Rabu, 15 Agustus 2012

Peristiwa 24 September di Buton Utara


Sekitar pukul 13.00 WITA, seperti diberitakan oleh beberapa media, rombongan massa dari kecamatan Bonegunu dan kambowa yang mengatas namakan Masyarakat Pembela Undang-Undang datang dengan tiga unit mobil truk, satu unit mobil Dinas Perhubungan yang disandera dalam perjalanan ke Ereke serta puluhan motor. Aksi ini merupakan lanjutan dari aksi sosial yang pernah dilakukan beberapa hari sebelumnya yang menuntut pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Buton Utara dari Ereke ke Buranga sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan sesuai amanah Undang-Undang nomor 17 tahun 2007. Pada aksi massa sebelumnya Jumat, 23 September 2011, ratusan warga Buranga bahkan sempat menyandera Dirut RSUD Buton Utara dan membakar mobil Dinas BKKBN Kabupaten Buton Utara. Aksi tersebut dilakukan dalam bentuk sweeping yang berlangsung dijalan Ronta.

Kemarahan warga ini memuncak pada Sabtu, 24 September 2011. Arak-arakan massa dalam tiga truk, satu mobil Dinas Perhubungan dan ratusan motor menciptakan suasana yang menakutkan dan mengerikan. Massa seperti halnya rombongan prajurit dalam perang-perang kerajaan masa lampau yang dilengkapi dengan senjata tajam dan “tameng baja”. Beberapa pekerja yang sedang membangun gedung di sekitar jalan menuju kantor DPRD Buton Utara dikagetkan oleh tombak dan kengerian yang muncul di wajah massa. Tak dapat menahan rasa takut, banyak pekerja bangunan lari tunggang-langgang mencari tempat persembunyian yang aman. 

Suasana kembali mencekam ketika massa tanpa basa-basi membakar kantor DPRD Butur. Kepulan asap terlihat di arah Kantor DPRD Buton Utara. Satu mobil pemadam kebakaran yang datang untuk memadamkan api juga dibakar oleh massa yang sedang mengamuk. Pihak keamanan, massa yang pro pemerintah dan Satpol PP tak dapat berbuat apa-apa karena jumlah mereka yang terbatas di banding dengan massa yang sedang mengamuk. Massa kemudian bergerak menuju Bumi Sara Ea yang merupakan pusat perkantoran pemerintah Kabupaten Buton Utara. Sasarannya adalah kantor bupati Kabupaten Buton Utara. Disana massa pembela Undang-Undang sebelumnya mendapatkan perlawanan dari massa yang pro pemerintah, namun aksi pembakaran tidak dapat dihentikan karena jumlah yang sedikit. 
Kepulan asap menghiasi Kantor Bupati Buton Utara saat dilalap oleh api yang dipicu oleh massa. Warga Ereke kemudian diresahkan oleh isu pembakaran pasar sentral dan rumah jabatan bupati oleh massa pembela Undang-Undang. Pasca pembakaran kantor bupati, massa pembela Undang-Undang mendapat perlawanan yang sengit dari massa pro pemerintah. Dua massa yang saling berhadap-hadapan itu saling serang dengan busur, tombak dan batu akibatnya seorang warga terluka akibat terkena busur. Namun akhirnya dapat dibubarkan oleh aparat kepolisian.

Aksi kekerasan dan saling serang ini mengandaikan dua kepentingan kolektif berbeda. Antara kita dan mereka bertemu dalam lapangan sosial yang banal. Massa pembela Undang-Undang menyebarkan teror yang telah dipersiapkan dengan melancarkan strategi chaos untuk menentang sistem yang berlaku, sementara massa pro pemerintah teritegrasi dalam upaya perwujudan kepentingan yang berbeda dan terlebih lagi adalah dorongan naluri bertahan ketika mendapatkan serangan dari kelompok identitas berbeda. Bagaimana pun juga, massa pro pemerintah bukanlah kelompok yang secara spontan terbentuk tanpa memenuhi unsur-unsur pembentukan massa sepeti analisis teori tindakan kolektif yakni adanya sikap kolektif, identitas kolektif, kepentingan kolektif, organisasi dan kepemimpinan serta mobilisasi massa.

Seperti kata Bader terdapat sikap yang dibatinkan dalam benak kepala massa. Massa yang kelihatan spontan sekalipun sebenarnya terpola oleh proses sosial-politik, keakraban, identitas, dll. yang telah lama ada dan terbentuk diluar situasi formal dan bahkan tidak disadari. Polarisasi dukungan dalam proses demokrasi misalnya, memberi peluang untuk menciptakan identitas baru, kepentingan baru dan keakraban-keakraban baru. Pola yang terbatinkan ini menjadi kategori-kategori yang berpeluang menyulut gerakan massa yang terlihat spontan sekalipun. Intinya tak ada spontanitas aksi massa, semuanya dipersiapkan oleh proses-proses dan relasi-relasi sosial yang rumit.   Massa juga tidak lepas dari kepemimpinan dan mobilisasi. Dalam massa yang kelihatan spontan, kepemimpinan terbentuk dari pengakuan sosial terhadap kapasitas seseorang yang juga terbatinkan melalui proses sosial yang berlangsung dalam ruang dan waktu, juga dapat terbentuk dari organisasi-organisasi non formal seperti komunitas preman dan kelompok-kelompok pemuda. Namun dalam massa yang terorganisir, massa bertindak dalam pembagian tugas, strategi-strategi, kalkulasi-kalkulasi, ketundukan dan risiko-risiko yang diperhitungkan sebelumnya secara cerdik. 

Monster berkepala banyak itu bergerak tanpa kendali moral dan norma-norma bukan karena mereka tidak memiliki nurani sebagai manusia.  Pikiran dan tindakan massa berada dalam prinsip kepatuhan yang ditafsirkan dan dibatinkan. Seperti studi yang pernah dilakukan oleh Hannah Arendt mengenai Adolf Eichmann dalam karyanya yang berjudul: Eichmann in Jerusalem. Eichmann adalah kaki tangan Hitler yang bertanggung jawab terhadap pemusnahan orang Yahudi. Pada dasarnya, Eichmann adalah seorang warga negara dan birokrat yang baik, namun dalam menjalankan kepatuhannya terhadap rezim Nazi ia melakukan tindakan-tindakan di luar batas-batas moralitas dan norma-norma kemanusiaan. Untuk memecahkan persoalan ini, kita dapat mempelajari percobaan Stanley Milgram yakni the Milgram experiment. Dalam percobaan itu Milgram menggunakan tiga orang untuk berperan dalam instrumen penelitian. Seorang sebagai pemimpin eksperimen, seorang orang berperan sebagai guru (posisi ini diganti-ganti) dan satu orang berperan sebagai siswa. 

Peserta dari percobaan ini dicari melalui sebuah iklan di koran lokal yang mengumumkan bahwa dibutuhkan orang untuk berpartisipasi dalam sebuah studi tentang memori. Sebagai kompensasi, setiap peserta menerima uang sebesar $ 4.50. Iklan tersebut juga menyebutkan profesi-profesi apa saja yang diharapkan untuk berpartisipasi. Percobaan pun berjalan setelah didapatkan total 40 partisipan. Setiap partisipan mengambil undian yang tanpa mereka ketahui selalu bertuliskan "guru" dan partisipan lainnya, yang sebenarnya adalah aktor, bertindak sebagai "murid". Kemudian "guru" dan "murid" masuk ke ruangan yang berbeda. Tugas dari guru adalah membacakan rangkaian soal dan murid menjawabnya dengan menekan tombol pada mesin yang disediakan. Apabila jawaban yang diberikan salah maka guru harus memberikan tegangan listrik kepada murid.  Tegangan listrik tersebut bertahap mulai dari 15 volt hingga 450 volt dan diberikan label mulai dari "tegangan rendah", "tegangan sedang" hingga "bahaya: tegangan listrik fatal" sedangkan dua volt tertinggi bertuliskan "XXX". Ketika mencapai level 300 volt, murid akan mengetuk-ngetuk dinding memohon agar percobaan dihentikan. Diatas 300 volt, murid akan diam dan menolak untuk menjawab pertanyaan yang lalu oleh penguji akan dianggap sebagai jawaban salah sehingga tegangang listrik harus diberikan. Sampai tingkat tegangan listrik mana partisipan berhenti menjadi ukuran dari kepatuhannya terhadap otoritas. Dari 40 orang yang menjadi peserta percobaan ini sebanyak 26 orang memberikan tegangan tingkat tertinggi sementara 14 orang berhenti sebelum mencapai tingkat paling tinggi. 

Percobaan Milgram ini memberi penjelasan adanya kepatuhan terhadap otoritas atau sistim yang sedang dijalankan. Demi menjalankan prosedur eksperimen sang Professor, para peserta rela memberikan kejutan listrik pada peserta lainnya (yang bertindak sebagai murid). Demikianlah juga ketika Adolf Eichmann disidang pasca perang dunia II karena kejahatannya sebagai seorang Nazi yang banyak membunuh orang Yahudi, dalam kesaksiannya ia mengatakan: “saya hanya menjalankan perintah atasan saya”. 

Mobilisasi dalam aksi kekerasan massa itu dipermudah oleh adanya ketundukan atau adanya otoritas yang menguasai alam kognitif massa. Ketundukan seperti diperlihatkan oleh percobaan Milgram di atas terjadi karena misanya adanya otoritas keilmuan Professor Stanley Milgram yang terjewantahkan dalam prosedur penelitian, dan boleh jadi karena ketundukan terhadap uang sebesar $ 4.50 yang dibayarkan pada peserta eksperimen. Dalam aksi kekerasan, ketundukan karena otoritas uang dapat saja terjadi yang membuat massa dapat diperintah atau disetir seperti mesin. Tubuh memimesis kerja-kerja mesin.

Berdasarkan penjelasan di atas, menurut hemat penulis, tragedi kekerasan massa pada 24 September di Buton Utara terjadi tidak hanya disebabkan oleh adanya penafsiran Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara. Dalam hal ini yang dipersoalkan adalah masalah ibu kota. Sebagaimana analisa teori tindakan kolektif, ada beberapa faktor potensial yang mendorong atau mentenagai penafisran UU itu menjadi aksi kekerasan massa diataranya:

Pertama, adanya sikap kolektif masyarakat Buton Utara yang cenderung agresif dalam menanggapi problem-problem kehidupan. Hal ini dapat dilihat setidaknya dalam kacamata sosio-historis. Dalam hal ini, antara massa pro pemerintah dan penyelamat undang-undang sama-sama mewarisi sikap agresif yang terbatinkan itu.

Kedua, adanya identitas kolektif yang terbentuk berdasarkan proses sosial-politik yang berlangsung di Buton Utara. Identitas sosial-politik itu juga setidaknya ada dua macam: 1) identitas sempit kedaerahan antara Buranga dan Ereke yang terbentuk melalui proses sosial, 2) identitas yang terbentuk kerena polarisasi politik antara massa pendukung kandidat dalam proses demokrasi. Identitas ini merupakan identitas baru yang terbentuk namun sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses politik di Buton Utara. Identitas kedaerahan antara Ereke dan Buranga dapat saja terlebur oleh adanya identitas baru ini. Maksudnya bahwa orang Ereke dapat saja terlibat dalam Masyarakat Pembela Undang-Undang juga sebaliknya orang Buranga dapat saja berada dalam massa yang pro pemerintah.

Ketiga, adanya kepentingan kolektif. Kepentingan ini diturunkan dari perbedaan identitas. Sebab identitas itu memiliki pertalian dengan kepentingan kelompok. Hal ini senada seperti yang dikatakan Amartya Sen (2007:4) dalam Bukunya Kekerasan dan Ilusi tetang Identitas: “Rasa akan identitas memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubugan kita dengan pihak lain, seperti tetangga, anggota suatu komunitas yang sama, sesama warga negara, atau penganut agama yang sama. Perhatian kita pada identitas tentu bisa mempererat pertalian dan membuat kita bersedia melakukan barbagai hal satu sama lain dan turut membawa kita melampaui hidup yang berpusat pada diri sendiri. Dengan demikian, kepentingan kolektif juga dapat dilihat dari dua hal dan dua sisi yang berhadap-hadapan berdasarkan identitas kolektif yang disebutkan diatas. 1) kepentingan yang muncul karena adanya identitas kedaerahan Ereke dan Buranga: a) Bagi Buranga mewakili adanya ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat akibat proses pemerintahan yang sedang berlangsung termasuk ketimpangan pembangunan yang belum merata, pelayanan publik yang tidak efisien, dan keberatan terhadap adanya keberpihakan UU pada mereka yang justru tidak direalisasikan oleh pemerintah daerah. b) Bagi Ereke yakni: adanya kepentingan akan pembangunan dan pelayanan yang sudah terlanjur dinikmati, serta keadaan wilayah yang cukup memadai  membuat struktur kognitif mereka cenderung membenarkan tidakan pemerintah yang menempatkan pusat pemerintahan dan bahkan ibukota Kabupaten Buton Utara berada di Ereke. 2) kepentingan yang muncul akibat adanya identitas dukungan politik yakni: Bagi pendukung kandidat yang menang, akan cenderung mempertahankan dan membela tindakan pemerintah, sedangkan pendukung kandidat yang kalah akan cenderung menjadi kelompok oposisi yang selalu berusaha mencari titik lemah pemeritah yang sedang berkuasa. Pembangunan pusat pemerintahan di luar amanh UU merupakan celah yang dapat dimanfaatkan pihak oposisi untuk melancarkan serangan terhadap pemerintah. Dengan demikian dalam sudut pandang ini, dapat dimaknai bahwa massa pembela UU melakukan aksi pembakaran gedung di Ereke (chaos) merupakan salah satu strategi oposisi untuk melawan kebijakan pemerintah dan massa pro pemerintah juga segera terbentuk untuk mengadakan upaya perlawanan. Dari penjelasan ini, jelaslah bahwa tak ada massa yang terbentuk secara spontan, melainkan terbentuk dari akar-akar sosial-politik yang telah terstruktur dan telah mengakar tanpa disadari (terbatinkan). 
Keempat, adanya kepemimpinan dan organisasi. Kemarahan, akar-akar identitas dan kepentingan yang tercipta dalam masyarakat akan menjadi jelas arahnya bila ada aktor sosial yang mampu mengartikulasikan keberatan-kebaratan itu dalam sebuah “visi” dan strategi-strategi tindakan kolektif yang mungkin untuk dilakukan. Disinilah fungsi kepemimpinan dan organisasi. Baik massa pro pemerintah maupun massa pembela UU menjadi mungkin untuk melakukan tindakan kolektif karena adanya faktor kepemimpinan dan organisasi. Walau pun tak terbentuk secara formal, selalau ada “kristal massa” yang betindak sebagai pemicu, pusat komando, dan lebih tepatnya kita sebut pemimpin massa.

Kelima, adanya mobilisasi massa yang merupakan tahap terakhir yang mengantarkan massa pada objek kemarahannya. Mobilisasi ini dapat terjadi karena adanya kepatuhan kelompok massa terhadap visi kelompoknya. Kepatuhan itu dapat saja tercipta karena setiap individu dalam massa terikat oleh identitas dan kepentingan yang sama, dan otoritas pemimpin massa. Individu dalam massa dapat pula mengalami kepatuhan karena adanya otoritas yang muncul melalui mekanisme pembayaran sejumlah uang yang dapat diterima sebagai imbalan.[]

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com