Senin, 30 Mei 2016

Petani di Bawah Bayang-Bayang Militer: Dinamika Sosial dalam Pelaksanaan Program Percetakan Sawah




Baru seminggu saya bersama petani di Sulawesi Tengah, keluhan yang sama sudah memenuhi kepala saya. Keluhan mereka bukan karena perhatian pemerintah yang kurang pada petani. Keluhan mereka adalah soal pelaksanaan proyek percetakan sawah yang tidak terencana dan sering putus di tengah jalan ---proyek berhenti saat lahan petani sudah dibongkar sedemikian rupa, ditinggalkan begitu saja tanpa kejelasan dan tanpa sistem irigasi. Hal ini tentu merugikan petani, belum lagi mereka sering dimintai bayaran untuk biaya kelebihan jam kereja saat pembongkaran lahan (alihfungsi lahan dari lahan perkebunan menjadi sawah). Ironisnya, pelaksana proyek percetakan sawah yang demikian itu pada umunya adalah dari pihak militer.

Model pelaksanaan proyek ini telah menjelma sebagai ingatan kolektif petani di wilayah ini. Kejadian yang tak lagi diharapkan menimpa mereka, lantas mereka menaruh curiga pada setiap proyek yang berbau percetakan sawah. Hanya saja mereka bungkam, tak bersuara lantang ke atas, dan membiarkan ketimpangan ini hidup dalam ingatan yang menjadi kekhawatiran mereka. Jika sebagian mantan jendral saat ini sedang mengkhawatirkan kebangkitan kembali PKI dan paham-pahamnya, petani di sini sedang mengkhawtirkan rezim militer yang mengurusi hajat hidup mereka, sebagai pelaksana proyek percetakan sawah.

***

Siang itu tiba-tiba saja seorang tentara mendatangi saya, kata seorang petani sebut saja namanya Pak Irawan. Pak Irawan adalah ketua salah satu kelompok tani di desanya yang cukup disegani dan disenangi karena kejujurannya. Tentara itu datang menyuruhnya untuk mengambil gambar lahan yang ingin dicetak jadi sawah. Tentara itu mendesaknya sebab katanya gambar harus dikirim soreh ini juga. Sebagai ketua kelompok tani yang jujur, Pak Irawan tak mau mengambil resiko, buakannya ia menolak perintah dari tentara itu, tapi Pak Irawan mau terlebih dahulu bermusyawarah dengan anggota kelompoknya. “tidak bisa pengambilan gambar dilakukan besok saja pak, sebab saya harus bicarakan dulu dengan anggota kelompok saya” pungkas Pak Irwan. Tapi tentara itu memaksa. “tidak bisa, karena data harus dikirim soreh ini juga” kata tentara itu sebagaimana dikenang oleh Pak Irawan.

Mengingat kejadian pahit program percetakan sawah yang kerap menimpa petani di daerah itu, Pak Irawan tidak mau ambil resiko. Ia dengan tegas menolak permintaan tentara itu: “kalau begitu saya tidak mau, saya tidak berani ambil resiko pak. Kalau ada apa-apa saya sebagai ketua kelompok tani harus bertanggung jawab” tegas Pak Irawan. Tentara itu akhirnya menyerah dan pergi tanpa membawa data. Demikian Pak Irawan mengenang kejadian itu yang katanya terjadi setahun lalu. Di akhir ceritanya itu, Pak Irawan berkata: “saya tidak mau kejadian seperti yang menimpa desa tetangga menimpa kelompok tani kami di sini”. “Kejadian seperti apa itu Pak?”, tanyaku. Pak Irawan menjelaskan: “di desa tetangga yang menerima program percetakan sawa mengalami banyak kerugian”. “kerugian apa Pak?”, tanyaku lagi. “lahan perkebunan mereka yang masih berisi kelapa dan coklat dibongkar dengan menggunakan alat berat untuk dijadikan sawah, tapi setelah dibongkar tumpukan tanaman tadi dibiarkan berserahkan begitu saja dan untuk membersihkan tumpukan itu, petani dimintai bayaran oleh kontrkator dengan alasan kelebihan jam kerja dan biayanya tidak diatur dalam RAB”. Pak Irawan berhenti sejenak, lalu lanjut berkata: “setelah lahan petani petani dibongkar dan dimintai bayaran, kontrktornya menghilang”. “Siapa kontraktornya Pak?” tanyaku memperjelas. “ya siapa lagi kalau bukan tentara pak”. Kata Pak Irawan.

Ceritra Pak Irawan yang saya sajikan di atas hanyalah sekeping kecil dari semesta realitas kehidupan petani yang kompleks di daerah ini. Tapi walau cuma kepingan kecil realitas, ceritra Pak Irawan di atas memberikan kita gambaran tentang adanya kekhawatiran petani dalam pelaksanaan proyek percetakan sawah. Di desa lainnya saya juga menemukan cerita yang sama. Bahkan saat ditanya kenapa tidak melaporkan ke pemerintah terkait, mereka dengan tegas bilang “susah pak melawan tembok”. Petani di tempat ini lebih memilih bekerja di kebun atau di sawah daripada waktunya digunakan untuk berurusan setengah hari melaporkan. Alih-alih menghabiskan waktu demi berurusan dengan laporan dan segala tetek bengeknya, petani didaerah ini lebih memilih memanfaatkan waktu untuk bekerja. Apalagi yang mau mereka laporkan adalah unsur TNI itu lebih mustahil lagi bagi mereka. Jadi jelas sekali program percetakan sawah di daerah ini ada dalam dibayang-bayang rezim militer.

***

Kenapa harus dari unsur militer yang ditunjuk untuk menjadi kontraktor proyek percetakan sawah ini? Demikian tanya yang menggantung. Saya tak tertarik mencari jawabannya pada alasan-alasan yang sifanya birokratis dan legal-formal (meminjam istilah Weber). Saya lebih tertarik berselancar mencari jawaban yang bergelantung dalam dunia sosial, saya lebih tertantang mengarungi jejak-jejak kehidupan sosial lalu memeriksa detail-detail hubungannya satu sama lain. Dengan cara itu penjelasan akan lebih berdasar pada realitas sosial yang berbeda dengan memeriksa dalam konteks legal-formal yang hanya membawa kita pada akhir sesuai dan tidaknya antara praktek dan regulasi yang ada.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya butuh informasi lain yang bukan dari petani supaya informasi yang saya peroleh berimbang. Beruntung saya punya seorang sahabat baik yang sudah berjumpalitan dengan persoalan petani. Ia menjelaskan pada saya bahwa petani di sini juga cukup “rewel”. Bila kontraktor proyek percetakan sawah ini adalah pengusaha biasa, proyek juga terancam gagal. Kebanyakan yang terjadi jika kontraktornya adalah pengusaha biasa, baru mulai masuk alat berat petani sudah ribut menuntut banyak hal pada kontraktor. Apalagi bila lahannya dilewati alat berat itu sedikit saja, maka petani akan menuntut kontraktor. Tapi jika kontraktornya adalah tentara, mereka tidak bisa melawan. Oleh sebab itu, tentara kerap ditunjuk sebagai pelaksana proyek percetakan sawah. Selain itu, hal ini berkaitan dengan koteks politik-ekonomi, di mana program percetakan sawah sudah menjadi domain kegiatan TNI.

 Penjelasan teman saya di atas seturut dengan cerita seorang petani yang saya jumpai. Petani itu berkisah tentang pengalaman seorang kontraktor (pengusaha biasa) sebut saja namanya H. Anwar. Saat itu proyek yang dikerjakan H. Anwar bermaksud untuk memperluas sawa dengan cara menimbun beberapa bagian lahan yang tidak rata. Namun saat beberapa meter melakukan penimbunan, sekelompok petani datang menghadang alat berat itu. Petani menuntut H. Anwar untuk bertanggungjawab sebab penimbunan sawah itu merusak tanaman padi petani yang baru muncul (baca: tumbuh). Menurut cerita petani tadi, kegiatan penimbunan ini menutup padi yang baru tumbuh seluas 5 meter pada masing-masing sawah yang dilewati kiri dan kanan. Penghadangan ini menyebabkan proyek percetakan sawah yang dilaksanakan oleh H. Anwar terhambat sampai sekarang.

***

Tania Murray Li dalam bukunya The Will to Improve menjalaskan bahwa ada relasi kuasa antara pembuat dan pelaksana program dengan masyarakat sebagai sasaran program. Bahwa masing-masing pihak terlibat dalam relasi strategis di mana masing-masing mengembangkan kalkulasi budaya maupun kalkulasi ekonomis untuk berhadapan dengan pihak lainnya. Setiap program tidak pernah secara utuh memenuhi kepentingan masyarakat yang bergerak dinamis. Karena itu, tania menyebut masyarakat dengan sebutan “mahluk-mahluk rewel” yang mengandung pengertian bahwa masyarakat bukanlah subjek yang diam dan menerima begitu saja program dari atas. Masyarakat adalah subjek yang aktif dengan segala kompleksitas kepentingannya. Dengan kata lain, kehendak untuk memperbaiki dalam wujud program-program pemerintah tidak selalu sejalan kepentingan dan keinginan pihan yang ingin diperbaiki. Selalu ada celah interupsi dari bawah sebagai bentuk negosiasi kepentingan-kepentingan yang silang sengkarut di tengah-tengah masyarakat. Ada relasi kuasa ala Foucaldian yang berlaku di sini, di mana kekuasaan itu dipandang selalu sejalan dengan perlawanannya ibarat dua gambar dalam satu keeping uang logam yang sama. Oleh sebab itu, konsep pembangunan itu tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang a politik melainkan sangat politis.

Tapi dalam konteks petani yang saya jelaskan di sini, “kerewelan” mereka dalam menghadapi program percetakan sawah dari pemerintah dibungkam oleh kuasa TNI. Relasi kuasa menjadi timpang sehingga jika dipinjam analisis Foucauldian bahwa relasi kuasa ada hanya jika kekuasaan di satu pihak hidup berbarengan dengan interupsi di lain pihak, maka dalam hubungan seperti ini (Petani-TNI) tidak terdapat lagi disebut sebagai relasi kekuasaan melainkan sebagai dominasi. Sebab satu pihak tak memiliki kemampuan menegosiasikan kepentingannya terhadap pihak lainnya dalam suatu hubungan sosial. Hal ini akhirnya menjadi sebuah ironi dalam program percetakan sawah, di satu sisi petani bungkam di bawah ketiak TNI dan di sisi lain petani terlalu agresif jika pelaksana program bukan dari unsur militer. Jadi sekali lagi pembangunan itu amat politis, ada kekuasaan, kepentingan dan ketimpangan relasi pihak-pihak terkait yang amat rumit untuk sekadar dijembatani.


   

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com