Setiap 17 Agustus masyarakat Indonesia
dari Sabang sampai Merauke larut dalam perayaan hari kemerdekaannya. Bendera
merah-putih dan lagu-lagu kebangsaan Indonesia memenuhi ruang-ruang di seluruh
pelosok negeri ini. Upacara pengibaran bendera yang dilaksanakan di setiap
satuan pemerintahan: kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan di Istana Negara
telah menjadi tontonan. Bahkan ada komunitas (komunitas penyelam) yang setiap
tahunnya melaksanakan upacara penaikan bendera di dasar laut. Di samping itu, berbagai
jenis perlombaan budaya populer (dance,
game, fashion dan tarik suara) yang diselenggarakan secara masif ikut
mewarnai perayaan hari kemerdekaan. Sangat sulit untuk melihat dan menentukan
motif dari meningkatnya gejala ini: apakah karena nasionalisme yang semakin
bertumbuh, kesadaran historis, ataukah hanya sekadar merayakan rutinitas
tahunan. Tapi tanpa disadari, berbagai perayaan ini telah berubah menjadi
tontonan meriah yang menyita perhatian jutaan mata publik.
***
Bunyi “trap-trap” (mirip orang tepuk
tangan) terdengar di sela-sela musik K-Pop. Saat itu saya baru berada di tangga
naik menuju lantai tiga Makassar Town Square (M'TOS) dan suara itu terdengar semakin kuat. Persis di
depan tangga naik itu sekelompok orang tengah menyaksikan permainan game Maimai dan mereka bersorak setiap kali
game itu selesai dimainkan. Game Maimai adalah
permainan simulasi memainkan alat musik yang dikendalikan melalui sebuah tombol
elektronik. Cukup dengan menekan tombol tersebut, orang yang memainkan game ini
serasa memainkan beberapa alat musik sekaligus: bisa menjadi drummer, gitaris,
pianist ataupun pemain sexophone yang handal dalam waktu yang sama. Game ini tergolong sebagai game ritme yang
diproduksi oleh Sega Corporation, perusahan asal Jepang yang bergerak di bidang
pengembangan video game multinasional. Karena itu, game ini menggunakan irama
musik K-Pop dan tampilan khas Jepang.
Rasa ingin tahu membuatku bergabung dengan kerumunan itu. Di sana terlihat dua orang peserta lomba game ini head to head beradu kecepatan dan
ketepatan dalam memukul tombol mesin sesuai beat
musik dan arah yang tampak di layar game itu. Setelah musik berhenti, muncul
keterangan siapa yang kalah dan menang di antara kedua peserta tadi. Ini kemudian disambut sorak-sorakan
yang meriah oleh para penonton sehingga menyita perhatian para pengunjung Mall
untuk datang menyaksikan pertandingan itu.
|
Dua orang peserta
pertandingan beradu memainkan game Maimai
(Sumber: Nurlin)
Di hadapan panitia terlihat piala
yang siap diboyong oleh pemenang pertandingan game ini. Seorang panitia
kegiatan menjelaskan pada saya bahwa acara ini sekadar iseng-iseng saja, sengaja
dilaksanakan dalam rangka memeriahkan perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Ini
adalah salah satu cara generasi muda perkotaan memeriahkan hari kemerdekaan Indonesia,
yakni menggelar kegiatan yang sifatnya hiburan dan
iseng-iseng saja. Tapi menurutku, hal yang iseng-iseng ini berkaitan erat
dengan cara anak muda perkotaan dalam mendefinisikan dirinya sebagai ‘Orang
Indonesia modern’. Respon terhadap hari kemerdekaan Indonesia menunjukkan
bagaimana mereka aktif mendefinisikan diri sebagai bagian dari anak muda
Indonesia yang menghargai hari kemerdekaannya. Sekalipun kegiatan yang
iseng-iseng itu seolah tercerabut dari makna historisnya, tetapi inilah cara
anak muda masa kini memahami ke-Indonesiaan-nya, sebagai orang yang mampu
berbaur dengan budaya global dan kosmopolitan. Melalui kegiatan yang iseng-iseng ini,
mereka menegaskan diri bahwa “kami adalah Orang Indonesia modern yang tidak
acuh dengan bangsanya”.
Tafsir menjadi Indonesia di sini tidak
serta merta bertentangan dengan gaya hidup modern yang akrab dengan konsumsi
budaya popouler. Tidak seperti asumsi orang-orang yang berpandangan bahwa
menjadi Indonesia dalam perayaan hari kemerdekaan harus dengan refleksi intelektual tetang sejarah dan
spirit para pendiri bangsa Indonesia. Sehingga bagi yang berpandangan seperti itu, merayakan kemerdekaan dengan
hiburan dianggap sesuatu yang sia-sia belaka, tercerabut dari makna historisnya dan bertentangan dengan
spirit kemerdekaan Indonesia. Tapi faktanya, definisi diri sebagai Orang Indonesia masa kini mampu ditegaskan dengan cara ikut arus dalam konsumsi budaya populer. Yang lebih menarik di sini adalah konsumsi budaya populer semacam
ini tidak pula bertentangan dengan sikap hidup Islami (Heryanto 2015). Terbukti
dengan simbol jilbab yang melambangkan gaya hidup Islami turut serta memeriahkan
acara ini tanpa memerhatikan waktu sholat yang diwajibkan oleh agamanya.
Sungguh bertentangan antara simbol dan prilaku. Tetapi inilah fakta yang
menunjukkan bahwa gaya hidup Islami dapat berdialektika dengan dunia
kapitalisme industrial di Indonesia (Heryanto 2015: 39).
Tentu
saja fenomena di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak perayaan hari
kemerdekaan yang dilakukan di masa kini. Di samping rumah saya ada pertandingan
dance yang diikuti oleh ibu-ibu
berjilbab, ada pertunjukan lagu-lagu kebangsaan yang diiringi gitar akustik di
sebuah toko buku yang saya kunjungi saat itu, serta ada banyak
pertandingan-pertandingan lain yang tujuannya untuk memeriahkan hari
kemerdekaan. Tak bisa pula diabaikan, fakta bahwa pasukan pengibar bendera pusaka
(paskibraka) telah menjadi tontonan menarik yang menampilkan beragam simbol:
kecantikan, kegagahan, feminisme dan maskulinitas di lapangan upacara. Pada
akhirnya, hari kemerdekaan tidak hanya menjadi arena
perayaan budaya populer, tapi adalah budaya populer itu sendiri.
| |
|
0 komentar:
Posting Komentar