Serangkaian
peristiwa tengah kita saksikan disebuah abad baru dunia, sebuah abad yang
menjadi inspirasi setiap manusia bahkan sebuah abad yang cukup menentukan arah
keberadaban manusia. Jika kita membuka lembaran sejarah sejak masa purba, dimana
perkembangan evolusi pemikiran manusia berjalan lambat bahkan sangat lambat, Perlu
waktu berabad-abad lamanya manusia sampai pada perilaku hidup berburu dan
kemudian bercocok tanam. Dimana sebelum itu masa purba sangat identik dengan
cara hidup food gathering (hidup
berpindah-pindah untuk mencari makanan)
Perubahan
itu sebagian ahli menyebutnya revolusi agraria yang membentuk perwatakan
manusia untuk hidup menetap pada suatu tempat. Berjalan pula beberapa abad
lamanya sampai revolusi industri meledak di Inggris (1830-1870). Sejak revolusi
ini, manusia telah memasuki babakan baru yakni era industrialisasi. Namun yang
paling menakjubkan adalah perubahan dari era industri menuju ke era informasi
hanya membutuhkan beberapa dekade saja.
Perubahan
ini menimbulkan pelbagai hipotesis dari para ahli diberbagai disiplin ilmu
seperti ilimu alam yang menyatakan adanya akselerasi perubahan kehidupan
manusia menuju masa depan yang rumit. Hal ini mengisaratkan bahwa manusia akan
mampu menembus ruang dan waktu yang dulu dianggap mustahil dapat dicapai.
Tentunya ilmu-ilmu sosial tidak akan tinggal diam dalam menghadapi perubahan-perubahan
besar seperi itu.
Francis
Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption;
Human Nature and the Reconstitution oh Social Order (guncangan besar; kodrat manusia dan tata
sosial baru) menggambarkan serangkaian iklan televisi yang disiarkan selama
Pesta Olimpiade Musim Panas 1996 di Atlanta, Georgia. Disponsori oleh sebuah
perusahaan besar Amerika yang bergerak dibidang telekomunikasi, tayangan ini menujukan
sejumlah atlet berotot dan terlatih yang melakukan hal-hal luar biasa, seperti
berlari mendaki dinding gedung pencakar langit, melompat dari atas bukit
kedalam jurang yang sangat dalam, dan meloncat dari atap gedung pencakar langit
yang satu ke atap gedung pencakar langit yang lain. Iklan itu dikemas dibawa
tema “Tanpa Batas”. Lanjut Fukuyama, disadari atau tidak, tubuh perkasa sang
atlet menimbulkan bayangan Superman ciptaan
filsuf Nietze, makhluk setengah dewa yang tak teikat oleh aturan moral biasa.
Gambaran
dalam iklan itu menurut Fukuyama merupakan gambaran masa depan yang “tanpa
batas” yang dipromosikan lewat media masa. Gambaran itu memuat kehancuran
tatanan kehidupan lama oleh hegemoni peradaban baru manusia. Tampaknya
peradaban manusia dimasa depan akan berbeda dengan masa lalu seperti yang
dikatakan Toynbee seorang sejarawan Inggirs bahwa masa lampau lebih sebagai
rangkaian peradaban dari pada entitas politik. Kenyataannya, peradaban masa
depan akan didominasi oleh pertarungan ekonomi skala dunia.
Keruntuhan
nilai-nilai lama tampaknya sedang terjadi persis sama dengan gambaran iklan
tanpa batas diatas. Perlahan tapi pasti setiap bekas negara jajahan
bangsa-bangsa Eropa kini tengah mengalami proses moderniasasi yang rumit.
Sebuah pesan yang mungkin pantas untuk dikatakan sekalipun mengada-ada hari ini
adalah “waspadai gejala amnesia dan anemia sosial”.
Gejala
amnesia sosial berarti terganggunya memori kolektif masyarakat terhadap
nilai-nilai kearifan lokal, dimana amnesia sendiri berarti gangguan daya ingat.
Kemudian anemia sosial merupakan kekurangan landasan nilai budaya untuk
mempertahankan jati diri masyarakat tertentu, dalam bahasanya J.S Coleman
disebut sebgai modal sosial (social
capital). Dalam ilmu kesehatan anemia berarti penyakit yang disebabkan kekurangan
hemoglobin atau sel darah merah. Amnesia dan anemia sosial dalam pengertian ini
seperti dua gambar dalam satu mata uang logam yang sama, atau lebih pantas
dikatakan amnesia atau hilangnya memori masa lampau akan menyebabkan anemia sosial
yakni kurangnya landasan nilai sebagai tempat berpijak yang pasti.
Kedua
penyakit yang disebutkan diatas, sekarang nyata sedang terjadi di berbagai
belahan dunia. Tak terkecuali mulai dari negara-negara produsen tekhnologi
informasi sampai kepada negara-negara konsumen tekhnologi (kebanyakan adalah
negara-negara bekas jajahan Eropa). Di Indonesia, saksikanlah perceraian sengit
yang dilakoni oleh para artis yang nota benenya memuja kehidupan ala Barat.
Karena memori kolektifnya telah terganggu atau bahkan hilang terhadap
nilai-nilai luhur bangsa indonesia, maka bagi mereka itu dianggap sebagai hal
yang wajar. Generasi bangsa kita tengah mengalami amnesia dan anemia sosial
yang diperlihatkan secara bangga oleh media masa yang menyiarkan acara-acara
selebriti dan sejenisnya. Anehnya, banyak juga orang yang tertarik menyaksikan
dan membicarakan mereka? Sepertinya kita tidak perlu menutup diri, kedua
penyakit itu telah menyerang secara masal barisan generasi.
Seandainya
hari ini kita melakukan penelitian seperti apa yang pernah dilakukan oleh
Sampson, Stephen Raudenbush, dan Felton Earls yang mengukur apa yang mereka
sebut “kekuatan penggerak kolektif” (collective
efficacy) di lingkungan perkotaan. Mereka mengajukan pertanyaan seperti
sejauh mana seseorang dibagian kota itu tergerak untuk turun tangan jika ada
anak-anak yang mangkir sekolah atau bergerombol di sudut jalan? Apakah
anak-anak menghormati orang dewasa? Atau apakah warga yang dengan tetangganya
tidak saling menggunjing alias “karlota” (dalam bahasa Gorontalo)?
kita akan dapat mengukur apakah gejala amnesia dan anemia sosial telah
bersarang dalam bangunan sosial kita. Atau kita bertanya lagi seberapa sering
terjadi kekerasan ditempat tinggal anda? Pernakah anda melihat seorang yang
cacat ataupun yang tidak cacat sedang duduk mengemis dipinggir-pinggir kota dan
didepan tempat-tempat umum? Ditempat anda seberapa sering tejadi perempuan yang
hamil diluar nikah?
Jika
semuanya telah terjawab, kita akan bertanya lagi lalu kira-kira apakah
penyebabnya?
Ferdinand
Tönies sosiolog berkebangsaan Jerman mengemukakan bentuk-bentuk kelompok sosial
yakni Gemeinschaft dan Gesellchaft . Gemeinschaft merupakan kelompok sosial yang diikat oleh hubungan
batin yang murni bersifat alamiah. Kelompok seperti ini biasanya hidup
dipedesaan yang masih bersifat tradisional, pada kelompok ini, bangunan modal
sosial seperti kerekatan untuk saling bergotong royong, penjagaan keamanan
bersama, masih terjaga dengan baik. Kemudian Gesellchaft lebih berarti kelompok sosial yang dibentuk berdasarkan
kepentingan dan kontrak kerja manusia yang bersifat formal. Kelompok ini
merupakan kelompok yang ditimbulkan oleh masyarakat industrial modern, yang
biasanya mengenal dengan baik sistim kontrak dan pembagian kerja berdasrkan
profesionalitas. Pada kelompok ini, sangat terbuka peluang kepada masyarakat
untuk merobohkan bangunan sosial yang ada.
Menurut
James C. Scott dibeberapa perkumpulan dipemukiman perkotaan masih memiliki
keterikatan kolektif, mereka tidak membutuhkan petugas keamanan formal seperti
Polisi untuk menjaga keamanan sebab secara informal mereka terpanggil untuk
menjaga ketertiban bersama, bagi warga yang melanggar akan dikenakan sangsi
moral terhadapnya. Namun kantannya, banyak lingkungan kota seperti itu
dirobohkan untuk menjalankan proyek perumahan yang sering kali hal itu dilakukan atas nama pembangunan kota
yang sangat modern untuk mewujudkan lingkungan yang serba beres demi keindahan
semata.
Karena
tuntutan modernitas, Masyarakat mulai menjauh dari lapangan sosialnya untuk kemudian
menghitung kepentingan pribadi masing-masing, karena itu memori tentang nilai
akan semakin terkikis dalam memori kolektif masyarakat. Bisa dibayangkan pula
pada keturunan mereka, tetunya memori itu akan semakin hilang dan semakin lama
akan lenyap sama sekali. Disinilah letak persoalan yang mendasar, disatu pihak
memori itu telah hilang, namun dipihak lain generasi dipertontonkan kebudayaan
tanpa batas dari barat bahkan dari para selebritis yang berjiwa tanpa batas
pula. Tidak diragukan lagi akan tercipta generasi anti budaya (menganggap budaya
itu kuno, basi dan lain-lain) sementara kenyataannya mereka sama sekali tidak berbudaya.
Lantas bagaimana dengan masa depan generasi yang tak berbudaya itu? wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar