Minggu, 07 Februari 2016

Melayat Pemakaman Ondofolo Kwadeware di Sentani


Foto Nurlin
Pemandangan di Danau Sentani

Bapa, saya akan selalu mengingat semua yang telah bapa ajarkan, akan kujadikan sebagai pegangan hidup. Saya masih ingat kata bapa: hidup ini jangan hanya mempedulikan diri sendiri, kita harus pedulikan orang lain ”.
(Emi Marweri)

Gadis 29 tahun dengan rambut ikal itu berdiri sambil memegang karangan bunga di samping makam ayahnya yang baru saja dikebumikan. Dia adalah Emi Marweri putri semata wayang almarhum Timotius Marweri, Ondofolo (kepala suku) Kwadeware. Mukanya kusut, pipinya basah oleh air mata karena tangisan haru yang sejak tadi menyertai pemakaman ayahnya. Sebelum meletakan karangan bunga, ia diminta oleh pendeta yang memimpin upacara pemakaman untuk mengucapkan kata terakhrinya. Diselah-selah tangisannya, Emi berkata pelan sambil terisak: Bapa, saya akan selalu mengingat semua yang telah bapa ajarkan, akan kujadikan sebagai pegangan hidup. Saya masih ingat kata bapa: hidup ini jangan hanya mempedulikan diri sendiri, kita harus pedulikan orang lain.

Ucapan Emi itu disambut suara tangisan. Suasana yang tadinya khidmat kini berubah diselimuti tangisan yang lepas bersahut-sahutan. Semua orang terlihat menyeka air matanya yang keluar tak tertahankan. Saya yang tadi hanya melihat-lihat juga ikut hanyut dalam arus emosional ini. Sebenarnya ada banyak pilihan yang dapat saya lakukan saat itu, tapi saya lebih memilih berempati pada mereka yang sedang kehilangan kepala sukunya. Saya berharap dengan empati ini saya bisa ikut mengalami apa yang sedang dialami oleh Orang Kwadeware, dapat menyatu dengan mereka, dan terutama memahami mereka.

***

Kabar wafatnya Timotius Marweri Kepala Suku Kwadewar tersebar sampai di Kota Jayapura. Banyak orang berkeinginan mengadiri upacara pemakamannya. Saya termasuk cukup beruntung, seorang teman di Sentani tiba-tiba mengabari dan mengajak saya ke Kwadeware: “apa kamu bersedia ikut ke Kwadeware menghadiri upacara pemakaman Kepala Suku?” begitu tanyanya kepada saya.

Tentu saja saya bersedia, tidak semua yang datang di Sentani punya kesempatan menyaksikan upacara pemakaman kepala suku (ondofolo). Apalagi teman saya bilang bahwa Ondofolo yang meninggal ini sekaligus adalah pemimpin adat tertinggi di Sentani, rasa penasaran saya semakin tinggi. Tanpa berpikir panjang saya langsung mengemas barang, mengirim pesan singkat pada teman itu agar tidak lupa membawa kameranya.

Saya dijemput di tempat tinggal saya dan langsung menuju pelabuhan Yahim. Dari pelabuhan Yahim kami naik sebuah speed boat sekitar 25 menit menuju Kwadeware. Ya, pemandangan di sekitar Danau Sentani itu tak perlu diragukan, sama seperti kita tak perlu meragukan nikmatnya ikan mujair Danau Sentani ini. Semua tampak sangat indah dilihat dari tengah danau. Saya menikmati sentuhan alaminya, hijaunya gunung-gunung dan segarnya udara siang waktu itu.

Foto Nurlin
Seorang Pekerja Jasa Penyebrangan di Danau Sentani

Saat tiba di Kwadeware suasana terlihat begitu ramai. Rupanya ini adalah orang-orang yang datang dari segala tempat untuk menyaksikan pemakaman Kepala Suku Kwadeware, Timotius Marweri. Ada tenda-tenda kecil yang dipasang dan di bawah tenda itu berjejer kursi-kursi membentuk lingkaran. Di sana banyak orang duduk sambil bercakap-cakap dan tentu saja mereka sedang mengunyah pinang. Di atas mereka ada satu gantungan buah pinang yang bebas diambil bagi siapa saja yang berminat.

Kami langsung bergabung dengan kumpulan orang di bawah tenda kecil itu. Kami menjabat tangan semua yang ada di situ dan saya dipersilahkan mengambil tempat duduk. Tapi saya tidak mau lama-lama duduk di situ, saya tidak mau kehilangan momentum yang langka ini dan langsung pamit melihat pemakaman kepala suku. Tiba di sana pemakaman rupanya sudah hampir selesai. Saya hanya bisa menyaksikan acara peletakan karangan bunga. Di situlah saya melihat Emi Marweri satu-satunya putri almarhum Timotius Marweri meletakan karangan bunga yang terkhir. Saya juga menyaksikan iring-iringan semacam drum band yang disertai alunan seruling. Ini dibunyikan saat upacara pemakaman selesai seiring dengan bubarnya kerumunan orang. Drum band ini terus dibunyikan sampai di rumah duka.

Foto Nurlin
Emi Marweri Saat Meletakan Karangan Bunga Pada Makam Ayahnya

Saya kembali bergabung dengan orang-orang di bawah tenda tadi. Tapi tak berlangsung lama duduknya, kumpulan kami harus bubar karena panggilan makan. Rupanya sudah menjadi tradisi di Kwadeware makan setelah acara pemakaman. Uniknya bukan hanya rumah duka yang menyiapkan hidangan makan, tetangga-tetangga rumah duka juga ikut menyediakan hidangan makan. Hidangannya ada papeda (sagu yang dimasak kental) dengan lauk ikan ekor kuning, pisang rebus, singkong dan tentu saja sayur bunga papaya. Ah, tunggu apalagi saya langsung menyantap papeda dengan lauk ikan ekor kuning. Kami makan bersama di satu loyang kecil berisi penuh papeda. Cara mekannya pun berbeda dengan di daerah Buton, makannya pakai garpu tradisional yang dibuat dari kayu. Sangking lezatnya saya tidak peduli lagi garpu itu bekas siapa. Hehe!

***

Lelaki tua itu tersenyum melihat saya. Senyumnya tampak sangat bersahabat, ia sedang berdiri menunggu perahu untuk kembali ke rumahnya. Semua orang sudah bersiap-siap kembali, perahu kecil bermesin gantung 40 PK itu berganti-gantian mengambil penumpang yang baru saja menghadiri upacara pemakaman Kepala Suku Kwadeware yang sudah selesai. Saya langsung mendekati lelaki tua yang tersenyum tadi, menjabat tangannya dan tentu saja saya bertanya tentang upacara pemakaman tadi. 

Dari lelaki tua itu saya mengetahui bahwa Emi Marweri yang tadi menaruh karangn bunga terakhir adalah putri semata wayang Timotius, kepala suku yang baru saja dimakamkan itu. Dari lelaki tua itu pula saya tahu nama kepala suku itu. Tapi ketika ia menyebutkan nama kepala suku atau ondofolo, “Timotius Marweri” ia berkata setengah berbisik pada saya. Saya menangkap satu hal di sini, bahwa menyebut nama kepala suku bagi Orang Sentani itu sepertinya tidak boleh sembarangan.

Penjelasan lain saya peroleh dari lelaki tua itu muncul ketika menanyakan berapa umur Emi Marweri dan umur ondofolo Timotius Marweri saat ia meninggal. Lelaki tua itu bilang, umur Emi Marweri saat ini sekitar 29 tahun, sedangkan Ondofolo Timotius adalah sekitar 60-an tahun. Tanpa saya tanya, lelaki tua tadi langsung melanjutkan penjelasannya, bahwa idealnya kematian Orang Sentani itu adalah ketika ia kering di atas tempat tidur, kira-kira sekitar 100-an tahun. Dahulu kala bila ada Orang Sentani apalagi seorang kepala suku yang meninggal muda, sekitar 60-an tahun, itu pasti ada penyebabnya yang tidak biasa. Bisa jadi ada kesalahan mengurus adat, atau boleh jadi ada masalah adat yang tidak tuntas diurus sewaktu menjabat sebagai ondofolo. Biasanya tokoh-tokoh adat akan mencari tahu apa penyebab kematian itu beberapa saat setelah kepala suku dimakamkan. Lagi-lagi lelaki tua tadi berbisik saat menjelaskan hal ini. Tapi katanya, untuk saat ini Orang Sentani sudah percaya pada ajaran agama Kristen. Mereka sudah tahu bahwa hidup dan mati itu bukanlah kuasa manusia, ada kekuatan lain di luar diri manusia yang menentukan hidup matinya manusia, yakni Tuhan Allah.

Ah, perbincangan ini semakin menarik saja, tapi sayangnya saat itu pula lelaki tua tadi harus pamit pulang karena perahu yang menjemputnya sudah datang. Ia pamit pada saya, menjabat tangan saya dan berkata “sampai jumpa ade, bapa mau pulang dulu”. Kemudian ia naik perahu dan lagi-lagi ia menatap kearahku sambil tersenyum dan melambaikan tangannya. Hum, nyaris saja saya mendapat informasi mendalam darinya. Speed boat yang tadi mengantar kami kini sudah ada, kami langsung naik dan meninggalkan desa Kwadeware.

Baubau, 7 Februari 2016




0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com