Jumat, 04 Maret 2016

Nasehat Politik Machiavelli

Niccolò di Bernardo dei Machiavelli (1469-1527)

Mendengar nama Machiavelli sudah pasti yang berbayang dipikiran adalah soal “politik kotor” yang menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Bahkan label ini juga sering dipakai oleh orang-orang yang tak pernah mengenal apalagi membaca karyanya untuk menamai laku politik “kotor” yang tak menjadikan moralitas sebagai acuan. Begitul stigma yang melekat kuat dan tak dapat dipisahkan dari nama itu. Huh, sejahat itukah nasehat politik Si Machiavelli itu?

***

Nama lengkapnya Niccolò di Bernardo dei Machiavelli, adalah salah satu pemikir Itali yang tergolong dalam barisan filsuf, setidaknya dalam buku yang ditulis F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche. Machiavelli dikenal luas lewat karya monumentalnya, Il Principe (sang Pangeran) dalam bahasa Itali atau the Prince dalam bahasa Inggris. Buku ini pada dasarnya berisi tentang nasehat-nasehat politik bagi para pangeran agar dapat melindungi dan mempertahankan kekuasaannya. Sekali pun karya ini sangat masyur, Machiavelli tidak pernah menerbitkannya sebagai satu buku lengkap. Selama hidupnya, tulisan itu hanya beredar secara rahasia dalam bentuk naskah/pamflet dengan judul bahasa latin de Principatibus (Dhakidae, 2015:33). Hal ini karena isi de Principatibus yang kontroversial (ajaran tentang politik tanpa embel-embel moral dalam kitab suci) sehingga peredarannya harus disembunyikan dari pengawasan gereja. Tulisan Machiavelli ini terbit dalam bentuk buku secara anumerta, pada 1532, lima tahun setelah kematiannya.

Nah, kalau merujuk pada uraian di atas, sepertinya tidak ada gejala atau catatan kejahatan dalam diri Machiavelli. Lantas apa yang menyudutkan nama Machiavelli sebagai dengan label “politik kotor?” Jawabannya ada pada isi Il Principe yang sudah di singgung di atas bahwa dalam buku itu Machiavelli menganjurkan pada para penguasa suatu gaya politik yang tidak mempertimbangkan embel-embel moralitas dalam kitab suci, melainkan semata-mata pada cara merebut dan mempertahankan kekuasaan. “Menghalalkan segala cara”, itu istilah yang dekat dengan kita, yang mungkin dapat memudahkan untuk memahami apa ajaran politik Machiavelli itu.

Lagi-lagi karena itulah nama Machiavelli ini dikait-kaitkan dengan “politik kotor” oleh para penganjur moralitas. Tapi bagi para akademisi atau politolog (pakar ilmu politik), ajaran Machiavelli ini dianggap sebagai ajaran realisme politik, yang menempatkan politik secara riil, seperti apa adanya politik itu tanpa harus menempatkannya pada sisi ideal politik yang menggantung tinggi di langit sana. Jadi di kalangan penganjur moralitas Machiavelli dihujat serendah-rendahnya karena ajarannya bertentangan dengan kitab suci mereka. Ia disebut “the old Nicky” simbol segela jenis kejahatan. Tapi diam-diam justru Machiavelli dicintai oleh para penguasa, dan bagi para politolog profesional, Machiavelli ditinggikan derajatnya sebagai seorang pemikir realisme politik (Dhakidae, 2015). Mungkin sekarang ada baiknya  kalau kita mulai membicarakan isi buku Il Principe untuk mengetahui bagaimana ajaran Machiavelli yang dianggap jahat itu. sebagian besar dari ulasan berikut di dasarkan pada sumber: Daniel Dhakidae, Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong Tokoh-Tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, Sampai Putra Sang Fajar, Bung Karno (2015).

Menurut Dhakidae (2015:34), ada tiga konsep utama yang menjadi dasar bagi keseluruhan bangunan teori Machiavellian dalam Il Principe, yakni: fortuna, virtù dan necessità. Bagi Machiavelli fortune dan virtù  ini saling bergulat satu sama lain dengan necessitá atau keharusan sejarah sebagai motif dasar pergulatan itu. untuk lebih jelasnya akan dibahas satu per satu.

Pertama, fortuna. Istilah ini tersebar dalam keseluruhan tubuh buku Il Principe dengan arti berbeda-beda tergantung pada konteks yang sedang dibahas. Secara umum ada tiga arti kata fortuna yang dibicarakan oleh Machiavelli, yakni: 1) fortuna dapat diartikan sebagai hadiah, pemberian dalam arti bahwa kekuasaan diperoleh karena uang pemberian orang lain, kebaikan hati orang lain. Penguasa seperti ini sangat rapuh karena sangat bergantung pada kekayaan dan kebaikan hati orang lain (favor); 2) konsep fortuna yang diartikan sebagai sesuatu yang dipertentangkan dengan kemampuan (ability), dalam hal ini adalah kemampuan memerintah. Dalam pengertian ini konsep fortuna dikaitkan dengan seorang yang karena keadaan tiba-tiba menjadi penguasa tanpa memiliki kemampuan atau pengalaman (ability) dalam memerintah; 3) konsep fortuna ini diartikan sebagai suatu keadaan yang berkaitan dengan campurtangan dewata yang tidak dapat dilawan oleh upaya manusia. Artinya seorang menjadi penguasa karena dasar “suara dari langit” atau dalil suratan takdir yang tidak dapat diganggu gugat oleh apa pun usaha manusia.

Bagi Machiavelli kekuasaan yang berdasar pada fortuna adalah suatu kekuasaan sewenang-wenang dari suatu kebetulan yang irasional (capricious power of irrational happenstance). Sangat berbahaya karena kekuasaan yang berdasar pada fortuna berubah-ubah dan tak mampu dikendalikan oleh siapa pun. Kekuasaan di sini benar-benar hadir sebagai hukum keharusan illahi, yang tidak memberi ruang bagi upaya manusia dalam kekuasaan itu. Oleh karena itu, Machiavelli menganjurkan untuk melawan kekuasaan semacam ini. Dalam konteks keharusan illahi ini, fortuna berkaitan dengan konsep necessità,

Kedua, necessità yakni suatu konsep yang menegaskan hukum keniscayaan sejarah. Namun, Machiavelli menolak adanya keniscayaan sejarah yang ditentukan oleh fortuna, oleh keharusan illahi. Menurutnya konsep semacam itu tidak lebih dari suatu retorika belaka. Keniscayaan sejarah menurut Machiavelli ditentukan oleh suatu hukum kesaling hubungan antar unsur penentu yang dapat dimengerti sehingga memungkinkan manusia melakukan suatu intervensi terhadap jalannya sejarah. Jadi hanya orang yang mampu memahami proses sejarah yang hampir pasti menurut hukum tertentu yang dapat menentukan tujuannya dalam sejarah atau mampu melakukan intervensi terhadap proses sejarah. Dengan itu pula seseorang dapat mampu menentukan senjata apa yang digunakan untuk memengaruhi hukum keniscayaan itu, apakah menggunakan hukum atau menggunakan senjata.

Machiavelli memahami bahwa jalan hukum adalah jalan beradab umat manusia, sedangkan jalan senjata adalah jalan binatang. Namun kadang-kadang jalan hukum saja tidaklah cukup, oleh sebab itu Machiavelli menyarankan agar seorang penguasa harus mengetahui dan mampu  menggunakan jalan binatang dan jalan manusia menurut kebutuhannya. Seorang penguasa harus bisa memainkan cara-cara manusiawi dan cara-cara binatang demi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Inilah satu-satunya cara seseorang untuk melawan kekuasaan sewenang-wenang yang didasarkan pada fortuna dan ini juga cara manusia merebut nasibnya sendiri dan menentukan nasib itu menurut kehendak dan ketentuannya.

Ketiga, virtù yakni keutamaan, kualitas atau kekuatan kreatif manusia yang dapat didayagunakan untuk melawan kesewenang-wenangan fortuna dalam arena kekuasaan. Untuk melawan fortuna, seseorang harus mempergunakan virtù sebaik mungkin. Tak peduli seperti apa penilaian moralitas, sebab seorang manusia harus belajar bagaimana hidup, bukan bagaimana ia seharusnya hidup. Seorang penguasa belajar cara-cara mempertahankan kekuasaannya, bukan bagaimana seharunya ia berkuasa menurut pengandaian-pengandaian moral. Penguasa yang belajar bagaimana seharusnya ia berkuasa menurut kebaikan-kebaikan tertentu akan hancur di tengah-tengah sebagian besar orang yang tidak baik dalam lingkup kekuasaan. Oleh sebab itu, adalah penting bagi seorang penguasa untuk belajar tidak baik  demi mempertahankan kekuasaanya, tetapi penting pula seorang penguasa memanfaatkan keutamaan moral sepanjang itu dibutuhkan untuk kekuasaan.


***


Nasehat politik Machiavellian ini menggegerkan kaum beradab yang menjunjung tinggi ajaran moralitas. Ia benar-benar memisahkan politik dengan moralitas. Bagi Machiavelli moral dan politik itu tidak ada hubungannya, jika politik ada di satu sisi maka moral ada di sisi lainnya. Memang Machiavelli sama sekali tidak menganjurkan untuk membunuh, tapi membunuh menjadi hal yang harus dilakukan jika itu berkaitan dengan menjaga eksistensi kekuasaan. Dengan demikian, jika kita mau melihat posisi Machiavelli dalam pandangan moral, kita akan menemukan dirinya sebagai penjahat gabungan antara “singa” dan “rubah” (Dhakidae, 2015:40).

1 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com