Selasa, 23 Februari 2016

Gandhi, Jiwa Yang Bertumbuh Menjadi Agung



Sang cahaya telah meninggalkan hidup kita dan kegelapan ada di mana-mana [...] Cahaya telah hilang, saya bilang, dan ternyata saya salah [...] Cahaya yang telah bersinar di negeri ini bukanlah cahaya biasa. Cahaya yang telah menerangi negeri ini selama bertahun-tahun akan tetap menerangi negeri ini pada tahun-tahun berikutnya dan ribuan tahun berikutnya. Cahaya itu akan bisa terlihat di negeri ini dan dunia akan melihatnya, dan akan melipur larah hati yang tak terbilang banyaknya."

~ Jawaharlal Nehru, Pidato pada malam terbunuhnya Gandhi ~


Siapa yang tidak kenal nama Mahatma Gandhi, pria kecil penyala cinta kasih yang tersohor di Negara tropis, India abad ke-20. Ia adalah “sang cahaya”, setidaknya begitu Jawaharlal Nehru menyebut Gandhi, saat mengumumkan kematiannya, lewat radio pada seluruh rakyat India, 31 Januari 1946. Namun siapa yang menyangka “sang cahaya” itu ternyata awalnya adalah seorang pria pemalu dan pengecut. Masa muda Gandhi diwarnai oleh rasa takut pada hantu dan pencuri. Siapa pula yang menyangka saat menangani kasus pertamanya di Bombay, Gandhi yang telah menjadi pengacara berdiri dengan lutut gemetar saat diminta melakukan pemeriksaan. Gandhi bahkan tidak mampu mengucapkan sepata katapun di hadapan sidang, hingga Gandhi memutuskan untuk lari ke luar meninggalkan persidangan. Peristiwa itu menjadi bahan tertawaan dan ejekan baginya. Hah, sekonyol itukah kisah kehidupan awal Gandhi yang hebat itu? Ulasan yang saya rujuk dari buku: Gandhi The Man karya Eknath Easwaran berikut, akan memberikan jawabannya.

***

Pria kecil itu bernama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi. Ia lahir di Porbandar, 2 Oktober 1869. Tak ada yang istimewa dari masa mudanya selain pernikahannya yang terlalu dini dengan Kasturbai di umur 13 tahun. Tentu saja rumah tangga muda ini penuh dengan guncangan hebat, bahkan Gandhi sebagai seorang suami tidak dapat membuang rasa takutnya pada hantu dan pencuri. Gandhi juga terobsesi dengan peran suami sebagai guru bagi istrinya, oleh sebab itu kadang-kadang Gandhi menjadi otoriter atas istrinya, Kastrubai. Di kemudian hari, Gandhi yang telah bertransformasi menjadi jiwa yang agung mengenang bahwa ia banyak belajar dari kesabaran, cinta kasih dan ketabahan istrinya menghadapi dirinya yang labil.

Saat Gandhi tamat sekolah tingkat atas, obsesinya menjadi dokter yang sedikit samar membuatnya harus menempuh banyak ujian. Namun sayang, cita-cita Gandhi tidak pernah terwujud, ia selalu gagal dalam setiap ujian yang dilaluinya. Beruntung kemudian datang pamannya dan menghasut Gandhi untuk belajar hukum di London, ibukota Inggris yang menjajah Negara mereka. Karena hasutan pamannya itu, akhirnya Gandhi bersedia belajar hukum di London. Saat itu Gandhi berumur 18 tahun, ia berlayar dari India ke London demi untuk belajar ilmu hukum.

Bulan-bulan pertama di London adalah mimpi buruk bagi Gandhi muda. Ia merasa terasing dengan lingkungan dan gaya hidup orang London yang sangat mewah. Ingin rasanya ia memutar haluan dan kembali ke India, untung saja sesuatu yang mendalam dalam jiwanya menahannya untuk kembali. Gandhi akhirnya memutuskan untuk beradaptasi, ia mulai mengenakan setelan pakaian khas bangsawan Inggris dan menyewa pengajar untuk mengajarinya bahasa Prancis dan tutur kata yang santun.

Ini adalah kali pertama Gandhi meniru budaya berpakaian bangsa lain. Namun peniruan ini tidak berlangsung lama. Sesuatu dalam diri Gandhi seolah menginterupsinya, ia mulai tidak nyaman dengan segala kemewahan yang dibiayai oleh kakaknya itu. Akhirnya Gandhi memutuskan untuk menanggalkan gaya itu. Gandhi waktu itu memang bukan pria yang punya banyak kelebihan, tapi ia adalah sosok diri yang selalu mengoreksi dirinya sendiri. Inilah cikal bakal kepribadian yang mengantarkannya pada pemurnian jiwa yang ia temukan di kemudian hari.

Gandhi mulai mencari apartemen sendiri yang sederhana. Ia menemukan apartemen di tengah-tengah kota, sehingga ia dapat dengan mudah menjangkau kampus dan tempat-tempat lainnya. Di apartemen barunya itu Gandhi mulai belajar hidup mandiri. Baginya kemandirian mustahil bisa diperoleh dengan meniru orang lain. Hanya dengan menjalani hidup sendiri kemandirian bisa diusahakan. Gandhi juga mulai melakukan eksperimen terhadap pola makannya yang vegetarian. Pada 1890, Gandhi bergabung dengan kelompok vegetarian London dan belajar banyak hal tentang diet dan nutrisi. Pada masa inilah Gandhi mulai mendalami kitab Bhagavad Gita, kitab suci yang kemudian menjadi acuan kehidupannya.

Pada 1891 Gandhi menamatkan pelajaran hukumnya di London dan kembali ke India. Di India ia menjadi pengacara, namun kasus ganti rugi yang ditanganinya di Bombay menjadi satu-satunya kasus hukum yang ditangani Ganghi di India. Ia gagal dengan sangat memalukan karena berlari meninggalkan persidangan akibat gugup dan tak bisa berucap sepatah kata pun saat persidangan tengah berlangsung. Sejak saat itu ia menjadi bahan tertawaan pengacara lainnya di India. Gandhi bahkan dijuluki “pengacara tanpa tas” oleh para koleganya. Hal ini membuat Gandhi terpukul dan pesimis dengan karir pengacaranya di India.

Adalah kantor Dada Abdullah di India yang kemudian menawari Gandhi pekerjaan sebagai juru tulis rendahan untuk kantor mereka di Afrika Selatan. Tentu saja pekerjaan ini amat jauh dari gengsi Gandhi sebagai lulusan sekolah hukum Inggris. Tapi Gandhi menerima pekerjaan ini sebagai sebuah tantangan.  Tapi sial, ternyata kantor Dada Abdullah di India salah menafsirkan situasi yang ada di Afrika Selatan. Di sana Gandhi dinanti oleh kasus hukum yang amat pelik yang membutuhkan keahlian dibidang akuntansi untuk menguraikan transaksi bisni yang rumit dan tidak memiliki pembukuan lengkap.

Bagi Gandhi yang tak pernah belajar pembukuan dan dikirim untuk menangani kasus ini tentu saja bagaikan dikirim ke neraka saja. Tapi justru tidak, di sinilah titik balik karir Gandhi sebagai pengacara. Lagi-lagi Gandhi adalah pengamat yang baik bagi dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa kemana pun ia pergi kegegalan selalu mengincarnya, sehingga mengubah lingkungan kerja bukanlah solusi, ia harus mengubah dirinya. Sejak itu Gandhi mempelajari pembukuan secara otodidak dan keahliannya berkembang pesat. Rasa percaya diri mulai ia dapatkan di sana, kecerdasannya perlahan kelihatan dan ia tumbuh menjadi pengacara handal.

Tapi perkembangan Gandhi tak bisa dibilang sembarangan. Saat kasus bisnis perusahaan Dada Abdullah dan lawannya yang masih memiliki pertalian darah itu belanjut terus, Gandhi mulai memikirkan cara lain. Tentu saja sangat menguntungkan bagi pengacara bila kasus yang ditangani berlanjut terus, hanya saja Ganhdi tak mau mengambil keuntungan dari hal seperti itu, dari argument kosong yang semakin mempertajam pertikaian yang memperlebar hubungan kedua belah pihak. Gandhi mulai memikirkan cara agar kedua belah pihak sama-sama tidak dirugikan. Gandhi tak mau satu pihak menjadi pemenang atas pihak lainnya, sebab bila cara itu yang ditempuh maka yang kalah akan hancur oleh yang menang. Karena itu Gandhi membujuk kedua belah pihak yang bertikai untuk menyelesaikan kasus mereka di luar pengadilan. Setelah melakukan banyak pembicaraan Dada Abdullah dan lawannya sepakat untuk menempuh jalan damai.

Gandhi sangat gembira dengan keberhasilan ini. Ia berseru, “Saya telah belajar praktik hukum yang sebenarnya. Saya telah belajar menemukan sisi terbaik dari sifat manusia dan memasuki hati orang-orang. Saya menyadari bahwa fungsi pengacara yang sebenarnya adalah untuk mempersatukan pihak-pihak yang terpecah belah”. Mungkin ini susah diterapkan oleh pengacara kita saat ini. Hehe!

Karir Gandhi sebagai pengacara meningkat pesat. Ia tanpa sadar telah menemukan rahasia besar dari kesuksesan. Bahwa setiap kesulitan adalah peluang untuk melakukan pelayanan. Bahwa sebuah tantangan adalah peluang untuk mengasah kecerdasan baru dalam diri kita. Gandhi tanpa sadar telah memenangkan hati dan bahkan cinta orang-orang Afrika Selatan maupun orang kulit putih. Akhirnya banyak kasus hukum yang dipercayakan pada Gandhi dan dalam beberapa tahun ia sudah berpenghasilan $ 25.000–30.000/tahun. Dengan penghasilan sebesar ini, Gandhi hidup mewah dan gaya hidupnya sudah kebarat-baratan. Gandhi kemudia pulang ke India menjemput Kasturbai untuk datang ke rumah baru mereka di Johannesburg, Afrika Selatan.

Mohandes Karamchand Gandhi dengan gaya Eropa
Tapi kemewahan hidup mereka tak berlangsung lama. Ini bukan karena Gandhi bangkrut, tapi karena hidup Gandhi berubah. Penindasan, perbudakan dan wabah penyakit lepra yang menimpa Orang India di Afrika Selatan telah merubah pandangan hidup Gandhi. Kemewahan yang tadinya digunakan untuk mengikuti selera kelas orang Eropa kini ingin ditanggalkannya. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai pengacara, Gandhi turun tangan menolong mereka yang terserang wabah dan yang mengalami penindasan.

Persentuhannya dengan penderitaan orang lain semakin lama membuat Gandhi lupa akan kepentingannya sendiri. Di sinilah jiwa Gandhi ditempah oleh rasa kemanusiaan. Ada energi spiritual yang bertumbuh saat manusia mampu menihilkan kepentingan dirinya sendiri demi kepentingan orang lain. Itulah yang dialami Gandhi. Sisi spiritual dalam dirinya tumbuh subur mencerahkan dan menerangi jalan hidupnya dengan cinta dan kebenaran. Karena bantuan yang tanpa pamrih ini, Gandhi akhirnya menularkan sifat itu pada orang-orang sekitarnya hingga terbentuk semacam perkumpulan kekeluargaan kecil di Johannesburg yang menjadi cikal-bakal ashram milikinya di India.

Pakaian Eropa yang selama ini membalut tubuhnya demi gengsi ditanggalkannya jauh-jauh. Di Johannesburg Gandhi mendirikan Korps Ambulans India untuk orang-orang Inggris di Natal saat terjadi perang dengan orang Boer. Gandhi juga mendirikan media Indian Opinion demi melawan perbudakan dan penindasan hak-hak Orang India di Transvaal. Tapi jalur perjuangan Gandhi bukanlah revolusi ala Komunis. Garis perjuanagn Gandhi ditempah oleh ajaran Bhagavad Gita yang mengalirkan lautan kebijaksanaan padanya. Gandhi menyebut garis perjuangan ini sebagai Satyagraha yang terdiri dari dua kata, Satya (kebenaran) dan agraha (memaksakan, keras kepala, bandel)  yang berarti keras kepala berpegang teguh pada kebenaran. Implikasi dari prinsip satyagraha adalah perjuangan tanpa kekerasan (nirkekerasan) atau ahimsa. Ahimsa adalah metode sementara Satyagraha adalah tujuan. Sehingga melawan bagi Gandhi bukanlah menaklukan lawan melainkan merangkulnya pada tujuan yang sama. Inilah kampanye perlawanan Gandhi.

Ketika undang-undang pencatatan terhadap Orang India dan undang-undang black act diberlakukan di Transvaal, Gandhi melakukan perlawanan pasif dengan mogok makan dan mogok kerja dan memimpin the great march di Transvaal. Karena perlawanannya ini Gandhi dipenjarakan, tapi menghadapi Gandhi adalah membingungkan, sebab perlawanan Gandhi yang nirkekerasan tidak pernah memicu kerusuhan yang ditunggu-tunggu untuk menangkapnya. Tapi Gandhi tetap ditangkap. Ia keluar masuk penjara tanpa satupun insiden kekerasan yang ditimbulkannya. Karena kegigihan perjuangan ini, Gandhi akhirnya mendapat kesempatan bertemu dengan Jendral Jan Smuts (gubernur Jendral Transvaal) untuk membicarakan tuntutannya.

Dalam kesempatan itu, dengan nada sangat bersahabat Gandhi menyampaikan kepada Jendral Jan Smuts: “Aku datang untuk memberitahumu bahwa aku akan berjuang melawan pemerintahanmu”.

Jendral Smuts tertawa mendengar kata Gandhi, “maksudmu kamu datang kemari untuk mengatakan itu, apa ada yang lain?” jawab Smuts sambil tertawa.

“Ya,” jawab Gandhi. “Aku akan menang”.

Smuts yang sedang tertawa tercengan mendengar jawaban Gandhi, “Baiklah, dan bagaimana kau akan mengalahkanku?” Tanya Jendral Smuts.

Gandhi tersenyum dan mengatakan: “dengan bantuanmu”.

Dialog singkat di atas menggambarkan dengan jelas bagaimana Gandhi memperlakukan musuhnya dengan penuh kehormatan. Karena perlakuan hormat seperti itu Jendral Smuts pada akhirnya menjadi sahabat Gandhi dan pada 1914 undang-undang perlindungan warga India ditetapkan dan undang-undang pencatatan kewarganegaraan India dicabut. Ini adalah kemenangan pertama Satyagraha yang kemudian juga berhasil mengalahkan penjajahan Kerajaan Inggris di India.

***

Afrika Selatan adalah tempat Gandhi menempah dirinya menjadi jiwa yang mulia. Di sanalah nama Mohandas Karamchand Gandi merangkak mencapai Mahatma (jiwa yang agung) Gandhi. Jalan hidup Gandhi adalah memurnikan diri dengan cara menihilkan ego dan kepentingan diri sendiri sebab sumber dari segala sumber perselisihan adalah kepentingan pribadi yang menghalangi kemurnian penilaian kita. Selain itu ajaran Gandhi adalah cinta yang tanpa batas, mencintai tanpa batas adalah antitesa dari kebencian, bahkan cinta yang tanpa batas tidak terkecuali pada mereka yang membenci kita bahkan cinta pada musuh kita. Oleh Karen itu, Gandhi tak pernah membalas kekejaman musuh dengan kekejaman. Rantai kekejaman, amarah dan balas dendam hanya bisa putus jika dibalas dengan kasih sayang dan tanpa kekerasan. Bahkan pernah sekali leher Gandhi dicekik oleh seorang lelaki besar, Gandhi malah tersenyum tanpa melawan, hingga lelaki tadi jatuh tersungkur di kaki Gandhi.

Gandhi adalah jiwa yang merdeka dan melangkah seringan angin. Diumurnya yang ke-70, ia masih bisa berjalan dan mengusahakan perdamaian dalam kerusuhan Hindhu-Islam. Ia berjuang bersama sahabat muslimnya yang juga anti kekerasan, Khan Abdul Gaffar Khan. Saat konflik terjadi Gandhi tak pernah gentar, ia berjalan sendiri menuju jantung konflik untuk menyuarakan perdamaian dan ajaran Satyagraha. Ia berjalan sendiri tanpa senjata, hanya ditemani tongkat kecilnya. Bagi Mahatma Gandhi ketakutan tidak lagi ada pada seorang yang telah memurnikan dirinya, sehingga ia tak lagi membuthkan senjata. Pada 1946 Gandhi ditembak didadanya oleh seorang pemuda saat melakukan doa bersama demi penyelesaian konflik Hindhu-Islam. Saat peluru menembus tubuhnya dan jatuh, bibir Gandhi tak pernah berhenti berkata Rama, Rama, Rama… sampai nyawanya melayang. “Rama, Rama, Rama berarti aku memaafkanmu. Sanggupkah kita berkata demikian pada pembunuh kita? jiwa Gandhi telah benar-benar tumbuh menjadi agung. 

Buton Utara, 23 Februari 2016.


2 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com