Sabtu, 30 Januari 2016

Membicarakan Seni Memahami Ala Schleiermacher

Buku Seni Memahami Karya F. Budi Hardiman
Membincang hermeneutik atau “seni memahami” akan terasa sangat janggal bila kita tidak menyinggung nama dan karya Frederich Daniel Ernst Schleiermacher (1786–1834). Mengapa bisa? Tentu saja bukan karena tokoh ini lebih dulu mengkaji persoalan hermeneutika. Sebelum Schleiermacher, sudah ada pendahulu-pendahulunya yang membahas heremeneutika, seperti Friedrich Ast (1778–1841) dan Friedrich August Wolf (1759–1824). Schleiermacher pantas dikenang karena kemampuannya menarik keluar ilmu hermeneutik dari kungkungan disiplin spesifik seperti kajian teologi, teks-teks kuno atau filologi menjadi kajian hermeneutik umum. Bila dua pendahulunya, Ast dan Wolf lebih mengembangkan heremeneutik dalam lingkup spesifik, untuk memahami teks-teks kuno saja, maka bagi Schleiermacher, heremeneutik atau seni memahami dapat diterapkan secara lebih luas untuk memahami segala ungkapan dalam bahasa, baik itu tuturan maupun tulisan. Karena sumbangsih pemikirannya ini Schleiermacher dijuluki sebagai “Bapak Hermeneutik Modern”.

Sebelum masuk terlalu jauh, saya ingin mengatakan bahwa tulisan ini saya buat bukan karena saya ingin membenarkan atau mau menyepakati pemikiran Schleiermacher. Ini juga bukan riview isi buku. Tulisan ini sengaja saya buat dengan maksud untuk melatih pemahaman saya dengan menceritakan ulang apa yang saya baca dan pahami tentang Schleiermacher dalam buku “Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida”, karya F. Budi Hardiman. Buku ini membahas delapan pemikir hermeneutik, yakni: Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Bultmann, Gadamer, Habermas, Ricoeur dan Derrida. Jika tidak dibebani pekerjaan yang banyak, saya berencana akan mengulas delapan tokoh ini satu persatu dalam tulisan terpisah di blog ini. Untuk mengawali langkah ini, tulisan tentang Schleiermacher saya ketengahkan di sini.

Memahami sebagai Seni
Andi, Ratih, Rahma dan Ardi adalah suatu kelompok pertemanan. Mereka tiap hari bertemu, jalan bersama, bercakap-cakap, dan saling memahami satu sama lainnya. Hubungan mereka begitu akrab sehingga apa yang disebut kesalahpahaman bukanlah persoalan yang membayangi hubungan mereka. Tapi, pertanyaannya: “mengapa kesalahpahaman tidak terjadi di antara mereka?” Jawabannya bukan karena keempat orang ini sangat akrab satu sama lain, melainkan karena Andi, Ratih, Rahma dan Ardi berada pada lingkup pemahaman yang sama, simbol-simbol bahasa yang mereka gunakan dapat dipahami bersama, sehingga proses memahami ungkapan masing-masing menjadi tidak problematis. Namun, kondisi pemaham bersama seperti ini bukanlah titik pijak heremeneutik Schleiermacher. Titik pijak hermeneutik Schleiermacher justru ada pada kondisi ketidaksepahaman dan bagaimana menjembatani ketidaksepahaman itu. Untuk itu, dibedakan dua jenis memahami, yakni: memahami secara spontan dan memahami dengan upaya.

Memahami secara spontan terjadi karena penutur dan pendengar berada dalam konteks pemahaman yang sama, sehingga memahami menjadi tidak problematis. Oleh karena itu, tidak dibutuhkan upaya khusus untuk memahami. Satu sama lain. Contohnya adalah pertemanan empat orang (Ardi, Rahma, Ratih dan Andi) yang telah diilustrasikan di atas. Sementara itu memahami dengan upaya terjadi bila pendengar dan penutur berada dalam konteks ketidaksepahaman sehingga memahami menjadi sangat problematis. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya-uapaya khusus untuk mencapai kesepahaman. Inilah yang menjadi perhatian hermeneutik Shleiermacher di mana untuk memahami dibutuhkan upaya-upaya khusus. Misalnya ketika kita bertemu dengan orang asing yang tidak saling mengerti bahasa, atau ketika kita sedang memahami tulisan yang berasal dari zaman yang berbeda. Dalam hal ini, akan ada kesenjangan makna yang muncul antara penulis dengan penafsirnya dari zaman yang berbeda. Untuk mengatasi kesenjangan itu, Schleiermacher mengembangkan metode hermeneutiknya yang biasa disebut sebagai hermeneutik reproduktif. Karena melibatkan upaya yang membutuhkan kepiawaian, maka bagi Schleiermacher, hermeneutik adalah “Kunstslehre des Verstehens” diterjemakan dalam bahasa Indonesia sebagai “seni memahami”.

Bila dirumuskan, setidaknya ada dua alasan yang membuat Schleiermacher menyebut memahami itu sebagai seni, Pertama, karena pada dasarnya problem memahami itu adalah soal ketidaksepahaman atau lebih tegas dikatakan bahwa kesalahpahaman itu adalah suatu kepastian, maka dibutuhkan upaya-upaya yang gigih dan rumit untuk memahami sesuatu. Kedua, oleh karena memahami membutuhkan upaya dalam mengurai kerumitan pemahaman, maka dibutuhkan keahlian menggunakan cara-cara tertentu untuk melakukannya. Jadi seni di sini dimengerti sebagai sesuatu yang berkaitan dengan penerapaan keahlian dalam mengurai kerumitan memahami. Selanjutnya, di bawah ini akan saya jelaskan bentuk hermeneutik Schleiermacher, yakni hermeneutik reproduktif.

Hermeneutik Reproduktif
Maksud dari hermeneutik reproduktif adalah tugas seorang penafsir harus mampu menghadirkan kembali makna suatu teks secara persis sama dengan makna yang dimaksud oleh penulisnya di masa lalu. Hal ini dilakukan untuk mengatasi adanya kesenjangan makna antara penulis dan penafsir yang berasal dari zaman yang berbeda. Untuk mereproduksi makna yang persis sama dengan penulisnya, seorang penafsir tidak cukup menginterpretasi melalui kata dan kalimat saja dalam sebuah tulisan, seorang penafisr harus mampu memasuki kondisi mental penulisnya. Penafsir dalam hal ini dituntut  mengalami kembali (nach-erleben) dunia mental penulisnya untuk mengungkapkan secara persis sama dengan maksud penulis. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan dunia mental penulis oleh Schleiermacher bukanlah dunia psikis, melainkan kondisi pikiran dan konteks budaya di mana suatu tulisan dilahirkan.

Untuk itu mencapai tujuan mereproduksi kembali maksud yang persis sama dengan penulis, Schleiermacher merumuskan dua metode yang disebut interpretasi gramatik yang berurusan dengan bahasa sebagai kondisi di luar diri penulis dan interpretasi psikologis yang berkaitan dengan dunia mental atau pikiran penulis yang melahirkan tulisan-tulisannya. Kedua bentuk interpretasi ini saling berhubungan, bahwa melalui kata-kata atau bahasa yang digunakan penulis, seorang penafsir dapat memasuki dunia mental penulis teks yang sedang ditafsirkannya. Demikian juga sebaliknya, melalui pemahaman mengenai dunia mental dan konteks hidup penulis, kata-kata atau bahasa bisa dimengerti dengan lebih baik. Atau dengan kata lain kita memahami bahasa lewat pemakainya dan kita memahami pemakainya lewat bahasa yang dipakainya. Bagi Schleiermacher ini harus dipahami secara bersamaan. Interpretasi gramatik dan interpretasi psikologi harus dilakukan secara bersamaan. Inilah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutik (hermeneuticher Zirkel), yang intinya keseluruhan dapat dipahami dari bagian-bagian dan sebaliknya bagian-bagian dapat dipahami keseluruhan. Dengan demikian, seorang penafsir memiliki tugas yang lebih rumit lagi di mana ia harus bisa memahami kata-kata atau bahasa dan dunia mental penulisnya secara bersamaan.

Tapi, bagaimana mungkin tugas memahami ini bisa dilakukan secara bersamaan jika untuk memahami dunia mental penulis, penafsir harus masuk melalui bahasa atau kata-kata yang digunakan penulis terlebih dahulu? Atau sebaliknya harus masuk terlebih dahulu lewat memahami penulis untuk memahami kata-kata dalam tulisan. Bagaimana mungkin keseluruhan dapat dipahami jika untuk memahami keseluruhan kita harus terlebih dahulu memahami bagian-bagian, dan untuk memahami bagian-bagain harus terlebih dahulu memahami keseluruhan? Ini menjadi masalah penting dalam seni memahami ala Schleiermacher. Untuk mengatasinya, Schchleiermacher menegaskan bahwa ada kekuatan dalam otak kita yang memampukan kita melakukan lompatan ke dalam lingkaran heremeneutik di mana bagian-bagian dan keseluruhan dapat dipahami secara bersamaan. Kemampuan itu disebut sebagai kemampuan “divinatoris” atau “intuitif”. Oleh karena itu Schleiermacher merumuskan satu istilah lagi, divinatorisches Verstehen (memahami secara divinatoris), yakni memahami teks dengan mengambilalih posisi orang lain (penulis teks yang sedang ditafsirkan) agar dapat menangkap kepribadiannya secara langsung. Hal ini disebut pula memahami sebagai “empati psikologis”.

Memahami Melampaui Penulis
Ada pernyataan terkenal dari Schleiermacher yang kerap dikutip, yakni: “Memahami teks pertama-tama dan juga kemudian bahkan lebih baik dari penulis teks itu”. Hah, bagaimana mungkin penafsir bisa memahami teks lebih baik dari penulis teks itu. Bagaimana mungkin kita bisa memahami tulisan Plato melebihi Plato itu sendiri. Membingungkan memang!

Untuk itu perlu ditegaskan bahwa pernyataan Schleiermacher ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa pembaca atau penafsir lebih benar memahami teks daripada penulisnya. Sama sekali bukan itu maksudnya. Yang dimaksud di sini adalah karena penafsir tidak memiliki akses langsung pada penulis, maka untuk memahami penulis, seorang penafsir harus mencari tahu dalam literatur lain berbagai hal terkait riwayat hidup penulis beserta konteks sosial-budaya di mana penulis itu hidup dan melahirkan karyanya. Upaya penafsir dalam mengumpulkan informasi tentang penulis sebanyak mungkin inilah yang mengantarkan penafsir mampu mengetahui banyak hal tentang kehidupan penulis lebih baik dari pada penulis itu mengetahui dirinya sendiri.

Contoh yang diketengahkan oleh Budi Hardiman adalah surat-surat Rasul Paulus kepada umat Korintus. Adalah mustahil bagi penafsir untuk memahami teks lebih benar daripada Rasul Paulus sendiri yang menulis surat-surat itu. Namun, untuk memahami isi surat-surat itu, seorang penafsir harus mengetahui banyak hal tentang siapa Paulus itu beserta segala hal yang berkaitan dengan kehidupannya. Juga penting untuk mengetahui kondisi social-budaya umat Korintus yang menjadi tujuan surat-surat Paulus. Dengan cara seperti itu pada akhirnya penafsir menyadari dan mengetahui banyak hal tentang Paulus dan umat Korintus melampaui Paulus itu sendiri. Budi Hardiman juga menegaskan bahwa banyaknya versi tafsiran atas surat-surat Paulus itu menandakan bahwa ada banyak sisi yang tidak di sadari oleh Paulus sendiri tetapi di sadari oleh para penafsirnya.

Untuk memperjelas hal di atas, berikut ini akan saya jelaskan kembali dua jenis interpretasi menurut Schleiermacher, yakni interpretasi gramatik dan interpretasi psikologis. Kita mulai dari yang pertama, interpretasi gramatik. Setidaknya ada dua kanon yang perlu diperhatikan di sini: Pertama, segala hal dalam sebuah tuturan yang memerlukan sebuah penentuan yang lebih tepat hanya dapat ditentukan dari area bahasa yang sama bagi si penulis dan pendengarnya langsung. Maksudnya bahwa untuk mempertegas makna suatu kata, kita harus merujuk pada makna kata yang dipahami oleh penulis dan pembaca pada waktu karya itu ditulis. Maka problem yang muncul di sini adalah kesenjangan waktu antara penulis dan penafsir. Kesenjangan waktu ini sangat memungkinkan suatu kata akan mengalami perubahan makna (perubahan makna dalam waktu). Contoh, kata Latin hotis yang berarti “orang asing” tetapi sebelumnya arti kata hotis ini adalah “musuh”. Oleh sebab itu, seorang penafsir harus menjangkau makna asli kata-kata sebelum mengalami perubahan dalam waktu, yakni makna sebagaimana dipahami oleh penulis dan pembaca awalnya.

Kanon kedua: makna tiap kata sebuah kalimat harus ditentukan dengan konteks kata itu berasal. Maksudnya, jika pada kanon pertama mewajibkan penafsir untuk menjangkau makna asli sebelum sebuah kata mengalami perubahan makna dalam waktu, maka pada kanon kedua ini penafsir diwajibkan untuk memahami dalam konteks apa kata itu digunakan oleh penulis. Sebuah kata dapat memiliki banyak arti, sehingga penafsir menjadi kesulitan untuk menegaskan makna apa yang dimaksud oleh penulis. Menurut Schleiermacher, kita tidak dapat sepenuhnya menjelaskan arti suatu kata sebagaimana dipakai oleh penulisnya di masa lalu. Tapi, meskipun demikian adanya, penafsir dapat menelusuri lingkup hidup penulis untuk menjangkau apa maksud penulis mengutarakan kata-kata itu. Dalam konteks inilah penafsir pada akhirnya dapat mengetahui banyak hal yang tidak diketahui oleh penulisnya.

Selanjutnya adalah interpretasi psikologis. Dalam jenis interpretasi ini penafsir dituntut untuk keluar dari teks untuk menjangkau atau mengambil alih posisi penulis. Pada tahap ini penafsir dituntut untuk menjadi subjektif sekaligus objektif. Maksudnya, penafsir harus subjektif ketika menangkap pribadi khas penulis dan harus objektif saat menangkap situasi lingkungan dan kondisi zaman di luar diri penulis termasuk lingkup bahasa atau gramatik. Untuk itu, perlu ditegaskan bahwa penafsir mustahil dapat mengetahui penulis tanpa diterangi oleh pemahaman atas seluruh kehidupan dan zaman di mana penulis itu hidup.

Penjelasan di atas menunjukan cara kerja interpretasi gramatik yang tidak dapat dipisahkan dari interpretasi psikologis. Keduanya saling berkaitan satu sama lain yang membentuk lingkaran hermeneutik seperti sudah dijelaskan sebelumnya. Bahwa mustahil untuk mengetahui penulis tanpa mengetahui kata-kata yang digunakannya, sebaliknya mustahil memahami kata-katanya tanpa memahami penulisnya secara utuh. Semuanya harus dipahami secara bersamaan dengan menggunakan kekuatan memahami secara divinatoris atau secara intuitif.

Dari penjelasan di atas yang terpenting di sini adalah memahami bahwa hermeneutik atau seni memahami ala Schleiermacher menerangkan dengan jelas bahwa untuk memahami teks penafsir tidak harus memusatkan diri pada logika internal teks semata, melainkan harus keluar dari logika teks untuk menemukan konteks penciptanya atau konteks kehidupan yang menghasilkan teks itu. Oleh karena itu, hermeneutik Schleiermacher disebut melampaui literalisme, atau melampaui teks.

Papua, 31 Januari 2016   





1 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com