Rabu, 19 Agustus 2015

Merayakan Kemerdekaan: Menjadi Indonesia dalam Bayang-Bayang Budaya Populer





Setiap 17 Agustus masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke larut dalam perayaan hari kemerdekaannya. Bendera merah-putih dan lagu-lagu kebangsaan Indonesia memenuhi ruang-ruang di seluruh pelosok negeri ini. Upacara pengibaran bendera yang dilaksanakan di setiap satuan pemerintahan: kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan di Istana Negara telah menjadi tontonan. Bahkan ada komunitas (komunitas penyelam) yang setiap tahunnya melaksanakan upacara penaikan bendera di dasar laut. Di samping itu, berbagai jenis perlombaan budaya populer (dance, game, fashion dan tarik suara) yang diselenggarakan secara masif ikut mewarnai perayaan hari kemerdekaan. Sangat sulit untuk melihat dan menentukan motif dari meningkatnya gejala ini: apakah karena nasionalisme yang semakin bertumbuh, kesadaran historis, ataukah hanya sekadar merayakan rutinitas tahunan. Tapi tanpa disadari, berbagai perayaan ini telah berubah menjadi tontonan meriah yang menyita perhatian jutaan mata publik.

***

Bunyi “trap-trap” (mirip orang tepuk tangan) terdengar di sela-sela musik K-Pop. Saat itu saya baru berada di tangga naik menuju lantai tiga Makassar Town Square (M'TOS) dan suara itu terdengar semakin kuat. Persis di depan tangga naik itu sekelompok orang tengah menyaksikan permainan game Maimai dan mereka bersorak setiap kali game itu selesai dimainkan. Game Maimai adalah permainan simulasi memainkan alat musik yang dikendalikan melalui sebuah tombol elektronik. Cukup dengan menekan tombol tersebut, orang yang memainkan game ini serasa memainkan beberapa alat musik sekaligus: bisa menjadi drummer, gitaris, pianist ataupun pemain sexophone yang handal dalam waktu yang sama. Game ini tergolong sebagai game ritme yang diproduksi oleh Sega Corporation, perusahan asal Jepang yang bergerak di bidang pengembangan video game multinasional. Karena itu, game ini menggunakan irama musik K-Pop dan tampilan khas Jepang.
Rasa ingin tahu membuatku bergabung dengan kerumunan itu. Di sana terlihat dua orang peserta lomba game ini head to head beradu kecepatan dan ketepatan dalam memukul tombol mesin sesuai beat musik dan arah yang tampak di layar game itu. Setelah musik berhenti, muncul keterangan siapa yang kalah dan menang di antara kedua peserta tadi. Ini kemudian disambut sorak-sorakan yang meriah oleh para penonton sehingga menyita perhatian para pengunjung Mall untuk datang menyaksikan pertandingan itu.

Dua orang peserta pertandingan beradu memainkan game Maimai
(Sumber: Nurlin)
Di hadapan panitia terlihat piala yang siap diboyong oleh pemenang pertandingan game ini. Seorang panitia kegiatan menjelaskan pada saya bahwa acara ini sekadar iseng-iseng saja, sengaja dilaksanakan dalam rangka memeriahkan perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Ini adalah salah satu cara generasi muda perkotaan memeriahkan hari kemerdekaan Indonesia, yakni menggelar kegiatan yang sifatnya hiburan dan iseng-iseng saja. Tapi menurutku, hal yang iseng-iseng ini berkaitan erat dengan cara anak muda perkotaan dalam mendefinisikan dirinya sebagai ‘Orang Indonesia modern’. Respon terhadap hari kemerdekaan Indonesia menunjukkan bagaimana mereka aktif mendefinisikan diri sebagai bagian dari anak muda Indonesia yang menghargai hari kemerdekaannya. Sekalipun kegiatan yang iseng-iseng itu seolah tercerabut dari makna historisnya, tetapi inilah cara anak muda masa kini memahami ke-Indonesiaan-nya, sebagai orang yang mampu berbaur dengan budaya global dan kosmopolitan. Melalui kegiatan yang iseng-iseng ini, mereka menegaskan diri bahwa “kami adalah Orang Indonesia modern yang tidak acuh dengan bangsanya”. 
Tafsir menjadi Indonesia di sini tidak serta merta bertentangan dengan gaya hidup modern yang akrab dengan konsumsi budaya popouler. Tidak seperti asumsi orang-orang yang berpandangan bahwa menjadi Indonesia dalam perayaan hari kemerdekaan harus dengan refleksi intelektual tetang sejarah dan spirit para pendiri bangsa Indonesia. Sehingga bagi yang berpandangan seperti itu, merayakan kemerdekaan dengan hiburan dianggap sesuatu yang sia-sia belaka, tercerabut dari makna historisnya dan bertentangan dengan spirit kemerdekaan Indonesia. Tapi faktanya, definisi diri sebagai Orang Indonesia masa kini mampu ditegaskan dengan cara ikut arus dalam konsumsi budaya populer. Yang lebih menarik di sini adalah konsumsi budaya populer semacam ini tidak pula bertentangan dengan sikap hidup Islami (Heryanto 2015). Terbukti dengan simbol jilbab yang melambangkan gaya hidup Islami turut serta memeriahkan acara ini tanpa memerhatikan waktu sholat yang diwajibkan oleh agamanya. Sungguh bertentangan antara simbol dan prilaku. Tetapi inilah fakta yang menunjukkan bahwa gaya hidup Islami dapat berdialektika dengan dunia kapitalisme industrial di Indonesia (Heryanto 2015: 39).

  Tentu saja fenomena di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak perayaan hari kemerdekaan yang dilakukan di masa kini. Di samping rumah saya ada pertandingan dance yang diikuti oleh ibu-ibu berjilbab, ada pertunjukan lagu-lagu kebangsaan yang diiringi gitar akustik di sebuah toko buku yang saya kunjungi saat itu, serta ada banyak pertandingan-pertandingan lain yang tujuannya untuk memeriahkan hari kemerdekaan. Tak bisa pula diabaikan, fakta bahwa pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) telah menjadi tontonan menarik yang menampilkan beragam simbol: kecantikan, kegagahan, feminisme dan maskulinitas di lapangan upacara. Pada akhirnya, hari kemerdekaan tidak hanya menjadi arena perayaan budaya populer, tapi adalah budaya populer itu sendiri. 

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com