Abstrak
Tulisan ini mengkaji tentang aksi dan kekerasan masa yang pernah terjadi di Buton Utara tanggal 24 September 2011. Dalam peristiwa itu, 1 buah mobil pemadam kebakaran, kantor DPRD Kabupaten Buton Utara dan Kantor Bupati Buton Utara dibakar karena mejadi sasaran amukan masa. Landasan teori dalam tulisan ini adalah teori aksi sosial Sidney Tarrow dan teori tindakan kolektif Michael Bader. Metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah metodologi kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan dan kajian kepustakaan. Hasil analisa menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi di Buton Utara tanggal 24 September 2011 merupakan gerakan massa yang dipersiapkan, tidak lahir secara spontan, melainkan berasal dari adanya ketimpangan sosial yang terpola akibat proses sosial-politik. Selain itu, disebabkan pula oleh adanya kerapuhan struktur non-materil (sifat yang dibatinkan) masyarakat Buton Utara.
Kata kunci: Aksi Sosial, Massa, dan Tindakan Kolektif,
“tak ada yang lebih menakutkan manusia
dari pada persentuhan dengan yang tidak dikenal”
Elias Canetti.
Masa adalah pertama salinan kabur orang besar,
Kedua pembangkangan melawan orang besar, Ketiga, alat orang besar.
Frederich Nietzsche.
Pengantar
Suasana yang mencekam terlihat diwajah kelompok massa saat mereka mengetahui adanya makhuk buas ciptaan Dr. Frankestein dalam Film Van Helsing. Kerumunan masa itu terlihat berani namun sebenarnya mereka datang atas ketakutan mereka terhadap ancaman-ancaman eksistensi ajaran-ajaran yang mereka anut. Masa tanpa peri kemanusiaan membakar kediaman penelitian sang doktor. Tindakan yang tidak sewajarnya itu menjadi hal yang mesti dilakukan sebab gerombolan massa itu tak lagi melihat Frankestein sebagai manusia melainkan sebagai sesuatu “yang lain” yang pantas dihancurkan.
Pengaburan konsep manusia dalam benak kepala massa membuat wajah massa terlihat buas dan menakutkan. Teriakan-teriakan yang keluar dari kerumunan massa itu menggambarkan betapa marahnya mereka terhadap apa yang mereka benci. Segera setelah objek kebencian itu bersentuhan langsung dihadapan massa, luapan emosi yang tak terkendali membuat objek dalam hitungan menit berada dalam cengkeraman “tangan massa”. Objek tak lagi dinilai sebagai mana dirinya yang normal, melainkan dicitrakan sebagai sesuatu yang lain dan abnormal. Praktek-praktek konsolidasi dalam hal mengadvokasi dan menggerakan massa sangat berjasa dalam proses pecitraan suatu objek sebagai yang abnormal, mejadi yang tidak semestinya ada dan harus dihilangkan. Pencitraan objek ini menciptakan penafsiran yang negatif dalam tafsiran massa. Melalui tafsiran negatif ini, massa menemukan alasan-alasan kemarahannya dan mereduksi citra objek kemarahan dalam kebencian-kebencian yang tak dapat ditoleransi. Dengan demikian, bukanlah hal yang mengherankan apabila kita melihat sekumpulan massa memukuli maling yang tertangkap di pasar, tidaklah menghrankan jika tindakan massa begitu kejam ketika mengusir pengikut sekte atau aliran agama Ahmadyah yang diaggap sesat, juga betapa kejamnya pengusiran para warga terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet. Mereka yang citranya telah terdeformasi dipandang bukan sebagai manusia lagi, melainkan sebagai sesuatu yang menjijikan dan tidak pantas ada.
Luapan kemarahan massa yang membabi buta juga terjadi di Kabupaten Buton Utara tangga 24 September 2011. Dalam kejadian itu, tak butuh waktu lama, dua kantor milik pemerintah yakni kantor DPRD dan kantor Bupati Buton Utara, beserta mobil pemadam kebakaran ludes terbakar oleh massa yang mengatas namakan diri sebagai Penyelamat Undang-Undang. Betapa pemerintah telah terdeformasi sebagai sasaran kemarahan dan amukan massa. Entah apa kesalahan pemerintah dapat dilihat dari nama massa yang terorganisir itu sebagai Penyelamat Undang-Undang. Tentunya nama itu mengandaikan citra yang ditafsirkan oleh massa yang sedang mengamuk. Citra itu megandaikan pemerintah sebagai oknum yang tidak mengindahkan amanah Undang-Undang Nomor 17 Tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara.
Citra pemeritah yang terdeformasi melalui penafsiran dalam kepala massa menjadikan pemerintah sebagai bukan pemerintah melainkan sebagai oknum yang melanggar Undang-Undang yang harus dilawan. Gambaran inilah yang membuat monster berkepala banyak itu sangat agresif melakukan pengrusakan tanpa kendali nilai sebagai sesama manusia atau tanpa rasa hormat lagi terhadap pemerintah. Namun persoalan kemudian adalah benarkah kesalahan pemerintah hanya terletak pada sisi tafsiran Undang-Undang? Adakah penyebab lain yang turut memengaruhi ledakan massa yang sangat destruktif itu?
Tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun penulis disini tidak bertujuan untuk membelah pemerintah, bukan pula mencari kambing hitam, juga tidak memposisikan tulisan ini sebagai naskah hukum atau naskah akademik pemecahan masalah. Tulisan ini tidak lain adalah komentar akademik yang berupaya memahami dan mengomentari sisi lain dari tindakan-tindakan masyarakat (tragedi 24 September) melalui kacamata teori-teori sosial.
To be Continue, click here
To be Continue, click here
0 komentar:
Posting Komentar