Kamis, 10 November 2016

Analisis Sosial dan Perbedaannya dengan Analisis Ilmu Alam

Ilustrasi Dunia Sosial

Berbicara mengenai analisis sosial, setidaknya ada dua pertanyaan yang segera mengemuka: Pertama adalah soal definisi: apa yang dimaksud dengan analisis sosial? dan yang kedua: apakah analisis sosial berbeda dengan analisis ilmu-ilmu lainnya--seperti ilmu alam--sehingga perlu pembahasan tersendiri?

Terkait pertanyaan pertama, definisi analisis sosial tidak dapat dilepaskan dari definisi ilmu sosial itu sendiri sebagai ilmu yang mempelajari fenomena sosial kemanusiaan, seperti: relasi sosial, sistem sosial, struktur sosial, organisasi sosial, kemiskinan, kesejarahan, masyarakat, identitas, kebudayaan, kekuasaan, tindakan, dll. Sementara kata analisis sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung pengertian sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya). Dari dua pengertian itu, jika didefinisikan secara sederhana, analisis sosial dapat dirumuskan sebagai usaha untuk memahami atau memperoleh gambaran utuh dan mendalam mengenai fenomena-fenomena sosial yang sedang diamati.

Usaha untuk memperoleh gambaran mengenai fenomena-fenomena sosial tersebut secara utuh dan mendalam tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat-lihat saja atau sambil lalu saja di hadapan fenomena sosial. Dibutuhkan seperangkat konsep, perspektif atau kerangka pemikiran dan cara-cara yang terstruktur untuk melakukan analisis terhadap fenomena sosial yang sedang diamati. Seperangkat konsep-konsep itu disebut sebagai paradigma, sedangkan cara-cara yang terstruktur dan sistematis dalam membangun pengetahuan itu disebut sebagai epistemologi. Dan suatu paradigma pada dasarnya dibangung oleh epistemologi tertentu. 

Sedangkan terkait pertanyaan kedua: apakah analisis sosial itu amat berbeda dengan analisis ilmu-ilmu lainnya--seperti ilmu alam--sehingga perlu pembahasan tersendiri? Sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu terangkan secara singkat sejarah perkembangan paradigma dalam ilmu sosial.

Pada abad ke-19 masyarakat Eropa didominasi oleh cara pandangan bahwa segala sesuatu baik itu gejala alam, masyarakat dan kebudayaan dapat dijelaskan dengan menggunakan kemampuan rasional. Cara pandang ini disebut sebagai cara pandang (paradigma) positivisme yang menurut Auguste Comte (1798-1857) merupakan hasil akhir dari perkembangan masyarakat setelah melalui tahapan-tahapan: (a) tahapan teologis di mana manusia memandang bahwa semua gejala yang timbul baik itu gejala alam, masyarakat dan kebudayaan dikendalikan oleh kekuatan supranatural di luar jangkauan manusia; (b) metafisika di mana gejala alam, masyarakat dan kebudayaan mulai dijelaskan dengan konsep-konsep abstraksi filosifis dan (c) positivisme di mana manusia memandang segala sesuatu dapat dijelaskan dengan rasional (Hardiman, 2004; 2003). Ciri-ciri utama paradigma positivisme ini adalah: (1) Objektifisme atau bebas nilai. Pengetahuan harus bebas nilai dan tidak boleh dicampuri oleh perasaan subjektifitas atau nilai-nilai yang dianut oleh pengamat. Oleh sebab itu, pengamat haruskan mengambil jarak dari realitas yang diamati dengan bersikap bebas nilai agar pengetahuan yang dihasilkan benar-benar menjadi cermin dari realitas (korespondensi); (2) Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan ada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika); (3) Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati dan yang dapat diukur. (4) Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki hukum-hukum tetap yang dapat dikenali oleh rasio; (5) Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta (termasuk masyarakat dan kebudayaan) diibaratkan sebagai giant clock work (Hardiman, 2003; 2015; Syaebani, 2008).

Penerapan metode positivisme ini sebagaimana spirit pencerahan Jerman dipercaya mampu mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Hal ini terbukti dengan berhasilnya ilmu pengetahuan menghasilkan teknologi yang membantu kehidupan umat manusia (revolusi industri di Inggris salah satunya disebabkan oleh perkembangan ini). Keberhasilan ini mengukuhkan paradigma positivisme sebagai satu-satunya paradigma ilmiah yang paling sah untuk menyelidiki semua gejala termasuk gejala sosial. Setidaknya hampir sepanjang abad ke-19 ilmu-ilmu sosial masih didominasi oleh paradigma positivisme (fenomena sosial dianalisis menggunakan pendekatan ilmu alam) dan sepanjang abad itu pula belum ada yang menggugat kebasahan paradigma ini (Hardiman, 2003; 2015).

Salah satu contoh teori yang dipengaruhi oleh paradigama positivisme adalah teori evolusi kebudayaan yang berkembang pada abad ke-19. Teori evolusi kebudayaan ini diadopsi dari teori evolusi yang berkembang dalam ilmu biologi dengan tokoh termashurnya Charles Darwin dalam bukunya The Origin of Species. Teori evolusi ini beranggapan bahwa masyarakat dan kebudayaan sama dengan mahluk hidup, berkembang atau berevolusi mengikuti tahapan-tahapan perkembangan tertentu yang berlangsung lambat. Oleh sebab itu, analisis evolusionisme dalam ilmu sosial dijelaskan dengan menggunakan analogi oganik. Tokoh-tokoh teori evolusi ini adalah E.B Tylor (1865), L.H Morgan (1877), J.J. Bachofen, H. Maine, J. Frazer (ahli folklor) dan Herbert Spencer. Pengaruh positivisme ini juga dapat dilihat dalam pemikiran Karl Marx yang meyakini bahwa sejarah menurut hukum-hukum atau mekanisme obyektif seperti yang terdapat dalam ilmu alam (Hardiman, 2015). Emile Durkheim, Radclif-Brown, Bronislaw Malinowski, hingga Talcot Parson juga tergolong sebagai ilmuwan sosial yang ada di bawah pengaruh paradigma positivisme. Lalu kapan paradigma positivisme ini digugat keabsahannya dalam menjelaskan fenomena sosial?


Willhem Dilthey

Di atas telah sedikit disinggung bahwa hampir sepanjang abad ke-19 paradigma positivisme belum digugat. Tapi bukan berarti tidak ada upaya menggugat paradigma ini. Walaupun pada akhirnya terjebak pula pada paradigma positivisme, Wilhelm Dilthey (1833-1911) adalah salah satu pemikir Jerman yang menyadari kerancuan positivisme dalam memahami ilmu sosial-kemanusiaan (geisteswissenschaften). Oleh sebab itu, pemikiran Dilthey ini akan saya uraikan secara singkat. Dilthey membedakan dua jenis ilmu pengetahuan: Naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam) dan Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan) (Hardiman, 2015: 66). Perbedaan ini bukan saja dari segi terminologi atau atau tidak semata-mata pada obyek kajian saja, sebab ilmu-ilmu alam juga ada yang mengkaji manusia. Perbedaan utama bagi Dilthey ada pada cara atau memahami fenomena: ilmu-ilmu alam menggunakan metode Erklären yakni sebuah metode yang memusatkan diri pada “sisi luar” obyek penelitian yakni proses-proses obyektif dalam alam (beda jatuh, muatan listrik, kadar gula darah, tekanan darah, ledakan natrium dalam air, dsb). Sedangkan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan menggunakan metode Verstehen yaitu pendekatan yang memustkan diri pada “sisi dalam” atau dunia mental (dunia yang dihayati oleh manusia) obyek penelitiannya (Hardiman, 2015: 76-77). Lebih rinci, perbedaan ini dapat dilihat pada table berikut:

Metode
Erklären
Verstehen
Target
Penelitian
Mengetahui sisi luar obyek, yaitu proses-proses obyektif alam
Mengetahui sisi dalam obyek, yaitu dunia mental orang lain
Sikap Peneliti
Mengambil jarak sepenuhnya dari obyek
Mengambil bagian dalam dunia mental orang lain
Perolehan
Pengetahuan
Analisis Kausal
Memahami Makna.
Sumber: Hardiman (2015: 77)

Dari table di atas tampak jelas distingsi metode antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan. Tapi bagaimana Dilthey menerapkan metode Verstehen ini dalam memahami dunia mental orang lain? Jawabannya Dilthey meminjam analisis pendahulunya, Schleiermacher (1768-1834). Schleiermacher memperkenalkan dua cara untuk memahami dunia mental penulis teks dalam hermeneutika, yakni: (1) Lebenswelt (dunia kehidupan) cara ini digunakan oleh Dilthey untuk merujuk pada dunia sosial yang kita mukimi bersama dengan orang lain sehingga ada kesamaan pemahaman mengenai hal-hal tertentu (konteks bersama). Contohnya ketika memasuki bulan ramadhan setidaknya kita menghayati nilai-nilai yang sama. Bagi Dilthey, dengan cara itu kita terhubung  dengan orang lain; (2) Nacherleben (mengalami kembali) yang dialami kembali adalah pengalaman batiniah orang lain atau disebut dunia mental orang lain dalam terminologi Schleiermacher. Tapi berbeda dengan Schleiermacher yang nacherleben-nya bersifat psikologisme, bagi Dilthey nacherleben tidak bersifat psikologis melainkan bersifat interpretasi (Hardiman, 2015: 75). Melalui interpretasi terhadap pengalaman mental orang lain kita dapat memahami orang lain. Inilah metode Verstehen yang diperkenalkan oleh Dilthey. Lebih jelasnya perhatikan gambar berikut:

 

Cara Mengakses Pengetahuan Orang lain dengan Metode Versetehen
Sumber: Hardiman (2015: 75)

Walaupun Dilthey masih terjebak pada upaya mengejar obyektivitas pengetahuan yang merupakan ciri positivisme, setidaknya ia telah membuka jalan bagi lahirnya pandangan anti-positivisme yang dikembangkan oleh Max Weber dari metode Verstehen (memahami) Wilhem Dilthey. Namun penerapan paradigma positivisme dalam memahami ilmu-ilmu sosial baru benar-benar digugat oleh munculnya kelompok Frankfrut School atau lebih dikenal dengan Mazhab Frankfrut dan Post-modern. Sekalipun demikian masih ada yang mempertahankan cara berpikir positivisme ini dalam ilmu sosial oleh kelompok yang disebut Lingkaran Wina.

Mazhab Frankfrut memperkenalkan sebuah aliran berpikir kritis yang lebih dikenal sebagai Teori Kritis. Mereka di antaranya--terutama generasi pertama Mazhab Frankfrut--mengkritik rasionalitas pencerahan yang menurut mereka terbukti gagal mewujudkan kesejahteraan umat manusia sebagaimana yang dijanjikannya (Horkheimer & Adorno). Kemajuan tekhnologi ibarat pedang bermata dua, di satu sisi ia membantu umat manusia, tapi di sisi lain menindas dan memperbudak umat manusia. Kemajuan tekhnologi justru menopang status quo dan mengukuhkan sistem kapitalisme yang menggiring seluruh umat manusia pada satu dimensi, fetitisme konsumsi (Herbert Marcuse). Di tangan Habermas (generasi kedua Mazhab Frankfrut) gugatan terhadap positivisme semakin mapan. Habermas mengkiritik positivisme dengan menggunakan istilah rasionalitas instrumental. Bagi Habermas, positivisme mengandung rasionalitas instrumental yang bermaksud untuk menaklukkan dan menguasai obyek kajiannya. Oleh sebab itu menurut Habermas, di balik setiap ilmu pengetahuan selalu ada kepentingan yang menyertai, setidaknya kepentingan untuk menguasai dan memperoleh kebenaran yang obyektif. Dengan demikian obyektivisme digugat oleh Habermas, dan kemudian memperkenalkan konsep intersubyektifitas sebagai dasar analisis sosialnya menuju masyarakat komunikatif.  

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com