Rabu, 23 November 2016

Konsep Gender dan Sub-ordinasi Perempuan dalam Studi Antropologi Feminis


Ilustrasi Kesetaraan Gender
Beberapa diskusi mengenai gender pernah saya ikuti ditingkatan aktivis-aktivis LSM lokal. Namun dalam penafsiran gender selalu saja disalah pahami. Gender selalu diasosiasikan dengan perempuan atau kalau tidak sebagai kondisi keterbelakangan perempuan dalam persoalan hak-hak sebagaimana yang diperoleh laki-laki. Padahal konsep gender tidaklah seperti anggapan-anggapan di atas. Gender tidak sama dengan perempuan, bukan pula laki-laki, serta bukan pula jenis kelamin laki-laki dan perempuan, melainkan atribut-atribut sosial yang dilekatkan oleh suatu kebudayaan pada konstruksi biologis tubuh. Gender adalah sesuatu yang dikonstruksi sehingga tidak bersifat kodrati, karena itu setiap budaya memiliki konsep gender yang berbeda-beda. Berbeda dengan hal-hal biologis yang bersifat kodrati seperti jenis kelamin, menstruasi bagi perempuan, hamil dan melahirkan anak. Kalau seperti rambut panjang, dandanan, pekerjaan, kecerdasan, dll itu bukanlah hal yang kodrati dan dapat disubtitusi tanpa bantuan kecanggihan seperti “subtitusi kelamin” pada tubuh waria. Konsep biologis ini dikategorikan sebagai konsep seks dalam kajian gender.


Gender sebagai konsep atribut sosial tubuh banyak diperdebatkan dalam berbagai interaksi sosial dan dalam berbagai kebudayaan. Berbagai budaya di dunia memposisikan perempuan sebagai sub-ordinat dari laki-laki. Hal ini seperti ditengarai oleh Mary Daly (1978) yang melakukan survei global terhadap kekerasan ritual terhadap perempuan dalam budaya patriarkal seperti adat bakar diri para istri di India, Ikat kaki di Cina, klitoridektomi di Afrika, pembakaran perempuan yang dituduh tukang tenung di Eropa, serta ginekologi di Amerika. Daly juga, dalam studinya membahas istilah-istilah yang misoginistik seperti “nenek peot”, “nenek culas”, dan “perawan tua” (Rita Felsky dalam P. Beilharz, 2005). Dalam sejarah feminisme, diskriminasi juga dirasakan oleh perempuan di Amerika dimana kesempatan kerja, pendidikan dan hak memilih tidak diperbolehkan bagi perempuan. Pada abad ke-16 di Inggris perempuan mengalami diskriminasi dalam bentuk penafsiran kitab-kitab injil mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan (Hodgson dan Wright, 2010). Adalah Jane Anger yang melakukan pembelaan atas tafsiran mengenai penciptaan laki-laki dan perempuan. Anger mengatakan: penciptaan laki-laki dan perempuan pada mulanya, laki-laki dibentuk....dari barang-barang buangan dan tanah liat yang kotor, sampai pada saat Tuhan melihat bahwa ciptaan-Nya itu baik adanya. Dengan menghilangkan debu yang menjijikan pada tubuhnya, dia dimurnikan. Kemudian karena Adam tidak memiliki siapa-siapa, Tuhan menciptakan seorang perempuan dari daging laki-laki yang lebih suci. Ini membuktikan bahwa kita sebagai perempuan jauh lebih sempurna daripada laki-laki.




Ilustrasi Gerakan Feminisme

Penjelasan di atas memberi bukti adanya diskriminasi perempuan dalam berbagai kebudayaan di dunia. Namun apakah hal yang sama merupakan perkara universal yang terjadi di seluruh belahan dunia? tentu “tidak”. Adalah Rosaldo yang pernah mempublikasikan tentang sifat universal dikotomi laki-laki dan perempuan di mana laki-laki sebagai ordinat, perempuan sub-ordinat, laki-laki publik, dan perempuan domestik. Namun kemudian Rosaldo mengevaluasi teori universalitasnya itu dan menerbitkan buku yang berjudul Knowledge and Passion: Ilongot Notions of Self and Society. Susan Millar dalam penelitiannya pada suku Bugis di Sulawesi Selatan mengemukakan bahwa hierarki dalam masyarakat Bugis bukan pada persoalan gender melainkan pada status sosial mana perempuan dan laki-laki berada (Idrus, 2006). Terdapat bias perspektif dalam memandang posisi laki-laki dan perempuan yakni bias pemikiran Barat yang mendikotomikan ordinat dan sub-ordinat laki-laki dan perempuan. Hal ini menyebabkan gagalnya seorang komentator atau peneliti untuk melihat keunikan budaya lain terutama kebudayaan di luar Eropa. Sudah merupakan tugas dari kajian antropologi feminis untuk mendekonstruksi berbagai bias pemikiran yang meniscayakan kerangkan sub-ordinasi perempuan tanpa pengkajian yang lebih mendalam.


Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya Nurul Ilmi Idrus (2006) menjelaskan adanya bias pemikiran dalam studi antropologi feminisme yakni  masalah yang terkait dengan bias laki-laki (androgenic bias), yang terdiri atas tiga tingkatan, yaitu: 1) bias yang berasal dari para antropolog dimana peneliti sering beranggapan bahwa laki-laki lebih mudah diajak berbicara dibanding perempuan sehingga informan lebih banyak diambil dari laki-laki, 2) bias dari kelompok masyarakat yang diteliti bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki dan bias inilah yang ditangkap oleh peneliti. 3) bias yang melekat dalam kebudayaan Barat (eurocentric bias), jika peneliti melihat ada hubungan asimetris antara perempuan dan laki-laki, maka ini dianggap sebagai ketidaksetaraan dan hierarkis di masyarakat Barat. Sebagaimana yang dilakukan Rosaldo yang mendekonstruksi bias-bias universalitas penidasan atas perempuan dalam kajian feminisme. Dengan demikian kajian antropologi feminis tidak memandang perempuan sebagai fokus, melainkan konsep gender (tentunya melibatkan laki-laki dan perempuan) sebagai fokus utama dalam penjelasannya. Dengan kata lain antropologi feminis bukan sebagai “studi mengenai perempuan”, tapi merupakan “studi tentang gender”.  

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com