyajikan informasi yang utuh dan sistematis. Tulisan ini
hanyalah bentuk kegelisahan saya terhadap lenyapnya peran Kulisusu dalam telaah
sejarah perjanjian Bungaya itu.
***
Tak banyak yang tahu, di ujung utara Pulau Buton bermukim satu suku yang
disebut suku Kulisusu (kulit kerang). Hal ini cukup disadari, karena itu, Orang
Kulisusu diperantauan selalu mengidentifikasi dirinya sebagai suku Buton. Seorang
laki-laki tua asal Kulisusu mengisahkan hal ini. Ia menghabiskan separuh
hidupnya di atas samudra, sudah melewati pelayaran antar pulau di tanah air ini
hingga pelayaran antar Benua. Tapi saat di tanya ia orang apa, jawabannya “saya
orang Buton”. Kisah ini membuat saya sontak bertanya, “kenapa bapak
tidak bilang saya Orang Kulisusu?”, jawabannya jelas, “karena di luar sana orang
lebih kenal Buton ketimbang Kulisusu”. Ini menegaskan posisi kuasa Buton
sebagai kebudayaan dominan yang memengaruhi konstruksi identitas Orang
Kulisusu.
Selain itu, bagi saya hal di atas juga adalah sekelumit fakta yang kurang lebih
menggambarkan suatu ketimpangan: jangankan sejarahnya, sukunya saja banyak yang
tidak tahu. Atau paling-paling orang mengenal Kulisusu dalam sejarah Buton
sebagai salah satu Barata (kerajaan penyanggah) dari empat Barata Kesultanan
Buton yang ada (barata pata palena).
Orang tidak pernah tahu bahwa Kulisusu pernah mengayunkan pedang dan menusukkan
keris di perut Orang Belanda, pernah menentang Kesultanan Buton yang begitu
mesrah berkawan dengan Belanda dan yang luput dari perhatian adalah kemana aliansi
politik Orang Kulisusu saat menghadapi gejolak politik abad ke-17 ini?
Beruntung ada karya Susanto Zuhdi yang mengutip beberapa sumber asing
berbahasa Belanda tetang Kulisusu dalam buku: Labu Rope Labu Wana; Sejarah Buton yang Terabaikan. Sayangnya karya
Susanto Zuhdi tidak mengelaborasi secara lebih jauh tentang Kulisusu. Persoalannya, ternyata nama Kulisusu bukan tidak ada pada naskah-naskah berbahasa Belanda, nama
Kulisusu (Kalentjoesa dalam naskah
Belanda) ada, tapi sayangnya tidak ada peneliti yang tertarik untuk
menelusurinya, mungkin saja Kulisusu tidak menarik dibahasa karena
namanya kurang dikenal sehingga tak punya nilai jual. Atau boleh jadi,
banyaknya akademisi di Kulisusu tapi tidak pernah meneliti dengan seirus
tentang sejarahnya sendiri.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, kemana aliansi politik Orang Kulisusu
di tengah pergolakan politik abad ke-17? Berikut ini akan saya jawab secara
tidak lengkap dan tidak sistematis berdasarkan pada informasi-informasi dari
buku Susanto Zuhdi yang sudah disebutkan di atas.
Zuhdi (2010)
mengisahkan bahwa pada 1662-1663, Kesultanan Buton tengah menghadapai pemberontakan dari Barata Kulisusu dan desa Kumbewaha.
Perlawanan Kulisusu atas Buton tersebut terjadi pada masa sultan La Awu
(1654-1664). Pemberontakan ini rupanya diakibatkan oleh jatuhnya Kulisusu dan
Kumbewaha dalam kelompok-kelompok yang masuk dalam pengaruh Makassar (Zuhdi,
2010:119). Dalam situasi politik semacam itu, sultan La Awu memilih untuk
melakukan intervensi militer, ia mengajukan permohonan bantuan pada raja
Ternate untuk membebaskan Kulisusu dan Kumbewaha dari pengaruh Gowa (Zuhdi,
2010:118-119).
Di tahun yang
sama (1663) Barata Kulisusu juga bermasalah dengan Gubernur Banda, karena orang
Kulisusu membunuh warga bebas (burger)
yang berasal dari Banda. Akibat pembunuhan tersebut, Gubernur Banda bereaksi
keras, ia meminta bantuan kepada Gubernur Ternate dan Gubernur Ambon untuk
bersama-sama menghadapi perlawanan orang Kulisusu (Zuhdi, 2010:119). Menurut
Fraassen, saat itu sultan Ternate Mandarsyah mengirim bantuan berupa satu ‘chialoup’ dengan empat kora-kora yang bergerak dari kepulauan
Sula menuju ke Buton untuk bersama angkatan perang Buton menghukum Kulisusu,
hasil ekspedisi ini tidak diketahui, akan tetapi, pada tahun 1663 penduduk
Kulisusu tidak dikirim ke Ternate (Zuhdi, 2010:119). Dalam tradisi lisan Orang
Kulisusu, perang ini disebut sebagai “Perang
Tobelo”.
Dengan bantuan
armada dan pasukan yang besar, perlawanan orang Kulisusu akhirnya dapat
dipadamkan. Dan mengenai keberadaan orang Kulisusu di Ternate, terjadi pada
1667, yakni setelah armada Gowa dapat ditaklukkan oleh pasukan Speelman yang dibantu
Ternate di perairan Buton (Zuhdi, 2010:119). Karena keberhasilan tersebut,
termasuk keberhasilan membebaskan Barata Kulisusu dari pengaruh Gowa, Ternate
merasa berhak atas wilayah Kulisusu dan meminta sebagian penduduknya untuk
dibawa ke Ternate (Rudyansjah, 2009:224). Selain persoalan hadiah yang
diinginkan Ternate itu, dari segi kedaulatan menurut MvO J.H. Tobias Buton
mempunyai masalah kekuasaan teritorial dengan ternate, beberapa wilayah
kekuasaan Buton diklaim sebagai wilayah Ternate, seperti Tiworo, Wawonii dan
Kulisusu (Zuhdi, 2010:117). Hal ini sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut:
“[...] waren
nog voor weinige jaren onnenigheden ontstaan omtrent hunne (Ternate:sz) regte op de lanstreken wowona, Tioro, en Kalentjoesa [...]”
Artinya:
“masih untuk beberapa tahun perselisihan tetap
mengenai hak ternate atas daerah wowona (baca juga wowoni), Tioro (Tiworo) dan
Kalentjoesa (Kulisusu)” (Zuhdi, 2010:117).
Pada bulan Juni
1667 (beberapa bulan sebelum penandatanganan Perjanjian Bungaya), pihak VOC dan
Buton menandatangani kontrak yang disaksikan sultan Ternate Mandarsyah dan
Kapitan Laut Reti. Saat itu, Buton menginginkan agar Barata Kulisusu kembali ke dalam wilayah kekuasaannya (Zuhdi, 2010:119).
Sementara itu, Ternate bermaksud untuk membawa orang Kulisusu sebagai hadiah
dari bantuannya menaklukkan Gowa. Persoalan ini kemudian menimbulkan konflik perbedaan
kepentingan antara Buton dan Ternate. Di pihak Kesultanan Buton, Kulisusu dianggap
sebagai salah satu barata
(vassal)nya, sedangkan bagi Ternate orang kulisusu dapat menambah penduduknya
yang minim, akan tetapi nampaknya mereka dijadikan budak oleh orang Ternate
dibawah para bobato (Zuhdi, 2010:119).
Sesudah penandatanganan perjanjian Bungaya pada 18 November 1667, Kapitan Laut Reti membawa
orang Kulisusu ke Ternate pada tahun 1690 (Zuhdi, 2010:119).
Dari penjelasan
di atas dapat dilihat arah aliansi politik Orang Kulisusu pada saat itu adalah
ke Kesultanan Gowa. Dengan cara demikian, Orang Kulisusu mengobarkan perlawanan terhadap kekuasaan
Belanda. Namun sayangnya pemberontakan Orang Kulisusu ini dapat dipadamkan dan
Gowa sendiri akhirnya dapat dipukul mundur hingga menyerah pada 1667. Tapi,
perlawanan Orang Kulisusu tidak berakhir di sini, dan hubungan kerjasama dengan
Gowa dan sekitarnya tidak putus. Api perlawanan terus-menerus dikobarkan walau
harus berakhir dengan kekalahan. Berikut ini akan saya ceirtakan narasi lokal
mengenai perang Tobelo.
Di masa
pemerintahan La Ode Ode, pasukan Ternate yang dikenal sebagai pasukan Tobelo
pernah merongrong kedaulatan barata
Kulisusu. Coppenger (2012) menyebutkan bahwa pasukan Tobelo saat itu dipimpin
oleh Kapiten Maranua, sementara menurut Abu Saru, dipimpin oleh Kapten Soroasa,
dan menurut Zahari dipimpin oleh Tomba Mohalo (Zahari, 1977). Dalam pertempuran
itu, panglima perang Barata Kulisusu yang bernama La Ode Gure bergelar Raja Jin tewas terbunuh oleh pasukan
Ternate. Raja Jin dianggap sebagai
salah satu pahlawan di Buton Utara yang gugur dimedan tempur (Hadara, 2010).
Makam Raja Jin dapat kita jumpai dalam wilayah benteng Lipu. Akibat kekalahan
ini, orang Kulisusu mengungsi ke bukit Bangkudu dan mendirikan benteng
pertahanan yang disebut “benteng Bangkudu”. Dibenteng ini orang Kulisusu tetap
mengobarkan perlawanan atas Belanda dan Tobelo atau Ternate.
Pasukan Ternate
kemudian menangkap sejumlah 40 orang termasuk putri La Ode-Ode yag bernama Wa Ode Kotanda untuk dibawa sebagai tawanan
perang ke Ternate. Menurut Dihasa, setelah Sultan Ternate mengetahui bahwa Wa
Ode Kotanda adalah cucu dari Sultan Buton ke-4 La Elangi, maka Wa Ode Kotanda
dilepaskan dan dipulangkan ke Kulisusu bersama rombogan yang berjumlah 20
orang. Sehingga masih tersisah 20 orang lagi di Ternate, inilah kemudian yang
menetap di Ternate dan sampai sekarang keturunan mereka masih mengakui Kulisusu
sebagai daerah asalnya. Zuhdi (2010) mengatakan bahwa nama Kulisusu sampai sekarang
dapat ditemukan di Ternate yakni sebagai soa
Kulisusu yang terletak di sebelah utara kedaton dan sebagai kampung yang kulisusu
terletak di sebelah selatan kedaton. Soa Kulencusu
atau Kulisusu terdiri dari orang Kulisusu yang dipindahkan ke Ternate dalam
abad ke-17 (Zuhdi, 2010:122-123).
Kekalahan orang
Kulisusu melawan tiga pasukan (Buton, Belanda dan Ternate) tidak hanya
menimbulkan kerugian materil dan ditangkapnya orang Kulisusu yang di bawa ke
Ternate. Terjadi pula intervensi kultural yang kuat dan menyebabkan beberapa
tradisi budaya juga ikut berubah. Perubahan itu diantaranya adalah arah makam
dan tradisi menginjak vosil kulit kerang (kulisusu)
sebagaimana diungkapkan berikut ini.
Terjadinya Kulisusu ini di
injak setelah masuknya perang Tobelo dan masuknya Wolio. Awalnya tidak boleh di
injak. Tobelo merupakan suku Tobelo yang ada di Ternate yang masuk bersama
Wolio ke Kulisusu untuk yang mempengaruhinya, itulah sehingga terjadi Kulisusu
ini diinjak. Sedangkan kuburan kalau aslinyakan menghadap Utara-Selatan, ketika
disujudkan akan menhadap kiblat, tetapi setelah penyerangan Tobelo yang bekerja
sama dengan Wolio dan Belanda, maka arah kuburan itu berubah menghadap barat
laut, ketika disujudkan akan menghadap Wolio. Kalau kuburan asli dulu menghadap
Utara-Selatan sebelum masuk perang Tobelo. Jadi ketika disujudkan mayat akan
menghadap ke kiblat, kalau sekarang bukan lagi menghadap kiblat, menghadap ke
Wolio karena itu pengaruh dari Wolio sama dengan arahan untuk menginjak
Kulisusu ini karena pengaruh dari Wolio (Kasim, wawancara 29 Mei 2014)
Tampak jelas dari kutipan wawancara di atas bahwa perang Tobelo di
Kulisusu adalah perang melawan tiga pasukan yakni Belanda, Ternate dan Buton
sendiri. Hal ini sesuai dengan penjelasan Zuhdi (2010) yang telah kita
bicarakan sebelumnya. Sesudah perang tersebut, intervensi kuasa Buton atas
Kulisusu ternyata semakin kuat, hingga merambah ke persoalan tradisi budaya,
seperti telah disebutkan di atas yakni perubahan arah makam yang awalnya
menghadap arah Utara-Selatan berubah arah menghadap kiblat agar ketika kepala
mayat di putar ke arah kanan (disujudkan), maka mayat tersebut akan menghadap
persis di wilayah Kesultanan Wolio/Buton. Hal ini dalah simbol penaklukkan yang
serius sebab tidak hanya urusan kaetika hidup, saat matipun orang Kulisusu
wajib berkiblat ke Buton. Selain itu tradisi menginjak vosil kulit kerang (kulisusu) yang dilindungi dalam keraton
Barata Kulisusu adalah suatu simbol kekalahan, karena dengan menginjak simbol
wilayahnya berarti orang Kulisusu sama dengan menginjak harga dirinya sendiri.
Hal ini seperti ditulis oleh Jaadi (tanpa angka tahun) dalam naskah Lokal: Nama-nama Daerah Ini (Kulisusu):
Kaum veodal menetapkan bahwa tiap pengunjung/pendatang diharuskan
menginjak vosil Kulisusu. Seorang pendatang namun telah berpuluh kali
berkunjung ke daerah ini bila belum menginjak vosil Kulisusu di katakan bahwa
oknum bersangkutan belum pernah ke Kulisusu [...] Maksud dan Tujuan/Nilai
Tradisional Menginjak lahir-bathin putra-ptri Kulisusu.
Kaum feodal yang dimaksudkan adalah penjajah Belanda yang dalam hal ini
bekerjasama dengan Buton dan Ternate untuk menumpas pemberontakan orang
Kulisusu dalam perang yang dikenal sebagai perang Tobelo (1663-1667). Padahal
sebelum kekalahan dalam perang itu, orang Kulisusu tidak pernah menginjak vosil
kulit kerang itu. Jaadi dalam naskah yang sama menuliskan tata tertib
mengunjungi vosil kulit kerang itu.
Tiap pengunjung yang berasal dari luar daerah Kulisusu (bukan pribumi) Mansuana berkewajiban mengantarnya ke
vosil Kulisusu. Mansuana melekatkan jari telunjuk kanannya pada vosil Kulisusu
kemudian jari telunjuk kanan Mansuana dilekatkan pada dahi pengunjung
(merudukuni). Upacara semacam ini hanya sekali seorang. Pada kunjungan ke dua
tdak lagi di rundukuni [...] Maksud dan Tujuan/Nilai Tradisional: Suatu janji
atau suatu pengakuan bahwa pengunjung bersangkutan bersedia menjunjung
tinggi/menaati segala peraturan tata tertib/adat istiadat pribumi selama
bersangkutan berada di Kulisusu atau tiap kali berada di Kulisusu.
Perampokan Kapal Bark Noteboom
Pada awal 1790,
Buton kembali menghadapi pemberontakan dari vassalnya sendiri yakni Barata Muna
dan Kulisusu (Zuhdi, 2010:257). Pemberontakan orang Kulisusu pada kesultanan
Buton dalam hal ini diperlihatkan melalui perampokan orang-orang Kulisusu
terhadap kapal Belanda, Bark Noteboom
yang karam dan terdampar di teluk Kulisusu. Menurut Zuhdi (2010) perampokan
kapal Bark Noteboom yang karam di
Teluk Kulisusu itu melanggar perjanjian antara VOC dan Sultan Buton pasal 12
kontrak tahun 1766 maupun yang diperbaharui (kontrak tahun 1791) mengatakan
bahwa Buton akan memberi bantuan kepada kapal Kumpeni yang melalui perairan
Buton. Adapun bunyi perjanjian itu (diterjemahkan dari bahasa Belanda) adalah:
Raja butun serta sekalian
mentri-mentrinya dan orang besar-besar sekalian mengaku dan berjanji pada
sekarang sebarang kapal Kumpeni yang lalu dari sana atau sangkut sebab
kekurangan makanan atau kayu atau barang sebagainya seboleh-boleh raja menulung
dia adanya (Zuhdi, 2010:259).
Peristiwa ini
juga dapat dilihat dari sumber lokal dalam kabanti
atau syair Kanturuna Mohelana (lampunya
orang berlayar), yang mengisahkan tentang perang di Kulisusu akibat perompakan
kapal Belanda yang karam di Teluk Kulisusu (Zuhdi, 2010260):
daangiamo
giu ragona karimbi demikianlah berbagai kesulitan
apebaangimo
kapasa iliwuto mulanya kapal karam di pulau
atutunia
kapasa ikolencusu pemberitahuan kapal karam di kulisusu
aegantimo
amarana kompaniya mengingat marahnya Kumpeni
asalimea
kafaka imangengena menghilang asal mufakat lama
waktuuna
zamani inciasiytuu waktu zamannya
osulutani
Abdulu Gafuuru Sultan Abdul Gafur
Muhuyudin Muhuyudin
akalencusu
ato potemboakamo berperang di Kulisusu
sababuna
apewau mo larangi sebabnya berbuat yang dilarang
saincana
kolencusu aturumo yang intinya supaya Kulisusu patuh
Pemberontakan Kulisusu
ini akhirnya berhasil ditaklukkan oleh pasukan Sultan Buton yang diperkuat oleh
pasukan VOC. Kemudian Sultan Buton mengirimkan seratus orang budak dari
Kulisusu kepada VOC sebagai ganti rugi atas kapal yang dirompak orang Kulisusu
(Zuhdi, 2010:261).
Perompakan Kapal Rust en Werk
Susanto Zuhhdi (2010:212)
menerangkan bahwa tenggelamnya kapal Rust
en Werk pada Juli 1752 yang belabuh di Bau-Bau terjadi akibat serangan kelompok
yang dipimpin oleh Frans-Fransz, seorang mantan jurubahasa di Bulukumba. Namun pada bagian sebelumnya Zuhdi (2010) juga
menyebutkan bahwa perompakan kapal Rust
en Werk dilakukan oleh orang Kulisusu. Karena itu perlu ditegaskan bahwa kelompok
yang dipimpin oleh Frans tersebut termasuk didalamnya adalah orang-orang
Kulisusu yang dikatakan Zuhdi (2010) merompak kapal Rust en Werk pada bulan Juli 1752. Menurut Ligtvoet, Frans kemudian
bertahan di wilayah Kobaena sampai akhirnya
Franz dan pengikutnya-pengikutnya berhasil ditaklukan. Frans sendiri
terbunuh oleh Kapiten melayu yang ambil bagian dalam operasi penumpasan
tersebut (Zuhdi, 2010:212).
Penjelasan di
atas sangat kontras dengan penjelasan Ali Hadara (2010) dalam laporan
penelitiannya di Buton Utara yang
menjelaskan bahwa kapal Rust en
Werk ditenggelamkan oleh La Ode Gola (Wa
Opu yi Loji). Hadara (2010) mengatakan bahwa kapal Rust en Werk yang dipimpin oleh Van den Burg berhasil
ditenggelamkan oleh La Ode Gola dan pasukannya di perairan laut Banda dekat
pelabuhan desa Wa Ode Buri. Hadara juga menyimpulkan bahwa menurut tradisi
lisan nama Wa Ode Buri berasal dari nama Van den Burg.
Saya akan menelusuri
dan memaparkan beberapa kekeliruan yang dijelaskan oleh Hadara (2010): pertama, persoalan tahun tenggelamnya
kapal Rust en Werk dan tahun
kelahiran La Ode Gola. Dijelaskan di atas bahwa kapal Rust en Werk ditenggelamkan di pelabuhan Baubau pada bulan Juli
1752 (pertengahan abad ke-18) (Zuhdi, 2010). Sementara La Ode Gola atau Waoupu yi Loji dilahirkan pada
pertengahan abad ke-19 (Hadara, 2010:94). Hal ini adalah sangat mustahil
terjadi, sebab sehebat-hebatnya orang atau seajaib-ajaibnya orang tidak mungkin
orang yang lahir di abad ke-19 akan terlibat pada peristiwa yang terjadi di
abad ke-18.
Kedua, seandainya kapal yang ditenggelamkan
La Ode Gola dalam penjelasan Hadara (2010) adalah kapal Rust en Werk yang berbeda dengan kapal yang ditenggelamkan Frans
dan pasukannya dipelabuhan Baubau seperti penjelasan Zuhdi (2010), seharusnya
Hadara memberi penjelasan yang lebih detail tentang perbedaan ini. Ironisnya
Hadara jelas-jelas dalam kutipannya merujuk pada Zuhdi (2010). Artinya, kapal
yang ditenggelamkan La Ode Gole dalam penejelasan Hadara (2010) sepenuhnya merujuk
pada kapal Rust en Werk yang sama
yakni kapal yang ditenggelamkan oleh Frans di pelabuhan Baubau. Hanya saja
dalam hal ini, Hadara mengubah tempat kejadian, tahun dan pelaku peristiwa. Hal
ini adalah sebuah kekeliruan yang serius dalam ilmu sejarah jika seorang
sejarawan untuk kepentingan tertentu merubah tahun peristiwa, pelaku peristiwa
dan tempat kejadian hingga tidak sesuai dengan sumber rujukannya. Dengan
demikian penjelasan Ali Hadara tersebut perlu kita ragukan kebenarannya.
Terlepas dari
perbedaan pendapat di atas, menurut pendapat saya, perlawanan orang Kulisusu
merupakan bentuk ketidak senangan kerajaan Kulisusu terhadap VOC dan juga
sebagai bentuk protes terhadap kerajaan Buton yang mau berkompromi dengan
Belanda. Hal yang tidak dapat juga dinafikan bahwa munculnya pengaruh dari Gowa
yang juga ikut mendorong perlawanan orang Kulisusu terhadap kesultanan Buton
yang bekerjasama dengan Belanda. Setiap pemberontakan
yang dilakukan oleh kerajaan Kulisusu selalu dapat dipadamkan dengan bantuan
Ternate dan VOC.
Perlawanan Waopu yi Loji
Menurut Hadara,
Waopu yi Loji lahir di Loji pada pertengahan abad ke-19 dengan nama asli La Ode
Gola (Hadara, 2010:94). Ia berasal dari kaum bangsawan, sehingga dikemudian
hari Ia dapat menjabat sebagai Lakino Kulisusu (jabatan untuk bangsawan).
Hadara menceritakan bahwa sejak kecil La Ode Gola telah menunjukan sifat
keberanian untuk menentang sesuatu yang dianggap tidak benar. Waopu yi Loji
dikenal sangat gigih melawan Belanda.
Waopu yi Loji
diyakini memiliki kesaktian, namun sesakti apapun, mustahil jika dikatakan
bahwa Waopu yi Loji mampu menenggelamkan Kapal Rust en Werk yang tenggelam pada tahun 1752 oleh pasukan
Frans-Franz (bersama orang Kulisusu) dua abad sebelum Waopu yi Loji lahir.
Adalah mustahil mengatakan bahwa orang yang lahir pada pertengahan abad ke-19
dapat memimpin serangan yang dapat menenggelamkan kapal Rust en Werk pada pertengahan abad ke-18 sebelum dia sendiri lahir
ke dunia. Lagi-lagi Hadara (2010) melakukan kesalahan yang sama, tidak
memerhatikan dimensi waktu. Sekalipun demikian, kita tak dapat menyangkal bahwa
Waopu yi Loji adalah salah satu pahlawan Buton Utara yang gigih melawan
penjajah Belanda pada masanya. Waopu yi Loji menjabat sebagai Lakino Kulisusu
selama dua periode yakni pada tahun 1875-1890 dan tahun 1905-1914.
Menurut Hadara
(2010), pemerintah kolonial Belanda mencampuri urusan rumah tangga Barata
Kulisusu, pada 1906,
yang menimbulkan kebencian dan kemarahan warga terhadap VOC. Waopu yi Loji pada
waktu itu menjabat sebagai Kapitano
Suludadu (panglima perang) tampil dengan sangat gigih untuk mengusir
penjajah di tanah Kulisusu.
Kata-kata yang
menjadi prinsip Waopu yi Loji saat melawan Belanda: “Kulisusu ai, awunopo, walonopo kai pinaporiporipo”(Kulisusu ini
biar nanti sisa-sisa abunya baru disatukan kembali). Pernyataan itu
menggambarkan sebesar apa semangat juang yang dimiliki oleh Waopu yi Loji dalam
melawan penjajah Belanda. Tidak perduli negerinya (Kulisusu) akan hancur
menjadi debu, ia akan tetap melawan Belanda, sebeb ia yakin bahwa suatu saat
nanti negeri ini (Kulisusu) akan dibangun kembali dari puing-puing kehancuran. Petetea (tempat peperarangan) yang
sekarang diabadikan menjadi nama sebuah desa di Kulisusu Utara merupakan tempat
dimana Waoupu yi Loji melancarkan serangan kepada pihak Belanda.
Waopu yi Loji
dalam perlawanannya berhasil menenggelamkan kapal Belanda di perairan Laut
Banda dekat pelabuhan Labusa Desa
Lelamo sekarang. Menurut Hadara, kapal itu adalah kapal Rust en Werk. Namun bukan berarti bahwa tidak benar Waopu yi Loji
adalah pejuang yang pernah menenggelamkan kapal Belanda yang dipimpin oleh Van
den Burg. Hanya kapal tersebut bukanlah kapal Rust en Werk seperti halnya Kapal Rust en Werk yang dibahas oleh Susanto Zuhdi dalam buku Labu Rope Labu Wana (2010). Dengan
demikian kita berkesimpulan bahwa tidak diketahui secara pasti kapal apa yang
ditenggelamkan oleh Waopu yi Loji semasa dia hidup. Orang Konawe Selatan
mengenal Waopu yi Loji sebagau Lakino Ngguliusu (Kulisusu).
Pada tahun 1914
Waopu yi Loji melancarkan serangan besar-besaran kepada pihak Belanda. Dalam
penyerangan itu Waopu yi Loji tertangkap oleh VOC dan selanjutnya tidak
diketahui keberadaannya. Versi lain menjelaskan bahwa Waopu yi Loji tidak bisa
ditangkap oleh tentara Belanda, sehingga Belanda meminta bantuan kepada Buton
untuk memadamkan perlawanan Waopu yi Loji. Maka di utuslah Lakino Nambo di
Wolio (Buton) yang merupakan rekan seperjuangan Waopu yi Loji. Karena didatangi
oleh sehabatnya sendiri yang juga membawa perintah dari Sultan Buton, maka Waopu yi Loji bersedia menyerahkan diri
kepada pihak Belanda. Pasca penangkapan Waopu yi Loji, tidak diketahu secara
pasti kabar beritanya. Ada yang beranggapan bahwa Waopu yi Loji diasingkan ke
pulau Muna ada juga yang mengatakan bahwa Waopu yi Loji diasingkan ke Nusa
Kambangan. Ada juga yang beranggapan bahwa Waoupu yi Loji di asingkan di
Sulawesi Selatan dan meninggal di dalam penjara (tabua) karena disetrum.
Pendapat lain
lagi mengatakan bahwa Waopu yi Loji tidak meninggal karen disetrum, saat berada
dalam tahanan di Sulawesi Selatan dia bertemu dengan Iman Idrusein dan mengajak
para tahanan untuk memberontak. Namun tak satupun di antara para tahanan yang
mau mengikuti ajakannya. Karena itu, Waopu yi Loji berpesan bahwa dia akan
meninggal esok hari saat selesai shalat Zuhur. Pada keesokan harinya Waopu yi
Loji ditemukan telah meninggal dunia, namun saat prosesi pemakaman berlangsung,
tiba-tiba terdengar suara ghaib dari Waopu yi Loji yang mengatakan bahwa dia
akan pergi, tetapi dimanapun daerah yang kacau, dia akan muncul dalam kekacauan
itu. Versi ini menganggap sampai sekarang Waopu yi Loji belum meninggal dan
selalu muncul di daerah-daerah yang mengalami konflik seperti kekacauan yang
pernah terjadi di Poso dan Ambon. Pendapat lainnya lagi mengatakan bahwa Waopu
yi Loji mati ditenggelamkan oleh Belanda di perairan pulau Maginti (sebuah
pulau di Kepulauan Tiworo). Tak ada yang tahu pasti mengenai hal itu, yang
jelas Waopu yi Loji adalah pahlawan Kulisusu yang patut kita contoh
semangatnya.
Terlepas dari
sikap heroik itu, sepak terjang Waopu yi Loji juga meninggalkan sedikit ceritra
kekejaman terhadap petani yang bernama Tambera. Tambera adalah seorang petani
ulet dan rajin, namun Ia membangkang untuk membayar pajak atau upeti kepada negara: menyerahan
hasil-hasil pertanian kepada kerajaan. Karena kesalahan itu Tambera di Bunuh
oleh Waopu yi Loji. Sampai sekarang nama Tambera diabadikan sebagai nama sebuah
lokasi pertanian di Buton Utara, tepatnya ditentangan antara desa Tomoahi dan
Ulunambo. Hal ini juga sebagaimana dinyatakan oleh Lakino Kulisusu, La Ode Ahlul Musafi bawha:
“Sebenarnya Kulisusu pernah mengadakan perlawanan atas Buton ketika
Buton menjalin hubungan kerjasama dengan VOC. Pada zaman La Ode Gola atau Waopu
yi Loji Kulisusu tidak lagi ikut Wolio. Semua keturunan Oputa Yi Koo datang ke
Kulisusu untuk menentang Belanda” (La Ode Ahlul Musafi, wawancara, 16 Maret
2014).
Berdasarkan kutipan di atas, pembangkangan atas kesultanan Buton tidak
lepas dari pengaruh bangsawan (kaomu)
yang menentang kehadiran VOC di tanah Buton. Dengan demikian, keretakan adat Wolio
sudah sejak lama berlangsung. Sekalipun keretakan adat menurut Rudyansjah
terjadi setelah Belanda mencampuri urusan rumah tangga kesultanan Buton
tahun1906 (Rudyansjah, 2009:222), Namun, gejolak antara pemrintah pusat dan
pemerintah Barata, yang dipelopori
oleh para bangsawan sendiri, menunjukan keretakan keterpaduan adat.
Untuk menghadapi pemberontakan Barata
Kulisusu, kesultanan Buton memperlihatkan tipe pemerintahan yang otoriter,
yakni dengan melakukan intervensi militer. Lakino Kulisusu, La Ode Ahlul
Musafi, juga menceritakan bahwa pada masa kekuasaan sultan Buton terakhir La Ode Muhamad Faalihi,
beberapa orang dipenggal kepalanya seperti Aniyhu agar Kulisusu tunduk terhadap
kekuasaan Buton. Selain itu Sultan Buton juga melakukan pendekatan persuasif
atau dalam bahasa Kulisusu ndo nea-nea
inda agar Kulisusu tunduk terhadap kekuasaan Buton. Dengan demikian,
Kulisusu sampai tahun 1959 masih merupakan bagian dari kesultanan Buton sampai
kemudian dipisahkan oleh politik pemekaran Kabupaten Muna, sebagaimana telah
disinggung dipendahuluan[].