Selasa, 10 Mei 2016

Mahasiswa, Aktivisme dan Imajinasi Pergerakan

Ilustrasi Masa Rakyat dalam Demokrasi

Seorang pemuda dengan gaya aktivis-mahasiwa ngehek tiba-tiba mendatangi kami di atas kapal kayu yang sedikit lagi akan bertolak ke Buton Utara dari Pelabuhan Kendari (Rute Kendari – Buton Utara – Wakatobi). Tanpa basa-basi pemuda itu langsung bertanya: “apa kalian beli tiket?” kami bilang “iya, kami beli tiket”. Lalu dengan percaya diri (eh, mungkin boleh dibilang sedikit menyombongkan diri) pemuda tadi bilang: “kalau saya naik kapal begini tidak pernah saya beli tiket, karena saya sangat tahu aturannya dan saya pernah berdebat dengan kapten kapal ini mengenai aturan itu, kaptennya tidak bisa berkutik, karena itu saya tidak pernah beli tiket” katanya. Ia berhenti sejenak dan melanjutkan lagi ucapannya: “kalau kapten dan ABK di sini semua takut sama saya, tidak ada yang tidak kenal saya di sini”.

Kira-kiran begitu persisnya sahabat saya mengenang pengalamannya di atas kapal itu. Cerita ini diungkit saat kami bercakap-cakap tentang lika-liku dunia kemahasiswaan. Sambil menyerumput saraba (minuman dari jahe) panas di sebuah warung pinggir laut, sahabat saya itu erkata: “pemuda yang ia temui di atas kapal itu adalah seorang demonstran atau aktivis-mahasiswa yang memang agak narsis. Ia sangat bangga dengan dirinya yang bisa berorasi mengangkat megaphone.”

Bagi saya ini adalah yang kesekian kalinya saya mendengar kisah serupa, kisah tentang aktivis demo. Kadang-kadang pula saya menyaksikan secara langsung atau mendengar langsung dari para mahasiwa yang menyebut bangga dirinya aktivis atau bangga mengisahkan dirinya pernah ikut demo. Di sebuah halaman kantor kecamatan di Buton Utara, saya pernah bertemu seorang aktivis demo yang sedang bercakap-cakap dengan temannya mengenai kongkalingkong dalam dunia pendidikan. Fokus pembicaraan mereka adalah soal bantuan-bantuan pendidikan yang tidak dikelola secara baik. Mereka bilang pemerintah dan penyelenggara pendidikan justru terkesan hanya mencari untung dari bantuan-bantuan itu.

Awalnya saya cuman mendengarkan perbincangan mereka, namun akhirnya saya sedikit menimpali. Saya bilang begini: “agak susah memang di lawan jika para politisi dan pemerintah bersetubuh dengan penyelenggara pendidikan yang berwatak kapitalis. Apalagi politisi bersetubuh dengan pengusaha, itu sudah lazim terjadi di negeri ini. Mata rantai hubungan mereka susah diputuskan”. Aktivis demo itu lantas menjawab dengan enteng: “kita demo saja itu selesai urusan. Pemerintah sekarang tidak boleh macam-macam”, katanya. Mendengar ucapan itu saya cukup diam saja. Saya sebenarnya sedang berusaha memancing analisis kritis mereka, hanya saja semua tampak disederhanakan dengan demo.

 Pengalaman saya yang lain adalah saat mengikuti acara “ngumpul-ngumpul” dengan para mahasiswa di Kendari Beach. Tiba-tiba datang seorang pemuda dengan potongan rambut gobel (gondrong belakang). Ia begitu dihargai dan di sapa dengan panggilan “abang” lalu mereka berjabat tangan dengan sedikit membungkukkan badan tanda hormat. Saya hanya berpikir mungkin dia ini adalah senior mereka yang cerdas dan sangat dihormati. Tapi saat teman-teman menyebut namanya saya tidak terlalu mengenalnya, saya hanya tahu dia adik salah satu teman saya yang konon kabarnya sering pimpin demo. Memori saya akhirnya mengingat satu momen di mana pernah melihatnya di atas mobil sambil berorasi. Oh, mungkin karena ini ia dihormati, pikirku. Saya akhirnya lebih memilih ambil mic di meja lalu menyumbangkan sebuah lagu dari band kesukaan saya, Noah.

Keyakinan saya semakin menguat, saat gilirannya menyanyi, teman-teman lantas bicara padanya, “bang, bedakan ya antara mic dengan megaphone” lalu mereka tertawa. Saya berpikir, rupanya di sini demonstran amat dihargai serupa dewa pengetahuan, atau ia serupa mahasiwa yang telah mencapai titik ideal dalam sebuah kultur pendidikan. Kalau demikian maka kultur pendidikan di sini adalah identik dengan demo. Artinya mahasiswa ideal atau hebat itu adalah mahasiswa yang bisa demo walau malas baca buku.

Foto siluet seorang demonstran

Saat mengikuti diskusi di laman facebook dalam postingan bertema “organisasi kedaerahan” syarat hebat bagi mahasiswa ini pun muncul. Hal ini muncul dalam salah satu komentar yang mengkritik polemik antar mahasiswa dalam menggagas musyawarah pemilihan ketua. Kira-kira begini komentar itu: “baru satu kali angkat megaphone mereka sudah merasa hebat”. Artinya mahasiswa yang disebut hebat adalah mahasiswa yang sudah berkali-kali turun demo. Intinya adalah demo, titik. Hal ini cukup kontras dengan tempat-tempat lain yang pernah saya kunjungi, terutama di kampus-kampus besar di Indonesia syarat mahasiswa ideal itu justru adalah jumlah buku yang dibaca dan dikuasai, berapa karya yang sudah dihasilkan, dan kemampuan berdiskusi mengelaborasi bacaan-bacaan dan pengalaman hidup. Lantas apakah kampus dengan sayarat ideal semacam itu atau dengan kultur pendidikan seperti itu, mahasiswanya tidak mengenal demo atau tidak pernah berdemontasi?

Kenyataannya mereka juga mengenal demo. Saeorang sahabat saya masa kuliah adalah demonstran ulung, pernah berkali-kali mengangkat megaphone mulai dari jalanan sampai di depan institusi-institusi pemerintah. Tapi ia adalah pembaca ulung, garis perjuangannya jelas dan terarah, pilihan-pilihan katanya saat orasi begitu menghentak, tegas, dan bernas. Juga tokoh-tokoh filsuf sekaliber Michel Foucault dan Jean Paul-Sartre pernah turun ke jalan untuk berdemontrasi melawan rezim pemerintah yang timpang. Tapi bagi mereka demo tidak dijadikan sebagai arena aktualisasi diri a la Thomas Maslow. Demo tidak lebih sebagai media perjuangan untuk memperjuangkan pandang-pandangan mereka, sifat kritis mereka yang tercipta dari sebuah kultur intelektual yang kokoh.

Alih-alih sebagai arena unjuk gigi atau sebagai syarat ideal mahasiswa, demo justru harus ditempatkan sebagai salah satu media untuk melawan kekuasaan yang tindakannya tak dapat lagi ditolerir. Oleh sebab itu, aksi-demo merepresentasikan sikap dan pandangan politik kita. Yang berarti pula bahwa seorang demonstran haruslah seorang yang akrab dengan tradisi intelektual, memahami betul apa yang sedang dilawannya, kenapa ia melawan (sebab bertentangan dengan pandangan-pandangan politiknya), ia memiliki prinsip-prinsip ideologis yang konsisten yang terhubung dengan diskursus-diskursus yang lebih luas; ekonomi, politik dan kebudayaan. Karena itu, tak jarang demontsran-demonstran atau tokoh-tokoh pergerakan besar biasanya juga adalah seorang pembaca ulet, punya kemampuan teoritik mumpuni dan pandai menuangkan gagasan dalam tulisan. Mereka juga tak jarang mampu mendirikan sebuah komunitas, majalah atau jurnal yang sangat kental haluan politiknya. Tokoh-tokoh pergerakan seperti ini jelas memiliki tujuan besar dan bejangka panjang, oleh sebab itu mereka menyadari betul bahwa perjuangan mereka tidak cukup hanya berkoar-koar di jalanan, ada media-media perjuangan lain yang sifatnya kultural yang gaungnya lebih besar dan laten, yakni berjuang melalui tulisan. Tradisi seperti ini pada akhirnya berkontribusi bagi peran mahasiswa sebagai “civitas akademik”.

Tapi jika seorang demonstran berdemonstrasi hanya demi mencapai prestise sebagai seorang mahasiswa yang hebat, maka aras perjuangannya hanya sampai pada angkat megaphone saja. Mereka tak perlu mengenal jalur perjuangan lain, tak perlu membaca buku, tak perlu tahu ideologi dan pandangan politik apa, sebab angkat megaphone sudah cukup sebagai penanda bahwa mereka telah mencapai imajinasinya sebagai seorang aktivis dan mahasiswa hebat. Jika kita kembali pada cerita-cerita saya di awal tulisan ini, tampaknya model seperti ini yang banyak. Saya menemukan mereka begitu bangga dengan identitas sebagai seorang demonstran dan begitu bangga pula mengisahkan saat-saat mereka berdemonstrasi, tapi mereka tak pernah menjelaskan pandangan politik mereka apa. Menyebut satu buku pun tidak pernah. Paling banter yang mereka sebut adalah nama mata kuliahnya. Ini berbahaya!

Krisis Pendidikan Kita

Saya tadinya sudah berniat mengakhiri tulisan ini. Tapi terbesit diingatan saya bahwa problem yang saya utarakan di atas, sebenarnya juga adalah problem pendidikan kita. Bagaimana tidak, mahasiswa yang melupakan membaca dan menulis dan tenggelam dalam imajinasi pergerakan tidaklah berkontribusi apa-apa bagi peningkatan kualitas pendidikan kita. Bukannya saya menyalahkan demo sebagai biang keladinya, tapi sebagaimana uraian panjang lebar di atas, saya menyoroti motivasi dan praktik demo yang tidak lagi sekadar media perlawanan melainkan sudah menjadi citra ideal bagi para mahasiswa. Ia bukan lagi sekedar penanda perlawanan melainkan sudah membentuk basis makna tersendiri yang tak dapat dipisahkan dari eksistensi semahasiswa. “Aku demo maka aku ada” demo pada akhirnya berubah peran dari media menjadi tujuan karena di sanalah klaim mahasiswa ideal disematkan. Tapi, kita lupa bahwa arus kekuatan dibidang politik, ekonomi dan kebudayaan dengan skala besar tengah menerpa bangsa kita, sementara kita miskin analisa dan masih berkutat pada aktivisme dan imajinasi pergerakan yang narsis yang justru tidak tanggap terhadap soal-soal yang lebih besar itu.

Untuk meneruskan uraian ini sedikit saya paparkan data oleh Ariel Heryanto di jurnal online, Indoprogress.com. Menurut Ariel perkembangan pendidikan kita di Indonesia cukup terbelakang terutama dalam kajian ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora. Untuk menegaskan pendapat itu, Ariel mengutip hasil riset yang dilakukan oleh Evers dan Gerke tentang pertumbuhan penelitian di Asia Tenggara khususnya ilmu-ilmu sosial dan budaya yang terbit di jurnal internasional berbahasa Inggris yang sudah melalui proses penyaringan di kalangan ahli sebidang (peer review). Sekalipun data ini adalah data lama, tapi bagi Ariel Heryanto hal ini masih berlaku sampai sekarang. Kedua peneliti ini menemukan di antara tahun 1970 hingga 2000 terjadi peningkatan jumlah karya ilmiah di bidang ilmu sosial dan humaniora sekitar tujuh kali lipat yang ditulis oleh peneliti asing, dan hanya tiga kali lipat oleh peneliti di kawasan Asia Tenggara sendiri. Itu pun peningkatan tiga kali lipat ini tidak tersebar secara merata di berbagai Negara Asia Tenggara.

Dari segi persentase jumlah topik yang dibicarakan, topik yang berbicara tentang Indonesia menempati urutan ketiga, tapi para peneliti Indonesia dinilai menghasilkan karya paling rendah tentang negeri sendiri di bandingkan dengan lima Negara anggota ASEAN lainnya. Skor karya ilmiah tentang Indonesia yang ditulis oleh peneliti Indonesia sendiri adalah sebesar 7,1%. Sedangkan Singapore (53,5%), Brunei (35,7%), Malaysia yang dulu belajar di Indonesia (25,1%), Filipina (24,1%), dan Thailand (18,8%). Selain itu, menurut Heryanto sepeti ia kutip dari harian Kompas, 2009, bila dihitung secara lebih makro, Indonesia hanya bisa menghasilkan 0,87 artikel ilmiah per sejuta penduduk Indonesia. Sementara Malaysia mencapai 21,30 artikel ilmiah persejuta penduduk dan India mencapai 12, 00 artikel ilmiah per sejuta penduduk.

Dari paparan data yang tentu masih bisa diperdebatkan di atas, tergambar betapa minimnya karya ilmiah mumpuni yang kita hasilkan. Karena itu, rasanya kit ita perlu merefleksi motivasi dan kultur kampus yang membesarkan kita. Jumlah mahasiswa pertahun yang terus meningkat pesat dengan berbagai jurusan yang digelutinya, rupanya tidak berbanding lurus dengan karya ilmiah yang dihasilkan. Dari pengalaman saya bersentuhan dengan para mahasiswa khusunya mahasiswa di daerah, jarang mahasiswa −−yang saya temui dan kunjungi di tempat tinggalnya−− yang memiliki tumpukan buku bacaan atau minimal pernah menulis di salah satu media. Paling-paling hanya satu dua orang saja jika ada. Bahkan ada  mahasiswa yang saya temukan yang menyebut diri sebagai aktivis-mahasiswa, seorang organisatoris berpengalaman, demonstran ulung yang disegani di sebuah kota metropolitan, tapi menulis status di laman facebook-nya saja tidak jelas. Ia tidak tahu cara menempatkan tanda baca hingga tulisannya itu susah kita identifikasi sebagai sebuh kalimat yang utuh. Sekali pun demikian banyak orang yang menyanjungnya. Inilah realitas pendidikan kita yang justru menyimpang dari tujuan pendidikan, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi yang ada malah kita merasa cerdas di tengah-tenga orang bodoh dan yang ada kita malah menyanjung-nyanjung kebodohan kita sendiri yang nyata.

***


Kita mestinya sadar bahwa melawan tak selamnya harus bersuara melalui megaphone. Kita mestinya tahu itu hanya media untuk menyampaikan aspirasi dan bukan menjadikannya tujuan apalagi simbol kecerdasan seorang mahasiswa. Yang penting adalah gagasan apa yang kita perjuangkan dan bagaiaman gagasan itu diperas dari kultur akademik yang kritis, holistik, konsisten dan jelas prinsip-prinsipnya. Kita juga bisa melawan melalui jalur kultural, yakni melalui tulisan: buku, puisi, cerpen dan novel yang mengugah kesadaran kritis. Dengan begitu maka aktivisme yang kita kembangkan adalah aktivisme yang mencerdaskan, aktivisme yang akademis, dan bukan aktivisme narsis yang jarang membaca dan menulis.[]

Buton Utara, 10 Mei 2016

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com